Konflik lahan kembali mencuat di Kabupaten Aceh Selatan. Seratusan lebih warga Gampong Seunebok Pusaka, Kecamatan Trumon Timur, melakukan aksi penyegelan lahan sawit seluas 165 haktar yang diserobot pihak perusahaan PT Agro Sinergi Nusantara (ASN) 20 tahun lebih.
Aksi tersebut sebagai bentuk protes menuntut pengembalian lahan milik mereka, hingga sekarang baik perusahaan maupun pemerintah tidak ada niat baik untuk menyelesaikan sengketa lahan tersebut.
Bentuk protes lain, warga juga pada hari tersebut memanen tandan sawit yang berada di lahan itu. Sebagai simbul perlawanan, warga kemudian mendirikan posko yang diberinama “Posko Gerakan Masyarakat Seuneubok Pusaka” di atas lahan yang disengketakan. Posko ini menjadi pusat koordinasi perjuangan warga dalam mempertahankan hak atas lahan mereka.
Posko tersebut juga berfungsi untuk menerima dukungan solidaritas dari masyarakat, pengorganisasian dan juga menjadi pusat edukasi kepada masyarakat tentang hak-hak warga dan Hak Atas Lingkungan Hidup.
Setiap hari ada 10 warga yang bertugas di posko tersebut sebagai bentuk keseriusan dan komitmen warga hendak mengambil alih kembali lahan milik mereka dari tangan perusahaan.
Jauh sebelumnya warga bersama perangkat gampong sudah pernah menuntut lahan tersebut dikembalikan pada 2004 kepada masyarakat Seuneubok Pusaka seluas 165 hektar yang sempat diliput oleh media pada 10 Desember 2024.
Kemudian pada tahun 2005 – ada surat dari Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Kabupaten Aceh selatan, Perihal: Hasil Penyelesaian Batas Areal HGU PTPN-1 Kebun Krueng Luas dengan Areal UPT-1 Seuneubok Pusaka. Pengakuan bahwa PTPN-1 buka kebun seluas 55 hektar, yang telah ditanami sawit dan telah menghasilkan sesuai Surat Camat Trumon Timur No. 400/227/2004 tanggal 2 September 2004. Lahan 55 hektar tersebut hingga saat ini belum diserahkan kepada masyarakat Seuneubok Pusaka dan masih digarap oleh PT ASN hingga sekarang.
Namun masyarakat Seuneubok Pusaka tidak menerima luas lahan 55 hektar sebagaimana keputusan Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Kabupaten Aceh selatan, karena sepengetahuan masyarakat lahan yang diserobot oleh perusahaan seluas 165 hektar. Atas dasar itulah sudah 20 tahun tersebut berjuang untuk mendapatkan haknya kembali.
Puncaknya aksi yang digelar Sabtu (26/4/2025) kemaren, karena masyarakat sudah kehilangan kesabaran terus berlarut-larut permasalahan sengketa lahan tersebut. Karena selama ini warga sudah berulang kali mengingat manajemen PT ASN, baik secara tertulis, lisan maupun berbagai cara lain. Namun pihak manejemen perusahaan tak bergeming dan terkesan membiarkan sengketa lahan ini terjadi dan tidak ada niat baik untuk menyelesaikannya.
Pada aksi yang terjadi Sabtu 26 April 2025 mencapai beberapa kesepakatan antara manajemen perusahaan dan warga, yaitu:
- Posko yang dirikan oleh warga tidak boleh dibongkar, sebelumnya pihak manajemen perusahaan dan kepolisian meminta tidak mendirikan posko dalam areal HGU PT ASN.
- Kedua belah pihak tidak boleh memanen tandan sawit, baik pihak perusahaan maupun masyarakat
- Diberikan tenggat waktu selama 100 hari agar permasalahan konflik lahan ini dapat diselesaikan oleh pihak perusahaan
Namun saat itu menejer PT ASN masih enggan menandatangani surat kesepakatan bersama tersebut dan meminta waktu hingga hari ini Minggu 27 April 2025 untuk berkoordinasi terlebih dahulu dengan direktur perusahaan.
Saat itu manajer perusahaan berjanjian dan menyatakan di hadapan warga “bila hingga Minggu tidak mendatangani surat kesepakatan ini, maka lahan sengketa menjadi milik masyarakat Seuneubok Pusaka”.
Surat kesepakatan itu sudah ditandatangani Syahminan yang merupakan ketua GUNTUR, yang merupakan organisasi masyarakat Seuneubok Pusaka sebagai wadah perjuangan, WALHI Aceh, Afifuddin Acal, Danramil, Mayor Inf Endang. R, Camat, Husni dan Kapolsek, AKP Adrizal Barang Kecamatan Trumon Timur, serta Wadanki Brimob, IPDA Rahmad Fazil dan anggota DPRK Aceh Selatan, Adi Samrinda.
Adapun sejarah lahan tersebut berawal pada 1989-1990, saat Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) 1 mengalokasikan lahan seluas 1.170 hektar kepada 300 kepala keluarga (KK) transmigran lokal di Gampong Seuneubok Pusaka, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh.
Program ini digagas oleh pemerintah daerah Aceh Selatan saat itu untuk memanfaatkan lahan kosong dan mendukung pemerataan penduduk serta pengembangan ekonomi berbasis pertanian di wilayah perbatasan.
Masyarakat Seuneubok Pusaka merupakan warga yang berasal dari daerah-daerah sekitar yang secara sukarela berpindah untuk membangun kehidupan baru di tanah tersebut. Sebagai transmigran lokal, mereka diberikan hak atas lahan untuk tempat tinggal dan pertanian, masing-masing keluarga mendapatkan sekitar 2 hektare lahan pekarangan dan kebun.
Pada tahun 1990, warga mulai meninggalkan lokasi transmigrasi lokal itu karena Aceh saat itu sedang terjadi konflik. Gampong Seuneubok Pusaka merupakan daerah yang paling tinggi terjadi konflik antara Pemerintah Indonesia dengan GAM saat itu. Sehingga sebagian warga pindah dari lokasi tersebut.
Lalu pada tahun 1995, PTPN I Kebun Krueng Luas mulai melakukan pembukaan lahan yang berada di wilayah Gampong Seuneubok Pusaka. Adapun izin Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki PTPN I untuk wilayah Kabupaten Aceh Selatan mencakup area seluas 6.100 hektar. Diperkirakan sekitar 1.000 hektar di antaranya berada di wilayah Gampong Seuneubok Pusaka, yang setara dengan 2 afdeling (500 hektar per afdeling). Pengelolaan lahan tersebut sebelumnya dikelola oleh PTPN I, kemudian dialihkan hak pengelolaan kepada PT Agro Sinergi Nusantara (ASN) dan penguasaannya hingga sekarang.