Home Berita Dari Seuneubok Pusaka, Suara dari Tanah Mereka
BeritaHeadlineJurnalisme Data

Dari Seuneubok Pusaka, Suara dari Tanah Mereka

Share
Pihak keamanan melakukan negosiasi dengan warga Seunebok Dalam terkait penyegelan lahan sawit PT ASN oleh Warga/ Foto : Digdata.id
Pihak keamanan melakukan negosiasi dengan warga Seunebok Dalam terkait penyegelan lahan sawit PT ASN oleh Warga/ Foto : Digdata.id
Share

Matahari mulai merangkak naik saat suara langkah ratusan warga menggema di antara pohon sawit, Sabtu pagi (26/4/2025) sejak pukul 08.00 WIB. Warga Gampong Seuneubok Pusaka, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan berkumpul di tengah lahan bersengketa dengan PT Agro Sinergi Nusantara (ASN).

Dengan penuh tekad, mereka membuat posko yang bertuliskan “Posko Gerakan Masyarakat Seuneubok Pusaka” – dibangun tepat di jantung lahan sengketa, posko ini menjadi pusat koordinasi warga merebut kembali lahan sengketa seluas 165 hektar. Mereka juga menyegel kebun sawit yang selama ini menjadi sumber ketegangan antara masyarakat dan perusahaan.

Posko bagi warga bukan hanya sekedar tempat berkumpul, tetapi menjadi simbul perjuangan untuk mendapatkan hak mereka kembali. Posko berfungsi sebagai pusat koordinasi, edukasi, dan solidaritas. Setiap hari, sepuluh warga secara bergiliran menjaga posko tersebut, menunjukkan komitmen mereka dalam memperjuangkan hak atas tanah leluhur mereka.

Asap mengepul dari tungku di posko yang terbuat dari teratak besi beratapkan seng setiap hari. Selama 24 jam posko tak pernah kosong, mereka bertahan di sana sebagai simbol perlawanan dan solidaritas. Posko juga dijadikan pusat koordinasi dan diskusi untuk keberlanjutan aksi.

Segala kebutuhan posko, bahan makanan, minum dan lainnya dibiayai bersama. Tak ada sekat antara satu dengan yang lain. Semua bergotong royong, saling menguatkan di tengah keterbatasan. Biaya operasional yang biasanya menjadi beban berat, kini terasa ringan karena dibagi rata oleh seluruh relawan dan warga yang peduli.

Yang menjadi piket setiap hari pun tak berharap imbalan, mereka dengan suka rela mengawal penyelesaian kasus sengketa lahan ini langsung di jantung tanah yang sedang bermasalah. Bagi warga, ini puncak kesabaran sudah 20 tahun lebih berjuang mendapatkan hak atas tanahnya yang tak pernah berujung.

Suasana pagi itu bukan sekadar aksi simbolis. Ini puncak dari kekecewaan yang telah lama terpendam. Menurut warga, PT ASN tidak pernah menggubris permintaan warga untuk diselesaikan lahan yang bersengketa itu. Sudah berulang kali baik secara lisan maupun tertulis meminta agar secepatnya untuk mencari jalan keluar, tetapi manajemen perusahaan tak bergeming, begitu juga pemerintah terkesan mengabaikan tuntutan warga.

Warga Gampong Seuneubok Pusaka, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan menggelar aksi menuntut dikembalikan lahan seluas 165 hektar yang dikuasai oleh PT ASN. Foto: For Digdata

Tak hanya itu, PT ASN juga tidak pernah menunaikan kewajibannya kepada masyarakat. Termasuk tidak ada lahan plasma yang menjadi kewajiban perusahaan hingga jalan lintas milik warga rusak parah tidak ada perbaikan. Ditambah lagi setiap musim hujan tergenang banjir – yang membuat warga selalu menjadi korban.

“Kami sudah berkali-kali meminta penyelesaian secara baik-baik, tapi tidak pernah digubris, baik dari pihak perusahaan maupun pemerintah,” kata Ketua Gugatan Tanah Usaha Rakyat (GunTUR), Syahminan, Sabtu (26/4/2025).

Sejak Sabtu, Gampong Seuneubok Pusaka bukan lagi desa kecil yang sunyi. Kini telah berubah menjadi panggung perjuangan, tempat warga menuntut kembali tanah yang telah mereka anggap sebagai hak waris, yang selama lebih dari dua dekade dikuasai oleh perusahaan perkebunan sawit PT ASN.

Aksi penyegelan ini dilakukan secara damai, hingga titik ini masyarakat masih merendah hati, aksi digelar tanpa anarkis. Warga hanya memasang patok dan spanduk di beberapa titik strategis di dalam kebun sawit sebagai tanda bahwa lahan tersebut dalam sengketa. Mereka juga membentuk kelompok jaga untuk memastikan tidak ada aktivitas perusahaan selama penyegelan berlangsung.

Untuk menambah bukti, warga juga melakukan pengukuran ulang. Dengan Avenza, perangkat lunak pemetaan yang gampang dioperasikan, termasuk membawa Global Positioning System (GPS) untuk menentukan kembali titik koordinat, pengukuran dimulai sejak pagi didampingi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh.

Warga bergantian menunjukkan titik-titik batas lahan berdasarkan ingatan kolektif dan dokumen lama. Mereka menyusuri hamparan lahan sawit yang ditanam perusahaan, yang menurut warga, berdiri di atas tanah milik mereka.

“Pengukuran ini adalah bagian dari upaya penguatan bukti dalam rangka menuntut pengembalian lahan kepada warga,” kata Syahminan.

Pendatanganan kesepakatan bersama antara warga Warga Seuneubok Pusa, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan setelah mediasi, Sabtu (26/4/2025) yang disaksikan oleh Muspika dan Wadanki Brimob.

Posko Simbul Perjuangan

Saat sebuah truk perlahan merapat ke area lahan yang sedang bersengketa di titik pendirian posko. Di bak belakangnya, kerangka teratak masih berada dalam truk yang belum sempat berdiri. Tapi sebelum satu tiang pun tertancap, ketegangan sudah lebih dulu menyelimuti lokasi.

Sejumlah aparat kepolisian dan perwakilan manajemen perusahaan sudah menunggu di lokasi. Mereka segera menghampiri, meminta warga menghentikan niat mereka. Bila pun hendak mendirikan posko – bukan di atas tanah yang masih disengketakan itu.

Di sela percakapan yang kian memanas, aparat dan perwakilan perusahaan berdiri berhadap-hadapan dengan perwakilan warga. Udara di lokasi terasa berat, meski belum ada bentakan atau dorongan, namun situasi mulai ada ketegangan antara pihak kepolisian, perusahaan dan warga.

Meskipun belum satu tiang berdiri, semangat warga tetap tak runtuh. Mereka masih berkumpul di lokasi, berdiskusi, berunding, dan memutuskan langkah selanjutnya. Truk masih terparkir, muatan kerangka posko belum diturunkan.

Meskipun  aparat kepolisian dan manajemen perusahaan menyambut warga dengan larangan, mereka meminta agar pembangunan posko dihentikan, atau setidaknya dialihkan ke luar wilayah perkebunan.

Namun warga bergeming, warga tetap bersikeras mendirikan posko. Ketika warga mulai menurunkan peralatan dari truk, suasana mulai tegang. Mulanya aparat kepolisian dari Polsek Trumon Timur berjaga-jaga di lokasi memilih mundur.

Tak berselang lama  Brimob bersenjata lengkap tiba di lokasi. Warga tak langsung tertekan, tapi kehadiran mereka cukup membuat warga waspada. Namun warga masih tetap tenang, beraktivitas seperti biasa, ada yang duduk, minum kopi dan sebagian lainnya sibuk dengan percakapan masing-masing.

Lantas, posko pun berdiri tegak dengan segala atributnya. Tidak besar, tidak megah. Tapi cukup untuk menjadi penanda perlawanan. Di dalamnya ada air minum, tanpa tikar dan hanya beberapa kursi plastik yang lusuh, dan semangat yang tak bisa dibungkam.

Dari pintu gerbang masuk ke lokasi perkebunan sawit tampak pasukan Brimob berbaur dengan personil Polsek Trumon dan manajemen perusahaan memantau dari kejauhan, sekitar 200 meter dari posko yang berdiri tegak.

Hari itu, posko baru saja selesai didirikan. Satu persatu warga keluar dari tempat istirahat di antara pohon sawit untuk berkumpul di posko, duduk rapi beralaskan rumput. Lalu berdiskusi rencana aksi lanjutan. Mereka berbicara tentang tanah, tentang hak yang mereka yakini, dan tentang generasi yang harus mereka bela.

Tak berselang lama, kabar datang bahwa pihak perusahaan dan kepolisian ingin berbicara, mengajak negosiasi. Bukan datang langsung, melainkan mengutus seorang perantara, Geuchik (Kepala Desa) Gampong Seuneubok Pusaka, sosok yang selama ini dikenal dekat dengan warga. Ia datang dengan permintaan agar perwakilan warga bersedia ke pos satpam PT ASN untuk melakukan mediasi.

Pihak keamanan melakukan negosiasi dengan warga Seunebok Dalam terkait penyegelan lahan sawit PT ASN oleh Warga/ Foto : for Digdata.id

Permintaan itu disambut sunyi. Sejurus kemudian, beberapa warga saling pandang, lalu Ketua GunTUR yang dipercaya mewakili warga dalam setiap musyawarah angkat bicara. “Kalau mau mediasi, kami sudah ada posko, datang ke sini kita berdiskusi,” kata Syahminan. Suaranya tegas meski tak keras – yang lain serentak mengangguk.

Bagi warga mediasi hanya akan dilakukan di posko, bukan karena keras kepala, tetapi karena prinsip. Bagi mereka, duduk di pos satpam perusahaan hanya akan memperlemah posisi tawar. Posko itu, walau seadanya, adalah wilayah perjuangan, tempat suara mereka punya makna.

“Jangan di pos satpam, ke sini saja, karena kita sudah ada posko,” ucap Syahminan lagi yang diamini oleh warga.

Akhirnya, Geuchik pun kembali dengan pesan warga. Tak lama, pihak perusahaan setuju datang ke posko dengan syarat – saat mediasi cukup perwakilan warga 10 orang yang bicara, ini untuk menghindari terjadi debat kusir. Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, perwakilan perusahaan, aparat keamanan, dan warga duduk sejajar di bawah naungan yang sama, sebuah tenda darurat, tapi penuh harga diri dan makna perjuangan.

Tidak ada meja panjang atau pendingin udara seperti di ruang pertemuan formal.  Hanya beralaskan rumput tipis yang sedikit berlumpur. Tak ada juga minuman mewah – hanya tersedia air mineral botol gelas yang berserakan.

Di situ, suara warga tak bisa disaring, tak bisa diputarbalik. Di situ pula, mereka menetapkan syarat-syarat yang disampaikan oleh perwakilan warga dalam mediasi itu. Mulanya sempat sedikit memanas, suara teriakan tak dapat dihindari. Karena pihak perusahaan meminta warga tidak memanen sawit di area sengketa itu, tetapi perusahaan diperbolehkan.

Perdebatan yang semula hangat berubah kaku. Negosiasi antara warga dan pihak perusahaan nyaris menemui jalan buntu. Di tengah situasi yang kian genting, warga sepakat untuk meminta pendapat dari pihak yang sejak awal mendampingi mereka di lapangan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh.

Di antara kerumunan, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal yang berada bersama warga sejak pagi angkat bicara. Ia tak langsung bicara, tetapi mendengar dulu, memandang situasi, lalu menyampaikan satu pesan yang kemudian menjadi titik balik mediasi sore itu.

“Mari kita sama-sama mundur, mundur untuk mencari jalan tengah, mari sama-sama maju, maju untuk menyelesaikan sengketa. Jadi saran saya selama lahan ini masih dalam sengketa, tidak boleh ada aktivitas panen dari kedua belah pihak, baik perusahaan maupun warga,” ujarnya tegas, namun dengan nada yang menyejukkan. Pernyataan itu seolah meredam bara yang mulai membesar.

Usulan itu diterima sebagai bentuk kompromi. Tak ada yang sepenuhnya menang, tapi tak ada yang kehilangan muka. Perusahaan tak bisa melanjutkan panen, namun warga juga menahan diri untuk tidak mengambil buah sawit dari lahan yang disengketakan.

Namun drama belum berakhir. Manajer PT ASN menolak menandatangani surat kesepakatan di tempat, berjanji akan berkoordinasi lebih lanjut dan menandatangani pada Minggu, 27 April. Di hadapan warga.

Padahal surat tersebut telah ditandatangani oleh pihak-pihak lain, termasuk unsur Muspika ditambah Wadanki Brimob dan perwakilan WALHI Aceh. Kini warga menanti, dengan harap-harap cemas, apakah perusahaan akan memenuhi janjinya atau justru membuka babak baru konflik yang lebih panjang.

Peta lahan 165 hektar yang sedang bersengketa antara Warga Gampong Seuneubok Pusaka, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan

Bukan Cerita Baru

Sengketa lahan ini bukan cerita baru. Sejak tahun 1990-an, ketika program transmigrasi lokal memperkenalkan 300 keluarga untuk membangun masa depan di atas 1.170 hektare lahan pertanian, Seuneubok Pusaka telah menjadi ladang harapan. Namun mimpi itu surut ketika konflik bersenjata melanda Aceh, memaksa banyak warga meninggalkan kampung halamannya.

Seiring waktu, lahan yang ditinggalkan perlahan berpindah tangan. PT Perkebunan Nusantara I (PTPN I) membuka kebun sawit, yang kemudian dialihkan pengelolaan kepada PT ASN. Dari sinilah awal mula sengketa yang kini memuncak pada aksi besar 26 April lalu.

Bagi warga Seuneubok Pusaka, lahan ini bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga warisan perjuangan hidup di masa lampau. Geuchik Hasyem, kepala desa yang ikut hadir dalam aksi, dia menyampaikan, ini bukan sekadar tuntutan ekonomi, tetapi hak hidup masyarakat.

“Sengketa ini sudah berlangsung lama, itu lahan bekas transmigrasi lokal dulunya,” kata Hasyem dalam konferensi pers, Minggu (27/4/2025) di Tapaktuan.

Program ini berjalan dengan baik hingga memasuki tahun 1990. Di tahun-tahun itu, konflik bersenjata antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mulai menyelimuti wilayah Aceh. Seuneubok Pusaka, yang berada di titik rawan konflik, menjadi salah satu desa yang terdampak paling parah. Banyak warga yang akhirnya memilih meninggalkan lahan dan kembali ke kampung asal.

Ketiadaan ini membuka ruang kosong. Sekitar tahun 1995, perusahaan negara PTPN I Kebun Krueng Luas mulai membuka kebun sawit di wilayah yang ditinggalkan. Dalam catatan resminya, PTPN I memiliki Hak Guna Usaha (HGU) atas 6.100 hektare lahan di Aceh Selatan.

Sekitar 1.000 hektar di antaranya berada di kawasan Seuneubok Pusaka, dan mulai dikelola menjadi dua afdeling. Namun status kepemilikan lahan yang sebelumnya telah diberikan pada warga transmigrasi tak pernah dibatalkan secara formal.

Masalah muncul ketika pengelolaan lahan PTPN I dialihkan kepada PT ASN, yang tetap menggarap lahan tersebut tanpa penyelesaian terhadap klaim masyarakat. Warga yang mulai kembali pasca-konflik melihat lahan yang dahulu mereka tanami kini sudah berubah menjadi kebun sawit milik korporasi.

Pada tahun 2004, upaya warga untuk menuntut kembali hak atas lahan dimulai. Mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah dan perusahaan, bahkan sempat mendapat pengakuan terbatas.

Surat dari Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Aceh Selatan tahun 2005 mencatat bahwa PTPN I membuka kebun di atas 55 hektar lahan UPT-1 Seuneubok Pusaka yang menjadi milik warga setempat. Namun hingga kini, lahan itu pun belum dikembalikan kepada masyarakat.

Warga menolak angka 55 hektar itu. Berdasarkan penelusuran dan pengakuan masyarakat yang mengikuti program transmigrasi sejak awal, luas lahan yang disengketakan mencapai 165 hektar. Selama dua dekade lebih mereka mengumpulkan dokumen, melakukan advokasi, dan menyuarakan tuntutan ke berbagai pihak. Namun, jawaban yang diterima selalu menggantung.[]

Share
Related Articles
Pihak keamanan melakukan negosiasi dengan warga Seunebok Dalam terkait penyegelan lahan sawit PT ASN oleh Warga/ Foto : Digdata.id
Berita

Bupati Aceh Selatan Harus Segera Selesaikan Sengketa Lahan di Seuneubok Pusaka

Dua puluh tahun lebih sengketa lahan antara warga Gampong Seuneubok Pusaka, Kecamatan...

BeritaNews

Duek Pakat Perdamaian Anak Muda di Aceh

Generasi muda Aceh dari berbagai latar belakang, lintas agama dan suku berkumpul...

Berita

YKPI Bekali Warga Desa Wue Raya Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim

Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI) bekejasama dengan penggerak PKK Kecamatan Lhoknga...

BeritaHeadline

Panel Surya Solusi Hemat Bayar Listrik

“Dulu, tagihan listrik rumah bisa sampai satu jutaan bahkan lebih  setiap bulan....