Organisasi masyarakat sipil di Indonesia menilai penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) tidak layak secara keekonomian, karena teknologi tersebut selain memiliki resiko tinggi juga tidak ekonomis, karena biaya investasi sangat mahal.
Keberadaan CCS/CCUS dinilai akan melanggengkan inefisiensi energi dan menghalangi menuju transisi energi bersih. Karena teknologi ini selain kebutuhan menyimpan karbon CO2, juga berfungsi untuk meningkatkan perolehan minyak dan gas atau Enhanced Oil Recovery (EOR) atau dalam bahasa Indonesia peningkatan pemulihan minyak.
Baca: CCS Perpanjang Usia Energi Fosil di Indonesia
Aktivis lembaga 350 Indonesia, Ginanjar Ariyusata mengatakan, energi yang dibutuhkan saat proses penangkapan dan kompresi pada proyek CCS/CCUS mencapai 330-420 kWh per ton CO2. Rata-rata proyek ini mengalami peningkatan permintaan energi hingga 15%-25%.
Ginanjar juga mengungkapkan, pembiayaan investasi proyek-proyek pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan CCS/CCUS lebih mahal 304 kali lipat bila dibandingkan dengan pembiayaan energi terbarukan. Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dia menyebutkan jauh lebih murah biaya investasinya dan bisa dikerjakan oleh komunitas, tanpa harus melibatkan investor besar.
“Jadi proyek CCS/CCUS ini merupakan investasi yang boros energi dan dapat menghambat transisi energi di Indonesia,” jelasnya.
Kata Ginanjar, hasil studi lembaga 350 Indonesia menunjukkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas, mampu berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar Rp 10,5 triliun lebih selama 25 tahun. Dampak positif yang dihasilkan sejalan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkualitas.
“Ini lebih berdampak positif secara ekonomi ketimbang membiayai CCS/CCUS yang boros itu,” ungkapnya.
Teknologi CCS/CCUS yang berbiaya mahal juga diakui oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Dikutip dari situs resminya berjudul “Biaya Masih Jadi Tantangan, Perlu Upaya Dorong Keekonomian Proyek CCS/CCUS” diterbitkan pada 2 Februari 2023 lalu. Dalam artikel tersebut dituliskan, Penerapan teknologi Carbon Capture Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) menghadapi sejumlah tantangan, antara lain biaya yang cukup tinggi terutama untuk CO2 Capture. Untuk itu diperlukan upaya-upaya untuk mendorong keekonomian proyek, antara lain pengembangan teknologi yang lebih murah, kerja sama untuk cost sharing, serta insentif.
Sudah jelas berbiaya mahal, pemerintah justru tetap bersikukuh memilih CCS/CCUS dalam mengatasi lepas karbon ke atmosfer. Padahal beberapa contoh praktek di belahan dunia, bahkan ada sejumlah proyek terpaksa dihentikan. Juga ada yang jatuh korban, seperti yang terjadi di Mississippi Amerika Serikat yang telah banyak jatuh korban.
Baca: CCS Justru Perburuk Kondisi Lingkungan dan Beresiko Tinggi
Selaras dengan itu, hasil analisis anggaran investasi yang dilakukan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bahwa biaya teknologi CCS/CCUS lebih mahal dibandingkan energi terbarukan. Bahkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon ini juga akan memperpanjang usia investasi bahan bakar fosil.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudistira mengatakan, CCS/CCUS akan menambah beban baru energi di Indonesia kedepannya. Karena biaya investasi teknologi ini cukup mahal dan membutuhkan pembiayaan yang besar.
hasil analisis anggaran yang CELIOS lakukan, proyek CCS/CCUS pada 2020 saja membutuhkan nilai investasi mencapai Rp 30,2 juta/kWh, lalu harus ditambah pada 2030 sebesar Rp 28 juta/kWh dan semakin meningkat nilai investasi menjadi Rp 22,01 juta/Kwh.
Bila diasumsikan proyek CCS/CCUS terdapat 100 kWh yang hendak dibangun, maka negara harus merogoh anggaran sebesar Rp 3 miliar lebih, dengan perkiraan per kWh sebesar Rp 30 juta/kWh. Begitu juga dengan nilai investasi energi tidak terbarukan lainnya, nilainya jauh lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan.
CELIOS mencontohkan dalam analisisnya untuk PV Solar atau Solar Photovoltaic Cells, sebuah sistem pembangkit listrik menggunakan panel surya, nilai investasinya jauh lebih murah dibandingkan CCS/CCUS, efisiensi anggarannya bisa mencapai 5 persen lebih dan kelebihannya bisa dikerjakan oleh komunitas. Berbeda dengan CCS/CCUS harus dikerjakan oleh pemilik modal besar dan perusahaan yang memiliki sertifikasi khusus.
Untuk PV Solar skala utilitas yang dapat dimanfaatkan oleh komunitas atau bahkan rumah tangga sekalipun. Nilai investasinya relatif lebih murah dan terjangkau. Pada 2020 lalu biaya yang dibutuhkan Rp 12,2 juta/kWh, turun nilainya pada 2030 sebesar Rp 9 juta/kWH dan turun lagi pada 2050 nanti hanya Rp 6,3 juta/kWh.
“Ini sebagai bukti bahwa CCUS secara keekonomian tidak layak, karena sangat mahal, terjadi pemborosan anggaran,” tegas Bhima.
Kata Bhima, besarnya biaya investasi CCS/CCUS akan menimbulkan konsekuensi pada beban subsidi energi pemerintah. Yang diuntungkan kemudian adalah perusahaan batu bara, migas dan tentunya yang dirugikan adalah uang pajak masyarakat.
“Padahal sekarang ruang fiskal semakin menyempit, rasio utang terus naik dan solusi yang ditawarkan justru solusi palsu,” tegasnya.
Permasalahan lainnya, karena biaya investasi yang cukup mahal penerapan teknologi CCS/CCUS. Teknologi ini beresiko akan meningkatkan beban tarif ke masyarakat. Sehingga yang dirugikan kemudian dari teknologi boros ini, biaya listrik yang harus dibayar masyarakat bakal lebih mahal dan rencana mengurangi emisi bisa terancam gagal.
Dengan kondisi seperti ini, Bhima menyebutkan alih-alih mempercepat transisi energi di Indonesia, justru kehadiran teknologi CCS/CCUS yang belum teruji bisa memperpanjang tetap ketergantungan dengan energi fosil.
“CCS juga beresiko meningkatkan beban tarif listrik ke masyarakat,” jelasnya.[acl]