Masyarakat Transparasi Aceh (MaTA) menilai, kebijakan pengalihan terdakwa korupsi menjadi tahanan kota adalah preseden buruk dan kebijakan Pengadilan Tipikor Banda Aceh terhadap terdakwa korupsi sudah menjadi pangung dagelan.
Hal ini dikatakan Koordinator MaTA, Alfian, menyikapi putusan Pengadilan Tipikor Banda Aceh yang memutuskan pengalihan status tahanan rutan bagi dua tersangka korupsi Tsunami Cup menjadi tahanan kota atas dasar jaminan keluarga.
“Ini bukan yang pertama kali dilakukan Pengalidilan Tipikor dan MaTA mempertanyakan eksitensi dan moralitas hakim terhadap terdakwa koruptor. Perlu dipertanyakan fungsi dan semangat pengadilan tipikor buat apa?” Ujar Alfian.
MaTA mendesak Kejaksaan untuk melakukan upaya luar biasa, seperti meminta kepada Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi dan memeriksa terhadap keputusan para hakim. Pengadilan Tipikor Banda Aceh dalam melakukan sidang.
MaTA menilai alasan yang dikemukan oleh para hakim dalam pengalihan status tahanan para terdakwa menjadi tahanan kota sama sekali tidak bisa di terima akal sehat.
Diberitakan, dua terdakwa kasus dugaan korupsi Aceh World Solidarity Cup (AWSC), Muhammad Zaini dan Mirza, dialihkan statusnya dari status tahanan rutan dari Rumah Tahanan Kelas IIB Banda Aceh, menjadi tahanan kota, sesuai penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh.
Pengalihan status tahanan Muhammad Zaini dan Mirza ditandai dengan pembebasan keduanya dari Rutan Kelas IIB Banda Aceh di Gampong Kajhu Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.
Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Koharuddin, mengatakan keduanya menjalani tahanan kota sesuai penetapan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh tertanggal 10 November 2022.
Dalam penetapannya, Hakim Tipikor Banda Aceh memerintahkan jaksa mengalihkan status penahanan Muhammad Zaini dan Mirza yang sebelumnya di tahan di rutan menjadi tahanan kota. Hakim beralasan, perubahan status tahanan guna memperlancar proses persidangan di Pengadilan Tipikor Banda Aceh dan alasan jaminan keluarga.
“Hingga 1 Januari 2023 mendatang, keduanya tidak diperkenankan meninggalkan Kota Banda Aceh, “Kata Koharuddin.
Muhammad Zaini dan Mirza ditahan di Rutan Kelas IIB Banda Aceh, Kajhu, sejak 21 September 2002 lalu. Keduanya diduga terlibat korupsi dana turnamen sepak bola AWSC atau Tsunami Cup yang merugikan negara senilai Rp2,8 miliar dari total anggaran Rp9,8 miliar rupiah. (Yan)