Koalisi Serius Revisi UU ITE kembali menagih komitmen Pemerintah dan DPR RI untuk segera mencabut pasal-pasal bermasalah dalam draft revisi kedua UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pencabutan pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE ini penting untuk memberikan jaminan kemerdekaan warga untuk menikmati hak kebebasan berekspresi dan berpendapat serta melindungi keamanan pembela hak asasi manusia.
Seruan itu sebelumnya telah disampaikan Koalisi saat bertemu Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nezar Patria, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi di waktu terpisah.
Pada pertemuan bersama Wamen Kominfo yang digelar Selasa 15 Agustus 2023, Koalisi menyampaikan agar revisi UU ITE yang saat ini dibahas oleh panitia kerja (panja) Komisi I DPR bersama pemerintah, dapat menjawab tiga permasalahan utama.
Pertama, memastikan pasal-pasal di dalam UU ITE yang telah diatur dalam KUHP baru, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Pelindungan Data Pribadi segera dicabut. Pasal-pasal tumpang tindih yang seharusnya dicabut, yaitu Pasal 26 ayat (3) tentang hak untuk dilupakan , Pasal 27 ayat (1) tentang Keasusilaan, Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik (di dalam draft dijadikan Pasal 27A ayat (1) UU ITE), Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian, Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 36, Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (3), Pasal 45A ayat (2), Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 51 ayat (2).
Koalisi juga menemukan ada dua pasal baru yakni 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong, yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru.
Pasal-pasal bermasalah dalam draf revisi kedua UU ITE dapat dilihat pada laman: https://safenet.or.id/id/2023/07/dim-revisi-uuite/
Sejumlah pasal-pasal bermasalah itu selama ini telah menjadi alat untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat, mengancam kebebasan pers, mengkriminalisasi para pembela hak-hak asasi manusia serta sering disalahgunakan untuk menyerang balik korban kekerasan seksual maupun korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kedua, pembahasan revisi kedua UU ITE seharusnya tidak parsial hanya mencakup pasal-pasal pidana, melainkan dapat menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola Internet, terutama rumusan Pasal 40 terkait tata kelola konten digital. Selama ini, Pasal 40 memberikan kewenangan yang terlalu besar pada pemerintah dengan tidak membedakan antara konten ilegal dan konten berbahaya, serta sanksi yang berlebihan dan melanggar hak-hak digital. Hal tersebut berimbas pada tindakan pemutusan internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 dan tindakan pemblokiran 8 aplikasi digital pada akhir Juli 2022.
Ketiga, Koalisi mendesak agar pembahasan revisi kedua UU ITE tidak dilakukan terburu-buru untuk memastikan publik dilibatkan secara bermakna dan aspirasinya didengar serta diakomodasi dalam Rancangan Undang-undang ITE yang akan disahkan dalam waktu dekat.
Kekhawatiran ini muncul karena proses revisi UU ITE dilakukan secara tertutup tanpa ada ruang bagi publik untuk mengawasinya. Sekalipun perwakilan masyarakat sipil memang pernah diundang dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) oleh Komisi 1 DPR RI terkait revisi UU ITE, tetapi selanjutnya publik tidak dapat mengetahui, sejauh mana masukan dari kelompok masyarakat sipil diakomodasi oleh DPR dalam rapat-rapat pembahasan.
Sementara pada pertemuan pada 23 Juli 2023, Koalisi kembali mengingatkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej tentang pernyataannya pada November 2022, terkait penghapusan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jika KUHP baru disahkan.
Namun dalam draft revisi UU ITE bertanggal 12 Juli 2023, Koalisi melihat tidak adanya harmonisasi antara KUHP baru tersebut dengan draft revisi kedua UU ITE yang justru masih mempertahankan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan. Hal yang sama juga disampaikan perwakilan Koalisi saat bertemu Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi pada 24 Juli 2023.
Dengan masih adanya pasal-pasal karet itu, Koalisi khawatir kriminalisasi terhadap warga, pembela HAM termasuk jurnalis, pembela lingkungan dan perempuan pembela HAM akan terus terjadi di masa mendatang. Kekhawatiran itu bukan tanpa preseden, karena berdasarkan catatan Amnesty International saja, sepanjang 2019-2022 terdapat setidaknya 316 kasus kriminalisasi yang menggunakan UU ITE dengan 332 korban. Ironis bahwa sekalipun pemerintahan Presiden Joko Widodo terus menyatakan perlindungan HAM merupakan salah satu prioritas mereka, namun faktanya terdapat kemunduran dalam penegakan HAM dan reformasi hukum.
Di usia kemerdekaan Indonesia ke-78 ini, keberadaan pasal-pasal karet di UU ITE justru membelenggu warga untuk merdeka berekspresi dan menodai semangat kemerdekaan. Penerapan peraturan-peraturan yang represif membuat masyarakat sipil takut dalam menyuarakan kritik, baik di ruang fisik maupun digital sehingga ruang sipil masyarakat semakin menyempit. Maka dari itu, pada peringatan hari kemerdekaan ini, Koalisi menyerukan kepada para pembuat kebijakan agar momentum kemerdekaan ini ikut terwujud dalam revisi kedua UU ITE agar nantinya lebih menjamin kemerdekaan berekspresi warga, alih-alih keberadaan UU ITE justru terus merepresi ekspresi warga sehingga mengancam demokrasi. (Yan)