Petaka di Ujung Pena (2)

Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap jurnalis dalam menjalankan profesionalnya sudah berusia 25 tahun.

Jaminan ini juga dipertegas dalam Peraturan Dewan Pers No 5 Tahun 2008 tentang standar perlindungan profesi wartawan. Di Dalam peraturan tersebut ada sejumlah poin perlindungan terhadap jurnalis. Antara lain adanya perlindungan hukum dalam menjalankan tugas jurnalistik.  Jurnalis dilindungi dari tindak kekerasan dan perkara jurnalistik. Tetapi dalam praktiknya hingga saat ini masih sering terjadi kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Keamanan Jurnalis Tanggung Jawab Siapa?

Dari data AJI Indonesia selama 10 tahun terakhir medium (2013-2023) ada 640 kasus yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah kasus tertinggi terjadi pada tahun 2016 ada 81 kasus, pada tahun selanjutnya terjadi penurunan jumlah kasus selama 3 tahun berturut-turut. Pada tahun 2020 kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali meningkat hingga mencapai 84 kasus. Pada tahun 2021 turun menjadi 41 kasus, 2022 ada 61 kasus dan hingga September 2023 jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis mencapai 66 kasus.  

Dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Indonesia, tak terkecuali Provinsi Aceh, hanya sedikit jurnalis yang berani melapor saat mengalami masalah dalam peliputan. Padahal setiap tahun ada saja kekerasan yang terjadi terhadap pekerja pers di Indonesia.

Faktor psikis, faktor trauma, tidak ada dukungan dari perusahaan dan keamanan keluarga menjadi alasan para korban enggan melapor ke pihak berwajib untuk diproses secara hukum. Bahkan ada yang menarik kembali laporannya di kepolisian dan memilih berdamai dengan pelaku, jelas ketua divisi Advokasi AJI Indonesia, Erik Tanjung.

“Ada beberapa kasus yang kita tangani, disaat korbannya mau dan bersedia untuk melapor dengan didampingi AJI, tapi perusahaannya tidak mensupport dan tidak mau memperpanjang perkara, akhirnya korban mundur dan kita juga tidak bisa memaksa mereka,” jelasnya.

Seperti yang terjadi di tahun 2022. Ada 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media dengan jumlah korban sebanyak 97 orang, dan 14 orang dari organisasi media yang menjadi korban, dengan total 111 korban, namun yang hanya berani melapor ke kepolisian hanya 16 orang korban.

Saat itu AJI Indonesia ikut mendampingi dan mengawal proses hukum 16 kasus tersebut, tetapi lagi-lagi keadilan tidak berpihak ke jurnalis, dari 16 kasus hanya lima kasus yang diproses oleh polisi, pelakunya ditangkap, namun tidak ada satupun perkara tersebut yang di jerat dengan UU Pers pasal 18 ayat 1.

“Jadi tidak ada satupun perkara jurnalis yang diproses dan diselesaikan dengan undang-undang No.40 pasal 18 ayat 1 yang ancamannya 2 tahun penjara atau denda 500 juta termasuk kasus kekerasan yang terjadi di Aceh,” ujar Erik lagi.

Selama ini banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis diselesaikan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal dalam pelaporan ke pihak kepolisian oleh Organisasi Pers dan LBH pers pihaknya terlebih dahulu menggunakan UU Pers kemudian baru menggunakan KUHPidana baik saat berkasus dengan pihak sipil atau pun TNI dan Polri.

“Setiap pembuatan pelaporan kasus pers ke pihak kepolisian kita menjalankan dengan UU Pers terlebih dahulu kemudian baru menggunakan KUHPidana. dan kita selalu meminta pihak penyidik untuk memakai pasal 18 ayat 1 UU Pers. baik saat berkasus dengan sipil maupun TNI dan POLRI,”ucap Erik lagi. 

Namun pihak penyidik dari kepolisian tetap saja lebih menggunakan pasal pada KUHPidana dan ini masih menjadi catatan AJI Indonesia dan LBH Pers dalam menangani kasus hukum terhadap jurnalis, apalagi ketika pelakunya adalah TNI atau Polisi.

 “ Jika pelakunya Polisi dan TNI itu proses penyelesaian secara hukum selalu lama, bisa berbulan bulan hingga tahunan untuk menyelesaikan satu perkara. Hukuman yang dijatuhkan juga sangat ringan.”ucap Erik lagi.

Rata-rata hasil putusannya sangat rendah, jauh dari rasa keadilan bagi korban. terkadang para pelaku hanya diberi sanksi etik saja, ada juga diberikan hukuman percobaan tanpa ada sanksi etik sehingga pelaku bebas begitu saja.

Ada perlakuan impunitas terhadap pelaku. Impunitas ini sering sekali terjadi ketika pelakunya itu adalah polisi dan TNI. Oleh karena itu, setiap bertemu dengan Kapolri, Kabareskrim dan beberapa Kapolda di daerah, AJI  selalu sampaikan untuk kasus kekerasan terhadap jurnalis yang berkaitan dengan anggota Kepolisian dan TNI harus diproses secara pidana dan UU Pers. Bukan hanya diselesaikan dengan sidang etik sebagai bentuk ketidak disiplinan anggota.

“ Semua harus diproses secara hukum, bukan hanya memberi sanksi etik saja. Jangan ada pelanggengan atas impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis dari penegak hukum,”  harap Erik.

Namun hal tersebut tak semudah dibayangkan, beberapa kasus yang sedang diadvokasi AJI harus terhenti ditengah jalan, korban tiba-tiba mundur dan mencabut laporannya. Ada yang berdamai dengan pelaku, bahkan ada juga yang tidak ada dukungan dari pihak perusahaan, hal ini sangat disayangkan AJI dalam mengadvokasi perkara pers.

“Sekarang kita mengharuskan setiap jurnalis yang menjadi korban untuk mengisi form komitmen yang menyatakan bersedia didampingi sampai kasus ini tuntas, sehingga tidak terjadi penarikan laporan di tengah jalan atau mundur seperti beberapa kasus yang terjadi di sejumlah daerah,” cerita Erik lagi kepada media ini.

Ketua Divisi Advokasi dan Riset LBH Pers, Ahmad Fathanah Haris mengatakan,Jika kasus kekerasan terhadap jurnalis pelakunya sipil, itu akan lebih mudah diselesaikan, dan bisa disiasati agar laporannya bisa diterima dan diproses dengan segera. Namun jika perkara yang melibatkan aparat Kepolisian dan TNI penyelesaiannya memakan waktu yang cukup lama bahkan lebih susah di proses.

Salah satu contohnya penanganan terhadap pembakaran rumah Asnawi Luwi, jurnalis Harian Serambi Indonesia di Aceh Tenggara. Untuk sebuah keadilan, ia harus berjuang selama 4 tahun, meski hasilnya tak seperti yang diharapkan. Hakim Pengadilan Militer 101 Banda Aceh menjatuhkan hukuman kepada pelaku dengan sangat ringan bahkan jauh dari sebuah keadilan bagi korban. Tambah Ahmad Fathanah lagi.

“ Ada pemberlakuan Restorative Justice pada kasus Asnawi, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana, dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi. dan ini yang dikhawatirkan jika kasus kekerasan terhadap pers atau sipil dengan Pihak TNI yang diadili di Mahkamah Militer,” ucap ketua Divisi Advokasi dan Riset LBH Pers tersebut.

Fathan juga mengatakan, untuk penyelesaian kasus Asnawi semestinya bisa diselesaikan di luar pengadilan Militer, yakni dengan menggunakan pengadilan koneksitas. Dimana, majelis hakimnya terpenuhi dari dua unsur yaitu dari pengadilan militer dan pengadilan sipil, karena implikasinya ke masyarakat sipil.

Penyelesaian perkara pidana antara sipil dan TNI dibenarkan dilakukan di luar pengadilan Militer. Hal tersebut diatur dalam kitab hukum acara pidana yang mengakui adanya Pengadilan Koneksitas yaitu Pengadilan  penyelesaian perkara tindak pidana dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi.

“ Pelaku pembakaran rumah wartawan Asnawi itu masih TNI aktif. Dan saat itu kondisinya bukan sedang perang, sehingga harus di adili di Pengadilan Militer. Semestinya diadili dengan pengadilan koneksitas dengan tujuan menyelesaikan perkara antara TNI dan sipil,” papar ketua Divisi advokasi LBH Pers.

Selain itu, ketika kasus sipil dan TNI diadili di Pengadilan Militer, kebanyakan tidak seimbang karena ancaman hukuman dan lain sebagainya bisa di intervensi, pemberlakuan impunitas ke pelaku dari TNI. Dan ini menjadi salah satu alasan mengapa putusan yang diterima pelaku lebih ringan dan tidak berpihak pada korban.

“ Sebenarnya Dewan pers punya MoU dengan aparat penegak hukum TNI, POLRI tetapi lebih kepada penyelenggaraan sengketa jurnalistik. Semestinya jika ada kasus antara sipil dan TNI, pihak kepolisian punya independensi sebagai lembaga hukum dalam penyelesaiannya” jelas Fathan lagi.

 

Ahli Pers Wilayah Aceh, Adi Warsidi membenarkan jika penyelesaian beberapa kasus pers di Aceh tidak menggunakan UU Pers. melainkan dengan KUHPidana dan banyak juga yang selesai secara damai antara pelaku dan korban.

Isi dari pemberitaan kerap menjadi pemicu timbulnya tindak kekerasan dan pengancaman kepada jurnalis, karena merasa terganggu dengan apa yang diberitakan, terutama terkait indikasi korupsi, terkait pelaksanaan sebagai kontrol sosial pelaksanaan pembangunan misalnya proyek atau semacamnya.

“ Dalam beberapa kasus saya lihat seperti itu yang jadi pemicunya, ketidaktahuan para pengambil kebijakan, para pelaku maupun orang yang  berpotensi sebagai pelaku terkait kerja-kerja jurnalistik. masih adanya wartawan ataupun media abal-abal yang menulis berita untuk memeras,”tutur Adi Warsidi.

Memberi pemahaman tentang kerja-kerja jurnalistik ke pihak pemerintah dan masyarakat yang bersinggungan langsung di lapangan menjadi tanggung jawab organisasi pers selain dari dewan pers secara umum. Terutama untuk wilayah-wilayah yang jauh dari ibukota dan sumber informasi.

Hampir rata-rata kasus kekerasan dan pengancaman terhadap jurnalis terjadi di daerah (Kabupaten/Kota) Jelas mantan ketua AJI Banda Aceh ini.

“ Orang-orang berpotensi sebagai pelaku kekerasan terhadap jurnalis karena tidak paham soal bagaimana kerja-kerja jurnalistik, terutama di daerah.  kalau di pusat kota seperti Banda Aceh lebih sering dilakukan sosialisasi terhadap kerja-kerja jurnalis ke berbagai instansi, sehingga ketika ada kasus bakal diselesaikan dengan cepat,”papar Ahli Pers Aceh ini.

Adi Warsidi juga mengatakan, kasus kekerasan fisik, teror pidana menggunakan UU  ITE terjadi bukan semata-mata karena ketidak pahaman narasumber atau pihak terkait terhadap kerja-kerja jurnalistik tetapi juga dipicu oleh jurnalisnya sendiri yang masih melanggar secara etik karena belum terpenuhi, karena belum taat dengan kode etik jurnalistik.

Untuk mitigasi jurnalis agar terhindar dari kekerasan yang pertama adalah harus taat kode etik terlebih dahulu, karena dari banyak kejadian kasus itu (diluar yang digital) ancaman, teror, kekerasan fisik, kebanyakan terjadi karena mereka tidak taat kode etik jurnalistik atau belum terlibat secara pemberitaan.

Kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat TNI sudah terjadi di Aceh jauh sebelum pembakaran rumah Asnawi di Aceh Tenggara. Yaitu kasus yang menimpa Ahmadi wartawan Harian Aceh di tahun 2010. Setelah itu tidak ada lagi kekerasan yang terjadi terhadap pekerja pers selama 8 tahun sehingga Aceh menduduki peringkat satu untuk tingkat kebebasan pers.

Sejumlah fakta diatas menunjukan bahwa jurnalis belum sepenuhnya aman dalam menjalankan profesinya. Masih kerap terjadi kekerasan baik fisik maupun verbal mengancam kinerja jurnalis. Padahal kinerja jurnalis yang profesional dan aman sangat dibutuhkan sebagai penopang pilar demokrasi keempat.

AJI merekomendasikan agar Dewan Pers bersama komunitas pers perlu mendorong aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis. Pembiaran kekerasan terhadap jurnalis akan membuat kasus yang sama terus berulang pada masa mendatang. (Yan)

Liputan ini merupakan hasil kolaborasi antara Kompas TV Aceh dan Digdata.id lewat pendanaan dari Hibah Liputan JARING Aman

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.