Bukan hal mudah melewati hari meugang tanpa keluarga, tapi terpaksa harus dilewati
BANDA ACEH, DIGDATA – Mau bilang apa, Asmawati (35), warga Aceh Selatan ini harus bersiap menjalani ibadah Ramadhan di Banda Aceh. Pupus sudah suasana meugang dan makan bersama (Meuramin) keluarga besarnya. Asmawati masih harus mendampingi sang anak untuk menjalani pengobatan intensif di rumah sakit di Banda Aceh.
Ini adalah kali pertama Asmawati tak berada ditengah keluarganya disaat penting seperti ini. “Kalau dikampung saat-saat seperti ini pasti sudah ramai keluarga dari berbagai tempat berkumpul dirumah kami, dan kemudian masak bersama, lalau masakan dibawa ke pinggir sungai sambil berwisata dan makan bersama, menghabiskan hari terakhir bulan Sya’ban,” ungkap Asmawati.
Namun tahun ini, ia terpaksa memendam rasa ingin berkumpul menikmati meugang bersama keluarga, karena pengobatan sang anak. Bukan hal mudah melewati hari meugang tanpa keluarga, tapi terpaksa harus dilewati. “ Entah bisa terbayar pada hari raya nanti atau tidak, karena proses pengobatan ini masih lama,” ujar Asmawati.
Tradisi makmeugang atau meugang, adalah tradisi turun temurun di Aceh yang dilakukan saat menyambut hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri, Idul Adha dan saat menyambut puasa Ramadhan.
Dihari itu, semua warga meraakannya dengan memasak daging, terutama daging sapi. Seetiap rumah “wajib” menyajikan menu daging untuk disantap bersama. Karena tradisi ini jugalah, harga daging sapi setiap perayaan Meugang tiba, melonjak drastis hingga mencapai Rp200 ribu per kilogram.
Sejaran Tradisi Meugang di Aceh
Budayawan Aceh, Nab Bahany AS, menebutkan, bahtradisi meugang adalah satu aturan yang dituliskan dalam Qanun Meukuta Alam, Qanun Undang-Undang negara Kerajaan Aceh Darussalam. “ Dalam Qanun Meukuta Alam itu disebutkan, sebulan sebalum datangnya hari makmeugang, menyambut bulan suci ramadhan. Sultan Aceh memerintahkan semua Uleebalang di Aceh untuk mendata seluruh fakir miskin, anak yatim, orang sakit (lumpuh), orang buta, dan orang tua (lansia) yang tak lagi mampu mencari nafkah, jadi saat itu ini bukan sekedar kebiasan tapi aturan yang ada dalam undang-undang,” jelas Nab Bahany, kepada DigData.id, Kamis (31/3/2022)

Semua data fakir miskin anak yatim, orang lumpuh dan orang buta harus sudah diterima oleh Sultan satu bulan sebelum hari makmeugang, baik hari makmeugang menyambut puasa, maupun hari makmeugang hari raya idul Fitri dan hari makmeugang hari raya idul Adha.
Setelah Sultan Aceh menerima semua jumlah fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta, dan lansia dari Uleebalang seluruh Aceh. Sultan Aceh pun memerintahkan kepala Tandi Siasah (kepala gudang harta kerajaan) untuk mengeluarkan bantuan kerajaan kepada seluruh fakir miskin, anak yatim dan orang sakti, serta orang buta dan lansia berdasarkan jumlah yg diterima Sultan dari masing-masing Uleebalang di seluruh Aceh.
Dalam Qanun Meukuta Alam disebutkan, masing-masing fakir miskin, orang sakit, orang buta dan lansia, mendapat anugerah Sultan untuk menyambut hari makmeugang dan memasuki bulan suci ramadhan, 5 hasta kain, dan sejumlah uang untuk daging makmeugang, dan biaya selama bulan puasa.
Qanun Meukuta Alam juga menyebutkan, bila bantuan anugerah Sultan Aceh itu tidak sampai kepada penerima bedasarkan jumlah data yang diterima Sultan, maka Uleebalang yang bertanggung jawab dlm wilayah yg tdk sampai anugerah Sultan itu, Uleebalang tersebut langsung dipecat oleh Sultan Aceh.
“ Jadi, persoalan hari Makmeugang di Aceh, bukan persoalan main-main. Kerajaan Aceh dulu memasukkan pelaksanaan makmeugang ini dalam undang-undang kerajaan Aceh sebagai konstitusi kerajaan Aceh,” jelas Nab Bahany.
Namun seiring perjalanan waktu, banyak hal sudah tergeser dari pondasinya, sebut Nab Bahany. “Saat ini benar jika menyediakan daging dirumah masih bisa kita lihat tapi esensinya sudah banyak berbeda, semua dilakukan individual, sudah jarang kita lihat pemimpin kemudian membagikan kebahagiaan kepada warga yang membutuhkan disaat meugang,” katanya. *****