Keberadaan lima spesies kunci yang tidak dimiliki di daerah lain, penegakan hukum yang lemah, kemiskinan masih tinggi, serta secara geografis berbatasan langsung dengan beberapa negara menjadikan Aceh berada di pusaran perdagangan satwa liar dunia secara ilegal, masuk dalam lingkaran setan yang tak berujung.
Faktor ekonomi, menjadi pemicu maraknya perdagangan satwa dilindungi di Serambi Mekkah. Karena ada satu pihak yang membutuhkan, permintaan yang tinggi, umumnya tinggal di negara maju tingkat perekonomian yang mapan, harga yang mahal semakin menyuburkan perburuan.
Indonesia sebagai negara megabiodiversitas kedua terbesar di dunia setelah Brazil yang memiliki banyak keanekaragaman hayati. Tentunya menjadi sorotan dunia dalam hal perdagangan satwa liar, karena mengancam punahnya spesies-spesies yang ada di Tanah Air. Terutama provinsi Aceh yang memiliki 4 spesies kunci, yaitu Harimau, Gajah, Badak dan Orangutan.
Berbagai upaya pencegahan dan penindakan memang telah dilakukan, terutama Serambi Mekkah yang telah memiliki Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Satwa Liar.
Namun faktanya, perdagangan satwa liar ini masih marak terjadi, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun dipelihara sebagai hewan eksotik. Tak hanya diperjualbelikan ke luar negeri, masih terdapat juga sejumlah kasus ditemukan dipelihara warga, mirisnya ada pejabat tinggi di Aceh ikut menguasai satwa dilindungi.
Penjemputan 9 ekor satwa dilindungi jenis burung oleh Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh pada Kamis (11/3/2021) dari di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh di kawasan Blang Padang, Kota Banda Aceh, menjadi preseden buruk dalam upaya konservasi satwa dilindungi.
Padahal ini jelas-jelas telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Termasuk telah mengangkangi Qanun Tentang Pengelolaan Satwa Liar.
Adapun satwa yang diterima itu terdiri dari seekor burung julang emas (Rhyticeros undulatus), satu ekor elang hitam (Uctinaetus malaynesis), empat ekor elang bondol (Haliatur indus) dan tiga ekor elang brontok (Nisaetus chirrhatus). Berdasarkan regulasi yang ada, menyimpan satwa jenis ini merupakan tindak pidana.
Hal ini seperti dikemukakan oleh seorang akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (FH USK), Kurniawan S SH LLM saat itu menilai keberadaan satwa dilindungi di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh melanggar hukum, karena menyimpan dan memelihara satwa dilindungi. Tetapi kejadian yang sempat menyita publik dan viral di jagad maya tidak tersentuh hukum.
Padahal salah satu upaya memecahkan rantai perdagangan satwa liar dengan penegakan hukum tanpa pilih kasih, agar ada efek jera dan pelajaran bagi yang belum melakukan kejahatan tersebut. Bila penegakan hukum lemah, regulasi yang ada hanya menjadi penghias lemari kaca di perkantoran.
Kendati demikian, medio Desember 2021 terdapat secercah harapan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan pembunuhan dan perdagangan satwa dilindungi di Aceh. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Idi, Aceh Timur yang dipimpin Apri Yanti dibantu Ike Ari Kesuma dan Zaki Anwar sebagai hakim anggota menghukum pidana lima terdakwa.
Kelima terdakwa tersebut bertanggung jawab kasus pembunuhan dan penjualan gading Gajah Sumatera liar yang ditemukan di Jambo Reuhat, Aceh Timur 12 Juli 2021. Gajah itu ditemukan di kawasan perkebunan sawit PT Bumi Flora dengan kondisi kepala dan gading hilang.
Meskipun Majelis hakim PN Idi memvonis kelima terdakwa lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), M Iqbal Zakwan SH pada Rabu (24/11/2021) selama 4 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 100 juta dengan subsider 6 bulan. Akan tetapi ini menjadi awal yang baik penegakan hukum bagi pelaku kejahatan perdagangan dan pembunuhan satwa dilindungi.
Apri Yanti, ketua Majelis Hakim mengetuk palu untuk terdakwa Edy Murdani dan Jainal pada 15 Desember 2021 dengan pidana penjara 3 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 50 juta dengan subsider 3 bulan. Sedangkan Rinaldy Antonius, Soni dan Jeffri masing-masing divonis 3 tahun penjara, denda Rp 100 juta dengan subsider 6 bulan penjara.
Majelis hakim menilai, kelima terdakwa melanggar Pasal 21 ayat 2 huruf d Jo Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 55 KUHPidana. Mereka juga memiliki peran yang berbeda-beda dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Pengurangan vonis hukuman kepada terdakwa pembunuh sekaligus penjual satwa dilindungi dari dakwaan yang dituntut JPU, bukan kali pertama dilakukan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Idi.
Pada 2018, terdakwa kasus pembunuhan serta penjual gading gajah jinak bernama Bunta di Kabupaten Aceh Timur, juga mendapatkan putusan vonis lebih ringan.
Jaksa sebelumnya menuntut terdakwa Amiruddin dan Alidin dengan empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp1 miliar.
Akan tetapi, majelis hakim Pengadilan Negeri Idi yang dipimpin oleh Irwandi, memvonis keduanya empat tahun penjara dan denda Rp100 juta, dalam sidang, pada Kamis (20/12/2018).
Aceh Jadi Target
Secara geografis, perairan Aceh berbatasan langsung dengan India, Myanmar, Thailand, dan Malaysia. Di sebelah Timur, berbatasan dengan laut dan darat dengan Provinsi Sumatera Utara.
Kemudian berhadapan dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh juga berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Kondisi geografis seperti ini tentunya berada di pusaran perdagangan satwa liar dunia di Indonesia. Ada banyak jalan tikus terdapat di sejumlah perairan Aceh, memungkinkan mafia satwa menyelundupkan satwa dilindungi ke sejumlah negara dan sulit terpantau oleh petugas.
Dari beberapa kasus yang ditemukan, kerap dijumpai memiliki kaitan dengan jaringan internasional. Penyelundupan satwa dilindungi, selain menggunakan jalur udara, darat, sering juga ditemukan melalui berbagai jalur tikus yang terdapat di perairan Aceh.
Kepala Seksi Balai Gakkum Wilayah Sumatera, Seksi Wilayah I Medan, Haluanto Ginting mengatakan, selama pandemi, bisnis yang dijalankan para pelaku jaringan perdagangan satwa dilindungi tidak banyak melakukan transaksi antar negara.
Terbatasnya aktivitas untuk masuk dan ke luar negeri selama pandemi, membuat para pelaku hanya memasarkan hasil buruannya melalui dunia maya. Namun sebelum pagebluk Covid-19, sejak 2018 lalu Balai Gakkum sering menemukan perdagangan satwa liar asal Aceh diperjualbelikan antar negara.
Kasus pertama yang pernah ditangani Balai Gakkum upaya penyelundupan Orangutan dari Indonesia ke Thailand. Aksi itu dilakukan seorang warga asal Kabupaten Aceh Tamiang.
Dia secara diam-diam membawa satwa dilindungi tersebut melalui pelabuhan tikus di daerah asalnya, namun kemudian ditangkap polisi Malaysia di Penang pada 2018.
Penggagalan upaya penjualan paruh burung rangkong ke seorang warga negara asing (WNA) asal Tiongkok pada 2020, menjadi kasus kedua yang ditanganinya. Akan tetapi transaksi berhasil digagalkan, padahal calon pembeli saat itu telah tiba di Indonesia melalui Jakarta.
Pembatasan pergerakan ke luar maupun masuk ke dalam negeri selama pandemi, menjadi salah satu penyebab bisnis pasar gelap perdagangan satwa tersebut gagal. Alhasil, paruh tersebut dijual di dalam negeri dan ditangkap Balai Gakkum bersama Kepolisian Daerah (Polda) Aceh.
Padahal, WNA tersebut berencana berangkat ke daerah Takengon, Kabupaten Aceh Tengah bersama seorang warga –selaku pemandu– untuk berjumpa dengan si penjual paruh dari salah satu burung yang dilindungi itu.
Kasus ketiga, dua warga Tiongkok yang berupaya menyelundupkan sisik trenggiling ke luar negeri melalui Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 2019. Keduanya ditangkap petugas Avsec usai barang bawaan mereka terpantau dari X Ray.
Berdasarkan tiga kasus di atas, terlihat ada koneksi antara calon pembeli dari luar negeri dengan penjual satwa yang notabene dari dalam negeri. Sehingga, pola perkenalan antara mereka begitu jelas.
“Memang ya sudah ada koneksitas. Jadi ada penerima di Jakarta, ada guidenya dan di daerah juga mereka sudah mengumpulkan, jadi mereka sudah saling kenal atau menghubungkan,” jelas Haluanto.
Dari beberapa kasus yang ditangani Balai Gakkum, sebut Haluanto bukanlah pemburu langsung satwa dilindungi. Melainkan, pihak kedua dari pemburu. Begitu juga dengan pembeli, bukan penampung atau orang terakhir sebagai pemodal sekaligus penerima satwa yang diperjualbelikan.
“Mafia atau bandar– biasanya pasti ada menurut saya, namun hal itu menurut saya sering mereka tutup-tutupi. Itu umumnya, pasti mereka akan bilang begitu,” ucap Haluanto.
Berdasarkan data dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, sedikitnya ada 20 gajah mati akibat perburuan sejak 2014-2021.
Tujuh kematian di 2014 terjadi dalam beberapa bulan. Pertama, dua gajah mati tanpa gading terjadi di Kabupaten Aceh Barat, pada 3 April. Lima bulan kemudian atau 5 September, satu gajah mati tanpa gading juga terjadi di Kabupaten Aceh Jaya.
Dua hari setelah itu, tepatnya 7 September, dua gajah mati ditembak di Kabupaten Aceh Timur. Terakhir di kabupaten yang sama, ditemukan dua kerangka gajah tanpa gading pada 8 Oktober.
April 2015, tercatat ada dua kasus kematian gajah terjadi. Satu gajah di Kabupaten Aceh Timur ditemukan mati dengan kondisi kepala terpotong, pada 9 April. Selanjutnya, di Kabupaten Aceh Barat satu gajah kembali ditemukan mati tanpa gading, pada 13 April.
Kematian akibat perburuan terhadap gajah terus terjadi, termasuk di 2016. Di Pidie, satu bangkai gajah tanpa gading ditemukan, pada 1 Desember.
Selanjutnya, 14 Januari 2017, gajah mati tanpa gading ditemukan di Kabupaten Aceh Timur. Kematian dengan kondisi tanpa gading juga ditemukan di Kabupaten Aceh Tengah, pada 17 Juli.
Sebulan sebelum menutup tahun, penemuan gajah mati kembali terjadi. Kali ini di Kabupaten Aceh Timur. Gajah mati akibat tersengat listrik dan gadingnya hilang.
Setahun kemudian, bangkai gajah tanpa gading ditemukan di Kabupaten Pidie Jaya, pada 15 November 2018. Diduga, motif perburuan karena berada di pinggir hutan lindung dan bukan area konflik gajah dengan manusia.
Berbeda dalam lima tahun terakhir, kasus kematian gajah akibat perburuan malah tidak ditemukan di 2019. Akan tetapi, memasuki awal 2020, Aceh dikejutkan dengan penemuan lima kerangka gajah di Kabupaten Aceh Jaya dalam tempo waktu dua hari.
Kerangka tiga gajah ditemukan di Kabupaten Aceh Jaya tersebar di enam titik lokasi dalam satu desa, pada 1 Januari 2020. Keesokan harinya, kembali ditemukan dua kerangka gajah lainnya.
Di sekitar tulang belulang itu terdapat pagar perkebunan sawit milik warga yang telah dialiri listrik. Besar dugaan, satwa dilindungi tersebut mati akibat tersengat listrik.
Kasus terakhir kematian gajah akibat perburuan terjadi pada 11 Juli 2021 di Kabupaten Aceh Timur. Perburuan terakhir ini melibatkan lima terdakwa yang hukumannya baru divonis Pengadilan Negeri Idi, pada 15 Desember 2021 lalu.
Sepanjang 2014-2021 total kematian gajah sebanyak 20 individu. Motif pembunuhannya bermacam-macam, lima di antaranya dengan cara ditembak, dua menggunakan sengatan arus listrik, dan sisanya tidak diketahui.
Kabupaten Aceh Aceh Jaya dan Aceh Timur menjadi daerah yang paling banyak ditemukan kematian gajah, masing-masing 8 kasus dan 6 kasus. Kematian gajah juga kerap ditemukan dalam kawasan konsesi perkebunan sawit.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Salihin menilai, belum tertangkapnya pelaku utama perdagangan satwa dilindungi, disinyalir ada orang kuat yang melindungi mereka, termasuk diduga ada keterlibatan penegak hukum.
“Tidak semua murni dilakukan oleh para mafia. Disinyalir adanya oknum aparat penegak hukum yang melindungi pelaku perdagangan satwa liar ini,” ucap Ahmad Salihin.
Belum tertangkapnya aktor utama pelaku perburuan dan perdagangan satwa dilindungi di Aceh telah berdampak serius mengalami peningkatan kasus setiap tahunnya, terutama satwa Gajah yang memiliki nilai tinggi.
Menurut Om Sol, sapaan akrab Ahmad Salihin, seringnya ditemukan gajah mati dalam kawasan perkebunan sawit, maka pemilik konsesi seharusnya juga ikut bertanggung jawab melindungi satwa dilindungi.
Karena saat pemilik konsesi mengurus izin untuk membuka lahan, ada 18 indikator yang harus dipenuhi sebagai pemilik konsesi. Salah satunya pemilik konsesi harus menyediakan ruang untuk satwa dan memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT).
Tidak hanya itu, 20 persen wilayah konsesi seharusnya bisa dialihkan ke masyarakat untuk dimanfaatkan. Namun, kebanyakan pemilik konsesi tidak menjalani kewajiban tersebut dengan benar.
Alhasil, masyarakat di sekitar hutan yang tidak mempunyai lahan pertanian, memilih menjadi pemburu dan melakukan perdagangan satwa serta pelaku perambahan hutan liar atau illegal logging.
“Sebagian besar masyarakat tidak punya plasma dari wilayah konsesi tersebut. faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab masyarakat terus melakukan perburuan satwa,” ujarnya.
Masyarakat yang tinggal di Tampur Paloh, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Tamiang salah satu contoh, sebut Om Sol, merambah hutan dan memperdagangkan satwa liar telah menjadi pekerjaan tradisional masyarakat yang tinggal di pinggir tutupan hutan.
“Seperti Rangkong, salah satu burung liar yang dilindungi oleh negara itu begitu mudah diburu warga dan diperjualbelikan karena sudah menjadi kebiasaan,” ungkapnya.
Dalam memutuskan rantai perdagangan satwa liar ini, sebutnya, melarang dan menghukum saja tidak dapat menyelesaikan masalah, karena akar persoalan sebenarnya adalah faktor kemiskinan masih tinggi di Aceh.
Hingga saat ini pemerintah Aceh belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan hutan. Justru berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan justru lebih tinggi di daerah pedesaan.
BPS juga mencatat, ada 834,24 ribu penduduk miskin di Aceh pada Maret 2021, naik 0,04% dibandingkan pada September 2020 sebanyak 833,91 ribu jiwa. Meski demikian, tingkat kemiskinan di Aceh mengalami penurunan dari 10,43% pada September 2020 menjadi 10,33% pada Maret 2021.
“Tidak ada upaya dari pemerintah memberikan alternatif ekonomi lain. Tidak ada upaya sosialisasi pengetahuan masyarakat terhadap satwa liar. Sebagian dari masyarakat bahkan tidak tahu bahwa rangkong merupakan hewan dilindungi,” imbuhnya.
Dampak Kerancuan Tata Ruang
Berdasarkan kajian WALHI Aceh, meningkatnya kasus konflik satwa dengan masyarakat, maraknya perdagangan satwa dilindungi di Tanah Rencong tidak terlepas tata kelola ruang yang masih amburadul.
Karena substansi Qanun RTRW Aceh sekarang masih bermasalah. Sehingga terjadinya beragam persoalan lingkungan hidup di Aceh. Tidak hanya konflik satwa dengan masyarakat, juga berakibat terjadinya berbagai macam bencana hidrologi.
Om Sol mencontohkan, krisisnya ruang budidaya, terutama wilayah kelola masyarakat di kabupaten/kota yang diapit oleh kawasan hutan dan konservasi, telah berdampak terjadi perambahan hutan yang membuat habitat satwa terganggu..
Seringnya ditemukan kematian satwa dilindungi, khususnya gajah di kawasan lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU), kebun warga, kawasan hutan. Membuktikan bahwa pengelolaan tata ruang di Bumi Iskandar Muda masih bermasalah.
Menurut Om Sol, konflik satwa yang mengakibatkan pembunuhan dan berdampak terjadinya perdagangan satwa dilindungi itu. Ada banyak wilayah HGU, perkebunan warga, pembangunan infrastruktur seperti jalan lintas telah memutus koridor satwa, seperti yang terjadi di Kabupaten Pidie, Bener Meriah dan Aceh Utara.
“Ketika koridor terputus, banyak satwa yang masuk ke lahan warga,” kata Shalihin, Kamis (30/12/2021).
Untuk menekan angka konflik, perdagangan satwa secara ilegal dan sejumlah kejahatan lingkungan lainnya, termasuk meminimalisir terjadi bencana alam. Om Sol mendesak Pemerintah Aceh untuk melakukan revisi Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2013-2033.
“Ini bisa menjadi solusi jangka panjang agar konflik satwa hingga bencana bisa diatasi secara bersama-sama. Karena dalam tata ruang tersebut, semua pihak terlibat berkontribusi untuk mencegah berbagai kejahatan lingkungan,” sebutnya.
Dengan adanya revisi Qanun RTRW, sebutnya, memiliki acuan dalam pemanfaatan ruang, pengembangan wilayah serta bisa mewujudkan keseimbangan pembangunan di kabupaten/kota. Sehingga memiliki kesamaan pandangan dalam pengambilan kebijakan, baik dalam pemanfaatan hutan maupun pemanfaatan ruang dan wilayah lainnya.
Upaya Pencegahan
Dalam upaya pencegahan terjadi konflik dan perdagangan satwa di Aceh. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah bekerjasama dengan berbagai pihak di daerah. Salah satunya membekali Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan keuchik (kepala desa).
“Tindakan itu sebagai bentuk pencegahan agar tidak terjadi perburuan, penanggulangan konflik yang menggunakan alat atau bahan membahayakan, itu yang kita lakukan kemarin,” kata Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto.
Egy, sapaan akrab kepala BKSDA Aceh menyebutkan, saat ini sedang fokus mendata kawasan-kawasan di Aceh yang bakal dijadikan daerah koridor penghubung. Karena, selain menyesuaikan dengan pola pengendalian, penyelesaian pola mitigasi pencegahan konflik bakal diterapkan.
Wilayah-wilayah itu nantinya, sebut Egy bisa memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan pemerintah daerah dengan menjadikan objek wisata di suatu daerah.
Egy juga mengaku, keberadaan beberapa satwa dilindungi di Aceh, seperti gajah berdasarkan pantauan dari GPS Collar yang dipasang, pergerakan satwa dilindungi sebagian bersar berada di luar kawasan hutan konservasi maupun lindung.
Bahkan, hewan bertubuh besar itu, sebutnya, sering terpantau berada di wilayah Area Penggunaan Lain (APL) maupun Hak Penggunaan Lain (HPL). Keberadaan satwa tersebut di kawasan tersebut cenderung beresiko terjadi konflik hingga pembunuhan.
BKSDA dalam beberapa tahun ini sedang berupaya melakukan tindakan pencegahan konflik, terutama di kawasan berbatasan langsung dengan hutan lindung maupun konservasi. “Saat ini (BKSDA) sedang melakukan pendataan daerah yang bisa menjadi wilayah koridor penghubung,” sebutnya.
Tujuannya, agar meminimalisir terjadinya konflik yang bisa berujung dengan kerugian di masyarakat maupun berdampak terhadap keberlangsungan hidup satwa dilindungi akibat diburu.
Koridor yang sedang dirancang dan saling terhubung ini nantinya akan tersebar di 10 wilayah di Aceh. Salah satunya di kawasan perbatasan antara Kabupaten Bener Meriah dengan Kabupaten Bireuen yang nantinya akan saling terhubung.
“Nanti pola pengendalian ruang yang kita mainkan, misalnya dia petani, nanti jenis tanaman yang ditanam adalah jenis tanaman yang tidak disukai oleh gajah,” ucap Agus.
Upaya dengan penanganan seperti ini, dijelaskannya, tidak hanya diperuntukan untuk gajah saja, namun juga kawasan lintas spesies satwa liar dilindungi lainnya seperti harimau, orang utan, dan badak.[]
Editor: Afifuddin
Tulisan ini merupakan hasil karya Saifullah dan Riska Munawwarah atas Program Liputan Mendalam kerja sama Forum Jurnalis Lingkungan dengan Yayasan Hutan Alam, Lingkungan Aceh (HAkA).