Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) mengklaim pencemaran udara yang terjadi di lingkaran tambang milik PT Medco E&P Malaka di Kabupaten Aceh Timur masih di ambang batas.
Klaim ini disebutkan oleh BPMA setelah institusi pengelolaan minyak dan gas Aceh menurunkan tim dan juga berkoordinasi dengan Dinas kehutanan Lingkungan Hidup (DLHK) Aceh untuk melakukan pengecekan.
Sehingga, melalui rilis yang dikeluarkan BPMA-PT Medco E&P, Kadis DLHK Aceh, A Hanan menyampaikan, bau dampak dari aktivitas penambangan masih di ambang batas ketentuan. Hal tersebut berdasarkan hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan oleh tim DLHK Aceh pada 27 desember 2022.
“Hasil temuan lapangan terhadap parameter amoniak dan sulfur masih dalam ambang batas yang diperbolehkan sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50 tahun 1996,” kata A Hanan melalui rilis yang dikirim oleh BPMA.
Kepala Divisi Formalitas sekuriti KKKS dan hubungan eksternal BPMA, Adi Yusfan mengatakan saat ini PT Medco E&P Malaka sedang melakukan perawatan fasilitas produksi, sehingga dalam kondisi normal, tidak terdeteksi bau.
Sedangkan, tambah Adi, pada saat perawatan, bau busuk mungkin saja sesekali terdeteksi oleh indra penciuman namun semuanya masih di ambang batas normal.
“BPMA akan terus mengawasi aktivitas PT Medco dalam memenuhi kebutuhan domestik dan kami berharap dukungan semua pihak agar dapat melaksanakan tugasnya,” jelas Adi.
Sementara itu klaim tak terjadi pencemaran udara di lingkar tambang PT Medco E&P Malaka berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.
Pencemaran udara dampak ekploitasi minyak dan gas tersebut kenyataannya semakin mengkhawatirkan dan korban mulai berjatuhan, terutama perempuan, anak-anak hingga lansia.
Sudah 4 tahun warga yang bermukim di lingkaran tambang yaitu desa Blang Nisam, Alue Ie Mirah, Suka Makmur dan Jambo Lubok di Aceh Timur menghirup bau tak sedap yang dihasilkan dari proses produksi minyak dan gas oleh PT Medco E&P Malaka.
Bau busuk yang dihasilkan kerap kali membuat warga mual, muntah, pingsan hingga berulang kali harus dilarikan kerumah sakit.
Keterangan dari warga, sejak 2019 hingga akhir 2022 sudah 13 orang lebih yang menjadi korban dan semua harus dirawat di Puskesmas. Bahkan sebagian besar korban harus dilarikan ke rumah sakit umum daerah Zubir Mahmud di Idi, Kabupaten Aceh Timur.
“Ini persoalan serius yang harus segera ditangani, terlebih kebanyakan korbannya adalah perempuan, anak-anak, ibu hamil hingga lansia, mereka cukup rentan bila udara tidak sehat,” ujar Direktur WALHI Aceh, Ahmad Solihin melalui siaran pers, selasa (10/1/2023).
Baca: