Jalan menuju Kecamatan Indra Makmur, Kabupaten Aceh Timur tampak berlubang. Padahal ini merupakan jalur menuju proyek eksploitasi minyak dan gas milik PT Medco E&P Malaka – yang sekarang sedang menuai masalah. Pencemaran udara telah berdampak serius terhadap kesehatan perempuan, anak, ibu hamil hingga kaum lansia.
***
Pagi itu, Kamis (5/1/2023) cuaca sedikit terasa dingin, karena semalam Kota Binjei, Kabupaten Aceh Timur diguyur hujan. Satu per satu tampak jamaah masuk ke dalam Masjid Al-Qubra. Suara adzan pun menggema, pertanda memasuki waktu subuh dan semua larut menunaikan shalat secara berjamaah.
Telepon genggam Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Muhammad Nasir berdering dua kali, tetapi tak terangkat karena sedang menunaikan shalat subuh. Deringan ketiga, baru kemudian diangkat, ternyata yang menelpon warga Blang Nisam yang menjemput.
Ya, saat itu tim WALHI Aceh hendak bertemu sejumlah ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas Lingkar Tambang. Kelompok perempuan sejak 2019 lalu melancarkan protes terkait pencemaran udara, dampak beroperasinya perusahaan raksasa minyak dan gas milik PT Medco E&P Malaka di Aceh Timur.
“Kita sarapan dulu ya,” ajak Muhammad Nuraqi, seorang warga Blang Nisam saat bertemu di halaman Masjid Al-Qubra, Binjei. Ini merupakan pertemuan pertama kali secara tatap muka dengan tim WALHI Aceh. Selama ini hanya berkomunikasi melalui telepon saat melaporkan kasus pencemaran udara.
Kendati baru bertemu langsung. Suasana kekeluargaan telah terbangun. Ia langsung mengajak ke salah satu warung kopi di depan Masjid Al-Qubra untuk ngopi dan sarapan pagi.
Ngopi pagi memang sudah menjadi kebiasaan warga Aceh – sebelum menjalankan rutinitas. Segelas kopi dan sepiring nasi guri terhidang di meja. Semua lahap menyantap hidangan sederhana itu.
“Nanti ikut saya saja pelan-pelan ya,” kata Nuraqi memecahkan kesunyian, karena semua sedang larut dengan santapan masing-masing.
“Jalan pelan-pelan saja, karena jalan banyak lubang,” kata Nuraqi lagi mengingatkan. Sembari dia menjelaskan kondisi jalan menuju pusat Kecamatan Indra Makmur. Jaraknya sekitar 17 s.d 20 kilometer masuk dari Simpang Empat Kuta Binjei, Kecamatan Julok, persis bersebelahan dari Masjid Al-Qubra.
Motor milik Nuraqi memandu di depan. Awalnya laju mobil berjalan mulus, kendati ada lubang kecil yang mudah saja dilalui dengan mobil jenis Avanza tahun pemakaian 2016.
Tak berselang lama, dari kejauhan tampak motor Nuraqi mulai berbelok-belok. Padahal pagi itu jalan masih sepi. Ternyata jalan yang melintasi 8 desa menuju Gampong Blang Nisam, Kecamatan Indra Makmur penuh dengan lubang, lumpur dan genangan air.
Pedal gas mobil pun harus dimainkan, menaikkan dan menurunkan mengoper gigi mobil menghindari dan melintasi lubang yang dipenuhi lumpur dan genangan air. Kondisi itu sepanjang jalan menuju pusat kecamatan, hanya ada sekitar 500 meter jalan yang beraspal mulus dan tampak baru dikerjakan.
Setelah itu jalan kembali berlubang yang dipenuhi genangan air. Beberapa kali mobil terperosok dan terbanting, karena tiba ada beberapa lubang terbuka yang sulit dihindari. Padahal kecepatan mobil saat itu tidak lebih dari 40 km/jam.
“Ini keknya yang bang Nuraqi ingatkan hati-hati kalau ada jembatan,” ucap Muhammad Nasir sembari berjibaku dengan stir mobil – harus belok kiri dan kanan hindari lubang.
Sebelumnya Nuraqi juga mengingatkan terdapat jembatan darurat ada besi yang bisa saja ban mobil meledak, bila salah menginjakkan ban. Jembatan kayu, lalu ada besi diikat di lantai jembatan, bila ban mobil terinjak di sisi samping besi, bisa saja menimbulkan petaka.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam lebih. Tibalah di pusat Kecamatan Indra Makmur, jangan heran, ternyata kondisi jalan setali tiga uang selama perjalanan dari Simpang Empat Kuta Binjei, berlumpur, berlubang dan dipenuhi dengan genangan air.
Padahal di kawasan inilah perusahaan minyak dan gas milik PT Medco E&P Malaka resmi beroperasi sejak November 2015 dan mulai mengalirkan gas pertama pada 28 Agustus 2016. Tetapi infrastruktur jalan terkesan seperti daerah yang “belum merdeka”.
Bila musim hujan, lumpur dan genangan air menjadi “hadiah” terindah didapat warga, musim kemarau tentu udara bercampur abu yang bakal dihirup. Tentu ini akan mempengaruhi terhadap kesehatan masyarakat, terutama anak-anak, ibu hamil dan lansia yang merupakan kelompok rentan terjangkit berbagai penyakit.
Belum lagi sudah empat tahun lebih mencium bau tak sedap, sehingga mulai menimbulkan keresahan warga yang tinggal di ring satu kawasan izin PT Medco E&P Malaka, yaitu Gampong Blang Nisam, Alue Ie Mirah, Suka Makmur dan Jambo Lubok.
Begitulah nasib yang dialami warga yang tinggal di lingkaran tambang produksi minyak dan gas tersebut. Berbagai protes telah berulang kali dilayangkan sejak 2019 lalu.
Tetapi, bukan malah berhenti, pencemaran udara masih terus berulang, hingga telah banyak memakan korban jiwa, terutama perempuan, anak-anak, ibu hamil hingga lansia.
Dampaknya saat ini justeru semakin meluas. Sebelumnya hanya bau busuk yang membuat warga mual, muntah, pusing hingga ada yang pingsan dan berulang kali harus dilarikan ke rumah sakit. Sekarang semakin diperparah mulai berdampak terhadap kualitas air sumur yang mulai berubah rasa dan kandungannya.
Keterangan dari warga, sejak 2019 hingga akhir 2022 sudah 13 orang lebih yang menjadi korban dan semua harus dirawat di Puskesmas. Bahkan sebagian besar korban harus dilarikan ke rumah sakit umum daerah Zubir Mahmud di Idi, Kabupaten Aceh Timur.
Keluhan mereka sesak nafas, mual, muntah-muntah, pusing, lemas hingga ada yang pingsan setelah menghirup bau busuk dari limbah proses produksi PT.Medco E&P Malaka. Korbannya lagi-lagi kebanyakan adalah perempuan, anak-anak serta lansia yang berusia di atas 80 tahun.
Kasus dugaan pencemaran udara ini sudah berulang kali dilaporkan ke Pemerintah Aceh Timur dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Timur. Namun hingga sekarang belum ada tawaran solusi yang konkrit.
Malah pemerintah Aceh Timur meminta warga yang tinggal di ring satu kawasan tambang agar adaptasi saat bau busuk terjadi. Hal ini seperti pengakuan seorang tokoh masyarakat dan agama di Gampong Blang Nisam, Tgk Usman, membenarkan solusi yang disampaikan pemerintah.
“Jadi waktu bau, justru kami warga yang suruh pindah, pergi ke tempat yang gak bau, kan aneh,” kata Tgk Usman, sembari menumpahkan kekecewaannya keberadaan PT Medco yang menurutnya tak bermanfaat untuk masyarakat, justru sekarang warga semakin resah keberadaan perusahaan minyak dan gas itu beroperasi di tanah kelahirannya.
***
Bau Busuk Menelan Korban
Bau busuk di area PT Medco E&P Malaka telah menelan korban dalam kurun waktu 4 tahun terakhir ini. Perempuan, anak-anak, ibu hamil, dan kelompok lansia pihak yang paling rentan terjangkit penyakit dampak dari pencemaran udara.
Dampaknya sekarang semakin meluas. Sebelumnya hanya bau busuk yang membuat warga mual, muntah, pusing hingga ada yang pingsan dan berulang kali harus dilarikan ke rumah sakit. Sekarang semakin diperparah mulai berdampak terhadap kualitas air sumur yang mulai berubah rasa dan kandungannya dan terganggunya aktivitas ekonomi.
Keterangan dari warga, sejak 2019 hingga akhir 2022 sudah 13 orang lebih yang menjadi korban dan semua harus dirawat di Puskesmas. Bahkan sebagian besar korban harus dilarikan ke rumah sakit umum daerah Zubir Mahmud di Idi, Kabupaten Aceh Timur untuk menjalani perawatan yang lebih intensif.
Semua warga yang dirujuk RSUD Zubir Mahmud keluhan yang sama. Korbannya, lagi-lagi kebanyakan perempuan, anak-anak serta lansia yang berusia di atas 80 tahun.
Secara klinis, lansia merupakan kelompok rentan (vulnerable) terjangkit berbagai macam penyakit, karena daya tahan tubuh mereka lebih rendah dibandingkan dewasa muda, sama juga seperti bayi dan anak-anak yang imun tubuhnya belum sekuat orang dewasa.
Kasus pencemaran ini sudah berlangsung lama dirasakan oleh warga yang tinggal di lingkar tambang tersebut. Bahkan pada tanggal 9 April 2021, ada 250 jiwa warga Gampong Panton Rayeuk, Kecamatan Banda Alam terpaksa mengungsi ke kantor Camat karena bau busuk yang dirasakan.
Hingga sekarang korban masih terus terjadi dialami oleh warga yang tinggal di lingkaran tambang. Baru-baru ini pada tanggal 2 Januari 2023, ada satu anak berusia 2 tahun dari Gampong Alue Patong dilarikan ke Puskesmas Alue Ie Merah dan satu orang dewasa mengalami sesak, mual-mual, muntah, pusing.
Anak dua tahun yang jatuh sakit diduga dampak dari bau busuk dari Medco, hari itu juga harus dilarikan ke RSUD Zubir Mahmud untuk perawatan lebih lanjut. Hingga Kamis (5/1/2023), pasien tersebut masih mendapatkan penanganan intensif di ruang perawatan kelas II.
Seharusnya pemerintah maupun PT Medco E&P Malaka tidak bisa lagi berkelit pencemaran udara dampak dari eksploitasi tambang minyak dan gas yang sudah berlangsung lebih 4 tahun.
Seperti diberitakan banyak media, Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Kelautan (PKSPL) IPB Bogor telah melakukan penelitian, bau busuk yang mencemari udara di Blang Nisam dan beberapa gampong lainnya berasal dari proses produki PT. Medco E&P Malaka yang melakukan kegiatan eksplorasi gas bumi.
Tetapi anehnya, PT Medco E&P Malaka yang ikut diamini oleh pemerintah bahwa bau busuk itu masih di bawah baku mutu dan tidak berbahaya bagi kesehatan warga. Tetapi, faktanya, korban terus berjatuhan, terutama perempuan, anak-anak dan kelompok lansia.
“Ini tidak benar, korban terus berjatuhan, gak mungkin di bawah baku mutu, sementara korban terus berjatuhan,” kata Sekretaris LSM Gerakan Peujroh Gampong (GeUPEGOM), Muhammad Nuraqi.
Nuraqi mengaku pihaknya merasa dizalimi oleh pihak perusahaan maupun pemerintah – yang menyebutkan pencemaran udara masih di bawah baku mutu. Pasalnya, selain terganggu aktivitas sehari-hari, juga telah berdampak terhadap aktivitas perekonomian warga dan korban terus berjatuhan.
Sementara itu Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin menyebutkan, persoalan pencemaran udara berasal dari proses produksi PT. Medco E&P Malaka tak bisa dibiarkan terus berlangsung lama. Semua pihak harus turun tangan untuk mengatasi limbah dari produk minyak dan gas tersebut, terutama pemerintah.
“Ini persoalan serius yang harus segera ditangani, terlebih kebanyakan korbannya adalah perempuan, anak-anak, ibu hamil hingga lansia, mereka cukup rentan bila udara tidak sehat,” kata Ahmad Shalihin.
Pasalnya, sengkarut penyelesaian kasus pencemaran udara tersebut semakin tak terkendali, korban terus berjatuhan. Kata Om Sol, sapaan akrab nya, saat WALHI Aceh berada di Gampong Blang Nisam usai bertemu dengan ibu-ibu yang memprotes bau busuk dari PT Medco, sempat berkunjung ke salah seorang warga anaknya sakit.
Berdasarkan keterangan dari orang tuanya, anaknya sakit setelah menghirup bau busuk dari PT Medco beberapa waktu lalu. Sehingga dia lemas, muntah-muntah dan sekarang hanya bisa berbaring di rumah dan sudah sepakan juga tidak bisa sekolah.
“Mirisnya berdasarkan keterangan dari orang tuanya, obat yang dibeli itu menggunakan BPJS, pihak perusahaan hanya berikan satu tabung oksigen, itu pun setelah diurus oleh ayahnya baru dikasih,” jelasnya.
Selain terjadi pencemaran udara, saat ini warga juga mulai merasakan dampak lainnya, seperti menurunnya kualitas air bersih dan ada warga yang mulai terjangkit penyakit kulit berupa gatal-gatal.
Kualitas air sumur sebelum perusahaan tambang itu beroperasi dapat dikonsumsi setelah dimasak. Tetapi sekarang kendati sudah dipanaskan, terjadi perubahan rasa dan berkeruh, sehingga warga harus membeli air isi ulang untuk konsumsi.
“Ini persoalan serius yang harus segera ditangani oleh pemerintah, karena ini menyangkut hak dasar masyarakat dan hak atas hidup sehat masyarakat,” tukasnya.
***
Terganggu Aktivitas Ekonomi
Pencemaran lingkungan akibat beroperasinya PT Medco juga sudah mulai berdampak terhadap perekonomian warga. Akibat bau tak sedap menyebabkan warga tidak bisa leluasa mencari nafkah, terutama yang memiliki kebun yang berbatasan langsung dengan perusahaan.
Tgk Usman, seorang tokoh agama dan masyarakat yang lahir di Blang Nisam membenarkan – bahwa dirinya setelah PT Medco beroperasi, bau busuk kerap dirasakan saat ia berada di kebun, berjarak sekitar 500 meter dari lokasi eksploitasi.
Ia pun mengaku merasa kesal dengan tingkah polah pihak perusahaan dalam penanganan pencemaran udara itu. Pasalnya, saat ia melaporkan ada bau busuk menyengat saat ia bekerja, malah ia diminta untuk pindah ke lokasi lainnya agar terhindar dari bau tak sedap itu.
“Jadi waktu kita bilang ada bau, malah saya disuruh pindah lokasi, jadi bagaimana saya mencari nafkah kalau begini,” ungkapnya dengan nada kesal.
Tgk Usman mengaku, sebelum PT Medco E&P Malaka beroperasi di Gampong Nisam, aktivitas ekonomi tak terganggu. Warga dapat bekerja dengan nyaman, baik di kebun maupun sejumlah aktivitas lainnya.
“Saya rasa gak ada manfaat untuk warga PT (PT Medco E&P Malaka) untuk warga, lebih banyak mudharatnya,” tukasnya lagi.
Dia pun meminta pemerintah dan PT Medco E&P Malaka agar secepatnya memperbaiki kualitas udara di sekitar tambang. Masyarakat tidak menolak keberadaan perusahaan tersebut, tetapi ia meminta tidak mengganggu ketentraman warga dalam beraktivitas.
***
WALHI Aceh Ancam Gugat Perusahaan
Warga sudah berulang kali melayangkan protes pencemaran udara dari proses produksi PT Medco E&P Malaka. Tetapi hingga sekarang belum ada satu pihak pun yang serius mencari solusi yang konkrit. Baik itu dari pihak pemerintah maupun perusahaan, malah mereka meminta warga agar bisa beradaptasi dari bau busuk itu.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin menilai, perkara ini tidak bisa dibiarkan terus berlarut, karena semakin lama tidak tertangani semakin banyak korban berjatuhan. Terlebih yang menjadi korban adalah kelompok rentan, seperti anak-anak, ibu hamil hingga lansia.
Oleh karena itu, WALHI Aceh meminta Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo untuk segera bersikap dan segera menyelesaikan kasus pencemaran yang semakin mengkhawatir.
“Presiden harus segera turun, karena warga sudah pernah melaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Aceh. Tetapi hingga sekarang belum ada ditanggulangi,” jelasnya.
Bila pihak terkait tidak segera turun tangan menyelesaikan persoalan limbah perusahaan yang berdampak pencemaran udara. WALHI Aceh mengancam akan menggugat PT Medco E&P Malaka ke pengadilan bersama dengan warga terdampak
“Bila terus terjadi pembiaran seperti ini, WALHI Aceh bersama warga siap gugat perusahaan, agar hak-hak hidup sehat warga terjamin,” tegasnya.
Sementara itu sampai berita ini diturunkan sudah berusaha untuk konfirmasi ke pihak Humas PT Medco E&P Malaka, tetapi pihak yang dihubungi belum memberikan pernyataan apapun. “Lagi off,” ucap Rahmat, Humas PT Medco E&P Malaka singkat.[]