Hutan-hutan di lereng Tangsaran, Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, kini tak lagi lebat seperti dulu. Suara burung dan desir angin pepohonan perlahan tergantikan deru alat berat milik PT Gayo Mineral Resource (PT GMR).
Di balik proyek eksplorasi tambang emas itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh mencium aroma kerusakan yang lebih dalam dari sekadar tanah yang terkuak. Ini ditengarai telah memicu kerusakan lingkungan serta keresahan sosial di masyarakat sekitar.
“Sudah ada keresahan warga. Ini tak bisa dianggap biasa,” ujar Ahmad Shalihin, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Jumat (13/6/2025) melalui siaran pers.
Aktivitas eksplorasi tambang oleh PT GMR yang berlokasi di kawasan yang sebelumnya berstatus hutan lindung tersebut, menurut WALHI, telah menimbulkan sederet persoalan, dari rusaknya vegetasi dan pembukaan jalur baru, hingga ancaman terhadap keselamatan ekologis dan sosial masyarakat.
Padahal, fungsi hutan di lereng Tangsaran bukan semata pelindung ekosistem, melainkan juga sumber air, rumah satwa liar, dan benteng bagi kehidupan warga lokal.
Yang membuat persoalan ini kian rumit adalah kenyataan bahwa warga di masa lalu pernah dijerat hukum karena membuka lahan di kawasan yang sama. Sementara itu, perusahaan besar seperti PT GMR justru diberi kemudahan melalui Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
“Kami mempertanyakan keabsahan dan substansi dari PPKH itu. Izin tidak seharusnya menjadi pembenaran untuk mengubah fungsi kawasan hutan,” tegas Ahmad Shalihin.
Menurut WALHI, kegiatan eksplorasi yang dilakukan PT GMR tak sekadar memotong pohon atau membuka tanah. Tapi telah melampaui batas kehati-hatian ekologis. Dalam pengamatan WALHI, kerusakan ini berpotensi menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran sumber air, bahkan memperbesar risiko longsor.
Ahmad Shalihin menekankan bahwa prinsip PPKH sejatinya adalah menjaga keberlanjutan fungsi kawasan hutan, bukan menyelewengkannya demi kepentingan korporasi. “Legalitas tidak bisa jadi tameng atas kerusakan. Penggunaan alat berat di kawasan hutan yang curam dan dekat dengan zona konservasi sangatlah berbahaya,” katanya.
Atas dasar itu, WALHI Aceh mendesak pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk segera mengevaluasi seluruh aktivitas PT GMR. Tidak hanya aspek perizinan, tetapi juga dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan. Ia menekankan pentingnya penghentian sementara seluruh kegiatan eksplorasi hingga dilakukan kajian menyeluruh dan partisipatif.
Seruan juga diarahkan kepada aparat penegak hukum. WALHI menilai perlu ada penyelidikan yang serius terhadap dugaan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan tambang ini.
“Jangan sampai proses ini menjadi preseden buruk dalam pengelolaan sumber daya alam di Aceh,” ucap Ahmad Shalihin.
WALHI pun mengajak masyarakat sipil, media, hingga komunitas adat untuk bersama-sama mengawal proses ini. Menjaga hutan bukan sekadar soal menyelamatkan pohon-pohon yang tumbang, melainkan juga menjaga napas kehidupan yang tersisa di jantung Pulau Sumatra.[acl]