Dua puluh tiga tahun lalu, 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya.
Ia menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden BJ Habibie berdasarkan aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengumuman pengunduran diri Soeharto itu sebetulnya tak terlalu mengejutkan. Sebab, sehari sebelumnya, rencana itu sudah ramai dibicarakan. Meski beberapa hari sebelumnya Soeharto masih yakin dapat mengatasi keadaan. Lantas, apa yang mendorong Soeharto akhirnya memutuskan mundur?
18 mei 1998
Berdasarkan arsip pemberitaan Kompas 27 Mei 1998, mundurnya Soeharto diawali dari keterangan pers Ketua DPR/MPR Harmoko pada 18 Mei 1998.
Saat ribuan mahasiswa menguasai gedung DPR/MPR, Harmoko dengan tegas menyatakan bahwa pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Soeharto mundur secara arif dan bijaksana.
Saat itu Harmoko didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad. Namun, Panglima ABRI saat itu, Wiranto, menganggap pernyataan Harmoko itu merupakan sikap dan pendapat individual, bukan lembaga.
Sementara itu, Soeharto menerima empat menteri koordinator (menko) di Cendana yang melaporkan perkembangan politik terkini. Para menko berniat menggunakan kesempatan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle.
Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu malu. Namun, belum sempat wacana itu muncul, Soeharto mengatakan, “Urusan kabinet adalah urusan saya.” Para menko itu heran karena Soeharto sudah tahu, hingga tidak ada yang berani membicarakan wacana itu.
19 Mei 1998
Pagi hari berikutnya, Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat. Tokoh yang hadir antara lain Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), dan Sumarsono (Muhammadiyah).
Usai pertemuan itu, Soeharto menyatakan akan melakukan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi. Menurut Nurcholish, ide itu murni datang dari Soeharto. Tidak ada tokoh yang menyampaikannya kepada Bapak Pembangunan tersebut. Nurcholis dan Gus Dur menolak terlibat dalam Komite Reformasi.
Dalam pertemuan ini, sesungguhnya tanda-tanda Soeharto akan mundur sudah tampak. Namun, ada dua orang yang tidak setuju bila Soeharto mundur, karena dianggap tidak akan menyelesaikan masalah. Sore harinya, Menko Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) Ginandjar Kartasasmita menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi; Emil Salim, Soebroto, Arifin Siregar, Moh Sadli, dan Frans Seda, atas rencana Soeharto membentuk Komite Reformasi dan me-reshuffle kabinet.
Pada intinya mereka menganggap tindakan itu hanya mengulur-ulur waktu. 20 Mei 1998 Kegalauan Soeharto semakin bertambah-tambah pada 20 Mei 1998. Saat itu, 14 menteri bidang Ekuin sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle.
Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil pertemuan itu secara langsung kepada Presiden Soeharto, tetapi akhirnya diputuskan menyampaikannya lewat sepucuk surat. Malam harinya, surat itu disampaikan melalui Kolonel Sumardjono. Soeharto langsung masuk ke kamar dan membaca surat itu. Soeharto saat itu benar-benar terpukul. Ia merasa ditinggalkan.
Adapun 14 menteri yang menandatangani, sebut saja Deklarasi Bappenas, secara berurutan adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S Baharsjah. Kemudian, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi MBA, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Soeharto kemudian memanggil Wapres BJ Habibie untuk memberitahukan soal kemungkinan mundur. Habibie diminta siap jika kekuasaan kepresidenan diserahkan kepadanya. Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di kediaman Jalan Cendana, malam itu, mengungkapkan, Soeharto terlihat gugup dan bimbang. “Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu. Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden,” ujarnya.
Pukul 23.00 WIB, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Soeharto sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie.
Kemudian, sekitar pukul 23.20 WIB Yusril bertemu Amien Rais. Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan rencana Soeharto untuk mundur pada 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB. Dalam bahasa Amien, kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, “The old man most probably has resigned” (orang tua itu kemungkinan besar mundur).
Pada 21 Mei 1998 dini hari, pukul 01.30 WIB, Amien Rais bersama sejumlah tokoh reformasi menggelar jumpa pers. Dalam jumpa pers itu, Amien mengatakan, “Selamat tinggal pemerintahan lama, dan selamat datang pemerintahan baru.”
21 Mei 1998 Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Kekecewaan Soeharto tergambar jelas dalam pidato. Melalui pidato singkat, ia mengatakan, “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.” (Yan)
Sumber : Kompas.com