Puluhan tiang pancang menjulang tinggi dengan sloof pondasi mulai keropos, besi-besi tampak menukil keluar pada pembangunan Rumah Sakit Regional di Gampong Cot Buket, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen seluas 17 hektar. Struktur penting dalam konstruksi bangunan itu bahkan ada yang tidak simetris (tidak lurus), terkesan asal jadi.
PT. Polada Mutiara Aceh, sebagai kontraktor yang mengerjakan proyek dengan nilai kontrak Rp 24,3 miliar bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2021. Sejak awal proses penyelesaiannya sarat bermasalah, pengerjaannya molor hingga tiga bulan, rekam jejak perusahaan pun pernah masuk dalam daftar hitam. Seperti yang tercatat di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). PT Polada Mutiara Aceh pernah mendapat sanksi selama satu tahun sejak 8 April 2019- 8 April 2020 dengan SK penetapan 1284/DJPB/TU210.D3/IV/2019.
Berdasarkan dokumen kontrak semestinya proyek itu harus selesai pada 28 September 2021. Alih-alih diselesaikan tepat waktu, perusahaan itu justru harus tiga kali mengajukan addendum untuk perpanjangan waktu pengerjaan.
Pengajuan pertama pada 26 Oktober 2021 dengan Nomor 015.1/ADD-I/DINKES/APBA/SDK-RS-R/2021. Addendum kedua diajukan pada 24 Desember 2021 dengan Nomor 015.2/ADD-II/DINKES/APBA/SDK-RS-R/2021.
Baru addendum ketiga pada tanggal 30 Desember 2021 dengan Nomor: 015.3/ADD-III/DINKES/APBA/SDK-RS-R/2021 pembangunan itu selesai dikerjakan.
Hingga saat ini tidak ada aktivitas apapun di lokasi proyek tersebut, sementara sejumlah sloof pondasi ada yang tidak layak lagi, karena semen mulai terlepas dari ikatan besi.
Bedeng kayu yang sebelumnya dijadikan gudang penyimpanan material bangunan pun mulai rusak, hanya tinggal atap dan kerangka. Tidak ada alat berat maupun perlengkapan pembangunan lainnya di lokasi itu, layaknya sebuah pembangunan konstruksi yang besar.
Razali, seorang warga setempat mengaku proyek tersebut sudah lama berhenti. Hanya pondasi dan tiang-tiang bangunan itu saja yang sudah selesai dan terbengkalai hingga sekarang.
“Saat ini sudah berhenti pembangunannya, belum selesai dikerjakan, saya baca di berita, pembangunannya sedang ada masalah, saya berharap rumah sakit tersebut cepat selesai dan bisa digunakan,” ungkap Razali.
Ya, proyek itulah yang menjadi temuan Pansus DPRA Daerah Pemilihan (Dapil) III Bireuen yang dipimpin oleh Samsul Bahri alias Tiong. Dalam kunjungannya bersama tim, yaitu Zulfadhli, Ilham Akbar, Tu Haidar, Amiruddin Idris dan H. Khalili pada 22 Juni 2022 menemukan sejumlah masalah dalam proyek pembangunan rumah sakit tersebut.
Tiong bersama timnya menemukan beberapa bukti pembangunan rumah sakit tersebut yang diduga dibangun asal-asalan. Pembangunan sloof pondasi yang sudah dikerjakan jauh dari sempurna. Terlihat tidak sesuai standar pengerjaannya.
Pansus menduga pengerjaannya dilakukan secara manual, tidak menggunakan batching plant. Sehingga menyebabkan pondasi bangunan tidak kokoh, banyak yang retak-retak dan pecah. Besi penguat dalam sloof pondasi mulai menukil keluar, sebagian bahkan ada yang keropos.
Batching Plant adalah salah satu alat konstruksi yang gunanya sebagai tempat untuk produksi beton ready mix dalam jumlah yang besar. Selain itu, ada beberapa pengertian batching plant yang dibedakan dari jenis beton yang dihasilkan atau dari jenis pengoperasiannya.
Temuan lainnya, proyek pembangunan rumah sakit rujukan regional tersebut tidak ada papan nama. Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah sesuatu yang wajib.
Atas dasar itulah, tim Kunjungan Kerja (Kunker) DPRA menyimpulkan pembangunan proyek tersebut tidak dilakukan pengawasan oleh tim teknis Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh secara serius. Sehingga pihak rekanan patut diduga pengerjaan proyek puluhan miliar itu secara asal-asalan.
Tiyong menyebutkan, jika seperti itu kualitas konstruksi dikerjakan, diperkirakan tidak akan mampu menahan guncangan gempa apabila sewaktu-waktu terjadi di Aceh. Karena pengerjaan beton diduga tidak mengacu pada pedoman kontrak proyek.
“Permasalahan yang cukup praktis dan signifikan terjadi pada item pekerjaan struktur beton yang diduga tidak mengacu pada pedoman kontrak sehingga disinyalir terjadi dugaan korupsi,” ungkap Tiyong.
Tiyong berharap hasil temuan tersebut dilakukan audit secara menyeluruh dan menjadi atensi khusus aparat penegak hukum, Inspektorat dan BPK RI dan BPKP. Karena diduga kuat telah merugikan keuangan negara yang berakibat fatal di kemudian hari, jika pembangunan tersebut dilanjutkan dengan kondisi pondasi yang tidak kokoh.
“Kami anggota DPRA, khususnya Dapil 3 Bireuen akan terus melakukan pengawasan terhadap pembangunan Rumah Sakit Regional dr. Fauziah. Apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian kami juga akan melakukan upaya hukum terkait berbagai temuan,” tegasnya.
Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Aceh, satu diantaranya digdata.id mencoba melakukan konfirmasi kepada Muzakir,Skm,M.Kes selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Dinas Kesehatan Aceh terkait temuan tim pansus DPRA terkait proyek pembangunan RS, Regional rujukan dr. Fauziah Bireuen melalui telepon seluler pribadinya. Beberapa kali dihubungi tidak tersambung.
Pada tanggal 7 Oktober 2022 juga berupaya konfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, dan surat resmi melalui whatsapp, tetapi lagi-lagi tidak ada respon hingga berita ini diturunkan.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Aceh, dr Hanif yang diminta konfirmasi pada 4 Oktober 2022 juga tidak mendapat respon. Bahkan digdata.id mengirimkan pertanyaan melalui pesan WhatsApp juga tidak ada respon. Justru dia hanya menjawab singkat “Saya cek dulu”.
Tiga hari kemudian berusaha mengirim pesan singkat lagi ke dr Hanif. Namun respon hanya dijawab “Get” dalam Bahasa Aceh yang artinya baik. Setelah itu tidak ada respon sama sekali terkait konfirmasi pembangunan rumah sakit regional itu yang sarat masalah.
Sekitar 4 bulan lalu, tepatnya 24 Juni 2022 dr Hanif pernah memberikan pernyataan di lintasnasional.com. Ia membenarkan ada beberapa item pengerjaan rumah sakit tersebut asal jadi. Sehingga Dinas Kesehatan selaku pengguna anggaran tidak membayar rekanan 100 persen.
“Ada beberapa pekerjaan yang tidak bagus dikerjakan oleh rekanan, sehingga tidak melakukan pembayaran 100 persen, melainkan 78,2 persen dari nilai kontrak,” ungkapnya.
Kendati proyek tersebut bermasalah dan menuai kritik dari banyak kalangan. Ternyata pemerintah Aceh tetap melanjutkan pembangunannya untuk tahap kedua pada 2022. Sebagaimana tercantum dalam laman lpse.acehprov.go.id, Pemerintah Aceh tahun anggaran 2022, melanjutkan pembangunan RS Rujukan Regional dr. Fauziah Bireuen.
Lalu, dilakukan lelang secara terbuka dengan kode tender; 47659106. Proyek ini berada di bawah Dinas Kesehatan Aceh dan dengan nilai Pagu Rp18.842.070.814.00,- dan HPS Rp18.842.068.000.00-.
Proyek lanjutan tersebut akan dikerjakan oleh PT.Mitra Rezeky beralamat di Jalan Jendral A.Yani No 62 Gampong Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.
Ada 96 perusahaan kontraktor yang mendaftar dan hanya 17 perusahaan yang memasukkan penawaran. Berikutnya, Tim Pokja melakukan evaluasi kualifikasi administrasi. Hasilnya, 17 perusahaan dinyatakan TIDAK LULUS. Satu diantaranya adalah PT.Mitra Rezeky.
Ironisnya, berdasar pengumuman peserta lelang melalui laman lpse.acehprov.go.id sekitar pukul 15.00 WIB, Senin, 10 Oktober 2022, pemenangnya PT. Mita Rezeki yang beralamat di Jalan Jenderal A.Yani, Peunayong Banda Aceh dengan HPS Rp.18.8 milyar lebih. Padahal, perusahaan ini termasuk dalam 17 perusahaan yang tak lulus administrasi.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Aceh (MaTA) Alfian menyampaikan, proyek lanjutan pembangunan RS.Regional dr. Fauziah Bireuen lagi-lagi disinyalir bermasalah, kali ini dimulai dari proses penentuan pemenang proyek.
Karena awalnya PT.Mitra Rezeky tidak lolos dalam evaluasi administrasi bersama 16 perusahaan lainnya. Bahkan perusahaan beralamat di Peunayong ini berada di urutan ketiga yang tidak lolos berdasarkan dokumen evaluasi.
“Kebijakan dan keputusan ULP Pemerintah Aceh, KPA dan Pokja XLIII untuk memenangkan PT. MR patut diduga telah terjadi kesepakatan jahat,” ungkap Alfian.
Menjadi aneh kemudian, sebut Alfian pemenangnya saat diumumkan adalah perusahaan yang tidak lolos saat evaluasi administrasi. Sehingga patut diduga, panitia ada upaya dengan sadar memenangkan perusahaan tersebut.
Menurut Alfian, seharusnya proyek pembangunan rumah sakit tersebut harus dihentikan terlebih dahulu. Karena pembangunan sloof pondasi yang dikerjakan oleh perusahaan sebelumnya berdasarkan temuan Pansus DPRA bermasalah dan bahkan dibangun asal jadi.
Ia mendesak Kepala ULP Aceh, KPA dan Pokja XLIII untuk menghentikan proses tender tersebut, sebelum temuan Pansus DPRA diselesaikan terlebih dahulu. Sehingga pembangunan rumah sakit tersebut kedepannya sesuai dengan perencanaan awal.
Tak hanya itu saja, Koordinator MaTA juga mendesak pihak BPK RI melakukan audit investigasi terkait proyek tersebut. Karena menurutnya pembangunan Rumah Sakit Regional harus diperhatikan kualitas pondasi betonnya, karena itu bangunan besar untuk melayani orang-orang sakit.
“BPKP Aceh harus segera melakukan audit investigasi karena dari fakta di lapangan kualitas betonnya diragukan, tiang-tiang banyak yang bengkok, ini kan aneh karena itu merupakan gedung besar yang menelan anggaran hingga ratusan Miliar,” tegas Alfian
Menurut Alfian, audit investigasi sangat penting dilakukan, untuk melihat layak atau tidaknya bangunan yang sudah selesai dikerjakan tersebut. Jika ditemukan bangunan tidak standar maka itu wajib dibongkar karena yang menghuninya orang-orang sakit nantinya, bukan orang-orang sehat.
“Jika hasil audit ditemukan ada potensi kerugian negara kita berharap ada penindakan hukum lebih lanjut,” pinta Koordinator MaTA lagi.
MaTA berharap kepada pemerintah Aceh untuk menghentikan dulu proses alokasi anggaran untuk pembangunan selanjutnya, karena bangunan yang telah dikerjakan diduga asal jadi.
“Ini bangunan besar yang akan digunakan puluhan tahun, bukan balai yang terletak di lahan persawahan jadi harus betul-betul diawasi pengerjaannya,” tegas Alfian.
Selain itu MaTA juga berharap komitmen dari pihak DPRA yang sudah melakukan penelusuran lapangan dan melihat langsung kondisi pondasi bangunan senilai rp 24 milyar lebih itu agar terus mengawasinya hingga tuntas.
“Saya berharap kepada tokoh-tokoh di Kabupaten Bireuen untuk peduli dan bersuara terkait temuan ini, karena di proses awal peletakan batu pertama sangat antusias para tokoh dan masyarakat Bireuen menerima Pembangunan RS Regional ini,” pinta Alfian
Alfian menyebutkan MaTA akan terus memonitor dan memantau hingga tuntas pembangunannya agar tidak ada pihak yang bermain-main dan mencari keuntungan proyek vital tersebut.
“Saya pikir itu tidak ada negosiasi, apalagi sebagai putra Bireuen saya punya tanggung jawab moral untuk mengawasinya,” pungkas Alfian.
Perusahaan Pernah Masuk Daftar Hitam
Proyek dengan nilai kontrak Rp 24.3 miliar lebih ini berada di bawah Dinas Kesehatan Aceh yang dikerjakan oleh PT. Polada Mutiara Aceh beralamat di Jalan Iskandar Muda No. 5 Sigli, Kabupaten Pidie. Berdiri sejak 31 Agustus 2014 dengan direktur utama Rahmat Rasyid yang sudah meninggal dunia setahun lalu karena terpapar Covid-19.
Sedangkan untuk proyek pembangunan RS Rujukan Regional dr, Fauziah Bireuen tahun anggaran 2021 ini, PT. Polada Mutiara Aceh dipimpin oleh Yudi Pratama selaku Direktur Cabang yang bertanggung jawab untuk pengerjaan pembangunan rumah sakit tersebut.
Digdata.id mencoba menelusuri alamat PT. Polada Mutiara Aceh yang terletak di Jalan Iskandar Muda Nomor 5 Kabupaten Pidie. Tetapi tidak menemukan alamat tersebut sesuai dengan yang tertera di kontrak.
Selanjutnya mencoba mencari menggunakan teknologi, yaitu dengan perangkat google map dan foto citra satelit untuk melacak keberadaan alamat. Lagi-lagi tidak menemukan alamat tersebut, lokasi kantor tidak sesuai dengan alamat yang tertera dalam kontrak perusahaan.
Justru di alamat tersebut terdapat ruko dua lantai pintu besi warna hijau, namun plang nama tertulis “Pusat Promosi Kerajinan Dekranasda Kabupaten Pidie”, bukan perusahaan tersebut sebagaimana tertera dalam kontrak.
Sumber digdata.id, seorang kontraktor yang pernah berinteraksi dengan perusahaan tersebut juga membenarkan bawah, PT Polada Mutiara Aceh pernah masuk dalam daftar hitam selama satu tahun, karena menyalahi kontrak.
“Selain itu banyak catatan hitam dalam pengerjaan proyek, banyak bermasalah, ada yang gak selesai, temuan dan sejumlah persoalan lainnya,” ungkapnya.
Jejak perusahaan itu pernah masuk dalam daftar hitam tercatat jelas di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). PT Polada Mutiara Aceh pernah mendapat sanksi selama satu tahun sejak 8 April 2019 – 8 April 2020 dengan SK penetapan 1284/DJPB/TU210.D3/IV/2019.
Berdasarkan peraturan LPPK No 17 Tahun 2018 perusahaan itu masuk daftar hitam karena melanggar pasal 3 huruf g, yaitu “Penyedia yang tidak melaksanakan kontrak, tidak menyelesaikan pekerjaan, atau dilakukan pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK yang disebabkan oleh kesalahan penyedia barang/jasa”.
Artinya hanya berselang beberapa bulan mendapat sanksi perusahaan tersebut kembali mendapatkan proyek pembangunan rumah sakit regional Bireuen tersebut. Yang pembangunannya sarat dugaan dilakukan asal jadi, seperti temuan tim Kunker Dapil III DPRA.
Rumah Sakit Regional Bireuen merupakan satu dari 5 rumah sakit regional lainnya yang dibangun di Aceh dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) dan dana Otsus di bawah penguasa anggaran Dinas Kesehatan Aceh.[acl]
Tim KJI Aceh (Fitri Juliana)