Mafia Kayu ‘Sepanyol’ di Hutan Tamiang

Kerusakan hutan di Aceh masih terjadi selama 3 tahun terakhir. Luas tutupan hutan terus menyusut, meskipun angkanya stabil, tetapi bencana terus meningkat. Pembalakan liar dan alih fungsi hutan menjadi pemicu utama kerusakan hutan di Tanah Rencong.

***

Lalu lalang motor dan becak barang terlihat jelas di perkampungan yang berada di bawah jembatan Kuala Simpang Kabupaten Aceh Tamiang. Tampak beberapa warga sedang membongkar dan menaikkan balok-balok kayu ke dalam becak untuk diantar ke pelanggan. 

Setiap rumah di Desa Kota Lintang, Kecamatan Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang memiliki panglong kayu. Bagi warga di sana, ini mata pencaharian utama mengolah kayu hutan menjadi perabotan, kosen, pintu dan jendela rumah.

“Rata-rata pekerjaan warga di sini membuat perabot dan mebel, untuk harga sesuai jenis kayunya. Biasanya kayu sembarang, sedangkan untuk jenis kayu damar, meureubo, bayu, itu sesuai permintaan saja,” kata seorang warga, Azam, Minggu (4/11/2022).

Menurut keterangan Azam, bahan baku diperoleh dari kayu hutan lokal, baik dari Aceh Timur maupun Aceh Tamiang. Berbagai jenis kayu cukup mudah diperoleh warga dan sesuai dengan permintaan pelanggan.

Lalu lintas kendaraan membawa kayu menjadi pemandangan biasa di desa tersebut. Kayu – kayu olahan itu dibawa dengan menggunakan becak dan mobil pick up mengarah ke Kota Langsa saban hari. Biasanya mereka mengeluarkan kayu  ke luar desa pada sore hingga malam hari.

Truk bermuatan kayu log saat baru keluar dari Simpang Pulau Tiga arah ke Sumatera Utara, Medan. Truk bermuatan diperkirakan 4 ton kayu log juga yang tidak masuk Jembatan Timbang di Desa Seumadam, Kecamatan Kejuruan Muda.

***

Pemandangan yang sama juga terlihat di Simpang Pulau Tiga, Kabupaten Aceh Tamiang – berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari Desa Kota Lintang. Pantauan pada 24 Oktober 2022 pukul 21.30 WIB setiap satu jam ada 5 unit mobil truk mengangkut kayu log melintas.

Truk itu terus melaju ke arah Medan melalui Jalan utama. Setelah mengikuti sekitar 2 jam perjalanan dari Kuala Simpang, truk bermuatan kayu log itu pun tiba di Jembatan Timbang di Desa Seumadam, Kecamatan Kejuruan Muda pukul 22.30 WIB.

Alih-alih kelima truk tadi masuk ke Jembatan Timbang milik Kementerian Perhubungan untuk mengukur berat muatan kendaraan. Malah mereka melenggang bebas  dan langsung menuju ke perbatasan Aceh – Medan, termasuk satu satu unit L300 yang juga bermuatan kayu terus bergerak ke perbatasan.

Saat itu tak ada satu pun petugas yang terlihat di Jembatan Timbang sedang berjaga. Sehingga kelima truk tadi dan satu unit L300 terus menuju perbatasan yang bermuatan kayu log.

 ***

Medio November 2022 tim kembali memantau di Jembatan Timbang. Lagi-lagi tidak ada pemeriksaan dan bahkan tidak ada satu orang pun petugas berada di lokasi. Sehingga truk yang mengakut kayu bebas melintasi tempat itu hingga sampai di perbatasan dengan jarak tempuh sekitar 45 menit.

Penjagaan di perbatasan Aceh – Sumatera Utara, ternyata setali tiga uang di Jembatan Timbang, tanpa ada pemeriksaan sama sekali, kendati ada petugas di lokasi. Justru truk-truk bermuatan sekitar 4 ton kayu log per mobil bisa mulus menuju Medan.

Parahnya, saat truk melintasi perbatasan ada sebagian sopir turun menghampiri petugas pos penjagaan. Sebagian lagi tampak melempar sesuatu ke arah petugas yang sedang berjaga di pos perbatasan tersebut. Kemudian truk-truk yang mengangkut kayu itu langsung berangkat menembus perbatasan.

Kayu olahan yang diangkut menggunakan L300 Pick Up di Kuala Simpang menuju Sumatera Utara, Medan.

Kasi Sarpras Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah I Aceh Dirjen Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, Fahni Mauludi membantah tidak ada pengawasan di Jembatan Timbang, baik yang ada di Aceh Tamiang maupun Subulussalam.

Dia mengaku rutin melakukan pengawasan di Jembatan Timbang setiap hari selama 24 jam yang dibagi 4 shift. Setiap shift bertugas selama 6 jam dengan kekuatan 20 petugas yang bertugas dan dibagi menjadi 2 regu. Setiap regu melakukan pemeriksaan selama 2 jam dan melakukan verifikasi dokumen hasil pengawasan selama 2 jam serta istirahat 2 jam.

“Petugas kita tetap melakukan pengawasan terhadap kendaraan yang membawa muatan termasuk membawa kayu hasil loging, maupun barang lainnya,” jelas Kasi Sarpras BPTD Wilayah I Aceh Fahni Mauludi, Senin (26/12/2022).

Fahni tak menampik truk – truk yang mengangkut kayu yang diduga dari hasil pembalakan liar selalu menunggu kelengahan petugas. Biasanya mereka melintasi Lokasi jembatan Timbang saat petugas sedang istirahat dan selalu berupaya untuk menghindari pos pemeriksaan.

“Hampir seluruh  kendaraan angkutan barang yang melanggar aturan termasuk truk pembawa log kayu hasil pembalakan, tidak masuk jembatan timbang karena khawatir akan dilakukan penindakan hukum oleh personil UPPKB, dan biasanya mereka melintasi jembatan timbang disaat petugas sedang istirahat,” ungkapnya.

Dalam menjalankan tugas, sebut Fahni, pihaknya lebih mengutamakan keselamatan petugas yang bekerja di lapangan. Terutama terkait dengan angkutan hasil pembalakan liar.

“Sekarang  sedang dirancang sistem untuk pengawasan angkutan barang melalui teknologi, supaya lebih mudah dalam pemantauan dan penindakan,” jelasnya.

Surga Bagi Perambah Hutan

Pagi itu, Selasa, 20 Desember 2022 jam menunjukkan pukul 10.00 WIB. Matahari baru saja menegaskan sinarnya, setelah semalaman hujan deras dan berkabut disertai gerimis pada pagi harinya. 

Kicauan burung memecah keheningan pagi di sebuah kawasan hutan hujan yang masih asri di Desa Batu Bedulang, Kecamatan Bandar Pusaka, Aceh Tamiang. Sesekali terdengar suara monyet bersahutan.

Dari kejauhan suara senso (gergaji mesin) sayup-sayup terdengar dari objek wisata pemandian Batu Bedulang, berjarak sekitar 500 meter. Lokasi itu menjadi sumber cadangan air bersih untuk puluhan ribu penduduk Kota Kuala Simpang .

Embun pagi masih membasahi dedaunan hutan bernilai konservasi tinggi ini mulai mengering. Saya bersama tim  pun mulai menyusuri hutan di perbukitan desa tersebut guna mencari arah suara senso dan jejak lokasi pembalakan liar.

Jejak pelaku pembalakan liar  pun ditemukan, seperti serbuk  dan belahan kayu sudah menjadi papan yang belum sempat diturunkan ke tempat penumpukan hasil pembalakan berserakan.  

Jejak kayu yang diduga hasil perambahan di lokasi penampungan sementara atas objek wisata pemandian Batu Bedulang  di Desa Batu Bedulang, Kecamatan Bandar Pusaka, Aceh Tamiang.

Berdasarkan informasi dari warga, lokasi temuan tersebut tempat penampungan dan mengolah kayu sebelum diturunkan ke perkampungan. Kayu – kayu yang dipotong itu berasal dari lokasi hutan lindung.

Praktek pembalakan liar biasanya dilakukan pagi hingga jelang siang – saat semua orang sedang disibukkan berbagai aktivitas. Kayu-kayu yang ditebang dari hutan lindung itu, ditarik menggunakan tali dari arah suara senso tadi dari tebing kemiringan sekitar 70 derajat.

Baru kemudian setelah magrib, gelondongan kayu hasil tebangan diangkut dengan sepeda motor modifikasi. Gelondongan atau balok kayu dipotong sekitar dua meter, selain untuk memudahkan dibawa menggunakan kendaraan roda dua juga agar tak menarik perhatian kala mengangkutnya.

Mereka bekerja berkelompok, satu kelompok terdiri atas sembilan orang. Ada yang bertugas memilih pohon, memotong, dan mengangkut. Kadang setelah dipotong, pohon dibiarkan dulu agar terlihat seolah tumbang karena tua, akar rapuh, terbakar atau mati.

Praktik seperti ini juga dilakukan di titik penebangan lainnya di kawasaan hutan Tamiang dan Simpang Jernih Aceh Timur. Faisal salah satu warga Desa Pengidam juga mengatakan selama ini kayu-kayu hasil pembalakan dihanyutkan di sungai Krueng Tamiang yang  bermuara ke pelabuhan Kuala Simpang (Kota Lintang) dan ke Sekerak. 

“Setiap dua hari sekali pasti ada kayu yang dihanyutkan di sungai Tamiang, dalam seminggu ada 3 kali kayu dari simpang Jerneh dan dari hutan sekitar Tamiang yang muaranya ke Kota Lintang juga Sekerak,” jelas Faisal

Selain dengan cara menghanyutkan ke sungai setelah diikat seperti rakit, Faisal menyebutkan baru-baru ini ada juga sistem tak badak (mobil truk pengangkut kayu) langsung masuk ke lokasi untuk mengangkut kayu.

Lalu kayu hasil perambahan itu biasannya  langsung dibawa ke kilang-kilang kayu yang ada di seputaran Tamiang dan Medan Sumatera Utara. Ada juga yang masuk ke panglong kayu yang berbentuk balok dan papan yang ada di Aceh Tamiang dan Langsa.

“Ada oknum-oknum petugas yang bermain, tak hanya di pos perbatasan praktik ini juga terjadi di lokasi penebangan,” cerita Faisal lagi.

Dari hasil temuan ini, jelas kawasan hutan Aceh Tamiang dan Aceh Timur merupakan surga bagi para perambah hutan. Mulusnya aksi illegal logging ini terindikasi melibatkan pejabat berwenang di dua daerah yang kaya hasil hutan ini, sehingga menjadikan lahan empuk bagi mafia kayu separuh nyolong (Sepanyol).

Jejak tempat penampungan sementara yang diduga hasil dari perambahan hutan.

Praktek pembalakan liar hingga sekarang masih terus terjadi di Aceh Tamiang dan Aceh Timur.  Dampaknya kehilangan tutupan hutan tak dapat dihindari, bencana banjir pun terus terjadi.

Data terbaru yang dikeluarkan  Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), total kehilangan tutupan hutan di Aceh selama 5 tahun terakhir (2017-2021) seluas 71.552 hektar. Angka ini setara 11 kali luas Kota Banda Aceh yang hanya 6.136 hektar.

Sepanjang lima tahun tersebut, lima kabupaten dengan deforestasi tertinggi adalah Aceh Tengah  kehilangan 8.546 hektar  tutupan hutan, Aceh Utara 8.258 ha, Aceh Timur 7.133 ha, Gayo Lues 5.203 ha, dan Aceh Selatan 4.610 ha. Sementara itu angka deforestasi Kabupaten Aceh Tamiang posisi 16 dari 23 kabupaten se-Aceh yaitu seluas 1.738 hektar selama 5 tahun terakhir. 

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Salihin menyebutkan, deforestasi terjadi di Aceh terjadi akibat alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit, tambang ilegal dan yang semakin parah pembalakan liar yang tak terkendali selama 5 tahun terakhir ini.

Luas tutupan hutan di Aceh pada 1985 masih 4,1 juta hektar atau 75 persen dari luas wilayah. Namun, mirisnya hingga akhir 2022 tinggal 2,9 juta hektar. Artinya kurun waktu 37 tahun terakhir hutan di Serambi Mekkah hilang seluas 1,2 juta hektar. Jika ini terus terjadi tanpa dibendung, diperkirakan 75 tahun mendatang dikhawatirkan Aceh bakal kehilangan semua tutupan hutan.

“Pembalakan liar salah satu pemicu besar terjadi deforestasi di Aceh, bila ini tidak dibendung kerusakan hutan akan terus terjadi,” kata Ahmad Salihin.

Menurut Om Sol, sapaan akrab Ahmad Salihin, sudah menjadi hukum alam saat deforestasi terjadi akan memicu terjadi bencana banjir, luapan, banjir bandang hingga longsor, karena daya serap air tanah melemah karena hutan sudah gundul.

Saat hutan sudah gundul, akar-akar pohon yang berfungsi untuk mengikat air hujan hilang dan daya serap air tanah pun berkurang. Air hujan seharusnya bisa disimpan dulu di tanah, justru langsung mengalir bebas ke dataran rendah yang mengakibatkan banjir setiap hujan deras melanda Aceh.

Banjir Aceh Tamiang awal November 2022

Dampaknya air yang mengalir bebas ke hulu tak mampu ditampung oleh sungai yang mengakibatkan terjadi banjir luapan hingga banjir bandang. Seperti yang terjadi di Aceh Tamiang dan Aceh Timur dan Aceh Utara di penghujung 2022 lalu.

Menurut Om Sol, kerusakan hutan yang terjadi di hilir Gayo Lues dan Aceh Timur telah memicu terjadi banjir di Aceh Tamiang pada November 2022 lalu selama sepekan. Pada Januari dan Oktober 2022  banjir juga melanda Aceh Utara.

Dampak dari kerusakan hutan yang tak terbendung, jumlah bencana di Aceh mengalami peningkatan selama 3 tahun terakhir. Data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menunjukkan pada 2018 terjadi bencana sebanyak 127 kali, 2019 sebanyak 126 kali, dan 2020 sebanyak 170 kali.

Banjir Aceh Tamiang awal November 2022

Dampak dari kerusakan hutan di Aceh, sebut Om Sol,  angka bencana juga terus meningkat dan upaya pemulihan hutan oleh pemerintah tak kunjung dilakukan. “Ini juga akibat terjadi sengkarut ruang dan bencana ekologis terus terjadi tak terbendung,” ungkapnya.

Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Abdul Hanan mengatakan, praktek pembalakan liar di Aceh Tamiang sudah jauh berkurang, bahkan nyaris tidak ada lagi perambahan hutan secara ilegal di dalam hutan. 

Namun dia tak menampik, ada penebangan karena bukaan lahan kebun untuk perkebunan sawit. Luasan hutan Aceh cukup luas, Hanan menyebutkan sangat sulit dijaga. “Ibarat menjaga rumah, meski ketat kita jaga masih juga kemalingan,” jelas Abdul Hanan, Senin (26/12/2022). 

Hanan menyebutkan, selama ini pihak terus memantau terhadap praktek perambahan hutan  yang terjadi di hutan Aceh. Ada Polisi Hutan (Polhut) yang ditempatkan untuk melakukan pemantauan.

 “Dan saya tidak akan segan-segan memecat jika ada anggota saya yang bermain,” tegasnya. 

Namun saat ditanyakan  temuan tidak ada pengawasan di pos perbatasan Aceh – Sumatera Utara. Banyak truk bermuatan kayu bebas bergerak ke Medan tanpa ada pemeriksaan tidak memberikan jawaban yang konkrit.

Dia hanya menyebutkan  akan melakukan kroscek dan mencari tahu kebenaran informasi tersebut, dan jika terbukti maka ia akan memberi sanksi tegas. 

“Saya akan kroscek informasi ini,” katanya.

***

Perambahan hutan di Aceh, terutama di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), taman nasional yang merupakan Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera atau Tropical Rainforest Heritage of Sumatra  masih terus terjadi. 

Berselang 3 hari setelah digdata.id mengkonfirmasi tentang pengawasan di perbatasan Aceh – Sumatera Utara dan masih maraknya pelaku perambahan hutan. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) menangkap satu unit mobil yang mengangkut kayu ke Sumatera Utara.

Kepala BBTNGL, Ujang Mamad Rahmad mengatakan, pada 29 Desember 2022  pihaknya berhasil menggagalkan aktivitas illegal logging di Resor Sei Betung blok hutan Tenggulun pada pukul 03.30 WIB. Saat itu dua orang sedang melakukan pengangkutan kayu olahan menggunakan mobil. 

“Petugas menghentikan mobil pembawa kayu di Jalan lintas Sumatera (Medan-Banda Aceh) di Kecamatan Besitang Langkat Sumatera Utara dan dua pelaku dengan inisial S dan ME ditangkap,” jelasnya.

Kayu tenggulon yang ditangkap oleh pihak TNGL. Foto doc TNGL

Dua pelaku yang diamankan tersebut telah dibawa ke kantor BBTNGL di Medan Sumatera Utara untuk diproses lebih lanjut. S dan ME berasal dari Dusun Jawa, Desa Rantau Pauh, Kecamatan Rantau dan Dusun Kamboja, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang.

Barang bukti yang diamankan berupa 1 unit mobil Mitsubishi pick up L300, kayu olahan berbagai ukuran, 1,5m x 9m x 7m sebanyak 65 batang, ukuran 1,5 m x 8 m x 7m sebanyak 15 batang, ukuran 1,5m x 6m x 7m sebanyak 10 batang dan ukuran 2m x 6m x 7m sebanyak 40 batang.

Petugas juga berhasil menyita  3 set kusen pintu, 1 lembar STNK Nomor Polisi BL 9962 CC atas nama Syamsul Bahri dengan Nomor Rangka MHMLOPU 398KO13044 dan Nomor Mesin: 4D56C-D36749.

Selain itu juga ada selembar bon/faktur berstempelkan perabot Ani Jaya; dua lembar plat Nomor Polisi palsu dengan Nomor Polisi BL 1535 OB dan BL 1012 V, dan dokumentasi dalam bentuk foto dan video di lokasi tempat kejadian perkara. 

“Saat ini kedua orang yang diduga sebagai pelaku dan barang bukti sudah diserahkan kepada Balai Gakkum untuk diproses secara hukum,” jelas Ujang lagi.

Bahkan pada pertengahan Juni 2022 ada ditemukan 400 batang kayu gelondongan berbagai jenis, seperti Merbo, Damar, Meurante, Kruweng dan sembarang keras tanpa dokumen yang siap diturunkan dari tempat pembalakan liar di daerah Melidi dan Bedari Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur. 

Kayu-kayu yang diambil dari kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dipasok ke sejumlah pengolahan untuk selanjutnya dikirim lagi ke tempat lain, termasuk ke Sumatera Utara. 

Selain di lokasi TNGL, kayu juga diambil dari hutan lindung yang berada di wilayah Aceh Tamiang maupun di Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur. 

“Biasanya kayu yang dipasok ke Sumatera Utara berasal dari Aceh Tamiang. Jenisnya bernilai ekonomi tinggi seperti merbau, medang, meranti, dan damar,” ujar Marwan warga Kecamatan Tenggulun.

Dia mengatakan, di Tenggulun sudah menjadi pemandangan biasa kayu-kayu dari dalam hutan diangkut dengan menggunakan truk atau becak yang melewati jalan umum. 

“Kayu-kayu tersebut ada yang awalnya diangkut ke panglong kayu di Aceh Tamiang, lalu dipasok ke Sumatera Utara. Tapi ada juga yang langsung dikirim ke Sumatera Utara,” jelasnya.

Saat kejadian itu, sambung Marwan, petugas BBTNGL tidak bisa berbuat banyak karena dihadang puluhan orang dari berbagai tempat. Umumnya, mereka adalah pelaku pembalakan liar, atau keluarga pelaku yang ditangkap. 

Marwan juga mengungkapkan, untuk menindak pembalakan liar di Tenggulun, petugas harus benar-benar siap. “Mereka akan membela bila ada kawannya yang ditangkap,” paparnya.[]

Penulis: Tim digdata.id 

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.