“Muge” KTP di Musim Pemilu (Bag. 3 )

Komisioner KIP Aceh Divisi Teknis dan Penyelenggaraan Pemilu, Munawarsyah, menjelaskan, semua proses pendaftaran dan pengumpulan syarat administrasi peserta Pemilu 2024—baik untuk parpol maupun individu yang bertarung ke DPD—dilakukan secara online melalui aplikasi Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Adanya aplikasi Silon menurut Munawarsyah tidak saja untuk efisiensi dalam pemberkasan yang paperless, juga sebagai wujud transparansi penyelenggara pemilu di Indonesia, khususnya di Aceh, agar tak ada yang bisa “bermain-main” dengan data masyarakat.

Data yang diunggah ke Silon saling terkoneksi antara yang dikelola oleh KIP Aceh dengan KIP kabupaten/kota. “Karena data yang diunggah ini berbasis NIK, makanya ketika ada yang ganda langsung kelihatan sejak awal. Misalnya ada KTP yang diunggah berulang-ulang, langsung terdeteksi, yang dobel-dobel inilah yang akan kita verifikasi lagi,” kata Munawarsyah saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu, 10 Mei 2023.

Dari unggahan berkas pendukung tersebut, KIP Aceh akan memverifikasi secara administrasi, apakah syarat dukungannya memenuhi keterwakilan dari kabupaten/kota sesuai amanat undang-undang. Setelah itu baru dilakukan verifikasi faktual dengan mengonfirmasi langsung para pendukung sesuai dengan data yang diunggah. Dari verifikasi faktual inilah ditemukan adanya kasus-kasus seperti pendukung tidak berhasil dijumpai petugas di lapangan. “Ya udah, kita hapuskan (datanya),” katanya.

Sedangkan yang KTP-nya diketahui memberikan dukungan secara ganda, maka akan diminta untuk membuat surat keterangan secara tertulis yang menyatakan hanya mendukung salah satu calon. “Dan itu semuanya melalui aplikasi Silon.”

Untuk KTP ganda ini ada dua kriteria, yakni ganda internal dan ganda eksternal. Ganda internal ialah pengunggahan data secara berulang dari parpol atau bacalon DPD yang sama. Sedangkan ganda eksternal ialah data yang sama diunggah oleh banyak parpol atau lebih dari satu bacalon DPD.

Hasil verifikasi faktual yang dilakukan KIP Aceh terhadap pendukung bakal calon anggota DPD misalnya, berdampak langsung pada menyusutnya jumlah pendukung bacalon. Saat pengumuman verifikasi faktual tahap pertama oleh KIP Aceh pada Rabu, 1 Maret 2023, hanya enam dari 38 bacalon yang memenuhi syarat kelengkapan dukungan tahap pertama. Ke-6 bacalon tersebut, yaitu Ahmada MZ, H Sudirman, Dedi Mulyadi Selian, Nazir Adam, Mizar Liyanda, dan M Fadhil Rahmi. Sisanya dinyatakan belum memenuhi syarat dan harus melakukan perbaikan tahap kedua.

Tgk Ahmada MZ tercatat sebagai mantan anggota DPRK Aceh Besar; Sudirman adalah inkumben yang sebelumnya dikenal luas melalui karakter Haji Uma dalam serial film komedi ‘Eumpang Breuh’; Dedi Mulyadi Selian mantan anggota KIP Aceh Tenggar.Kemudian Nazir Adam merupakan mantan wakil bupati Pidie dan Ketua Umum Asosiasi Provinsi PSSI Aceh saat ini; Mizar Liyanda saat ini tercatat sebagai Koordinator Program Keluarga Harapan Wilayah I Aceh; dan M Fadhil Rahmi juga tercatat sebagai inkumben yang sering tampil di publik bersama dai kondang Ustad Abdul Somad.

Nama-nama bacalon yang memerlukan perbaikan tahap kedua, yaitu Darwati A Gani (614 perbaikan), Zulfikar (330 perbaikan), Muhammad Zulmi (150 perbaikan), Sayed Muhammad Muliady (611 perbaikan), Mulia Rahman (551 perbaikan), Akhyar (436 perbaikan), M Fakhruddin (297 perbaikan), Zulhafah (1.107 perbaikan). Ada juga Abdul Hadi (908 perbaikan), Zulhaq Arsyad (446 perbaikan), M Adam (959 perbaikan),  Razali (506 perbaikan), M Amin Said (881 perbaikan), Raihanah (867 perbaikan), Safir (705 perbaikan), Nazar (781 perbaikan). Kemudian Dedi Sumardi Nurdin (506 perbaikan), Rahmat Razi Aulia (887 perbaikan), Mohd Ilyas (614 perbaikan), Azhari (553 perbaikan), Sofyan Ardi (606 perbaikan), Abdullah Puteh (344 perbaikan), Sahidal Kastri (672 perbaikan), Said Muslim (1.105 perbaikan), A Mufakhir Muhammad (1.170 perbaikan), Firmandez (1.087 perbaikan), dan Irsalina Husna Azwir (1.187 perbaikan).

Selain itu, satu bacalon atas nama Nasrullah mengundurkan diri dan tiga lainnya tidak menyerahkan perbaikan dukungan tahap dua, yaitu Ramli Rasyid, Bukhari MY, dan Helmi Hasan.

Menyusutnya jumlah KTP pendukung dari mayoritas bacalon ini menguatkan dugaan publik kalau ada yang “berdagang” dan berharap mendapat cuan dari tahapan pemilu. Menepis dugaan tersebut, salah satu bacalon, Azhari, menjelaskan mengapa pendukungnya bisa berkurang. Pertama, kata Azhari, masyarakat mengenal namanya sebagai Cage, yakni nama alias yang selama ini tersemat di depan nama aslinya: Azhari.


Saat timnya mengumpulkan KTP pendukung dari masyarakat, mereka hanya menyebutkan KTP itu untuk Cage agar bisa maju ke DPD. Tidak menyebutkan nama Azhari. “Sedangkan saat verifikasi faktual petugas mengonfirmasi atas nama Azhari, makanya ada sebagian yang tidak mengenal,” kata Azhari, 10 Mei 2023.

Kedua, ada juga di antara pendukungnya yang belakangan menjadi penyelenggara pemilu sehingga mereka mencabut dukungannya kepada bacalon peserta pemilu. Azhari mengklaim bahwa semua pendukungnya valid dan tidak asal comot KTP karena semua diambil atas persetujuan mereka. “Selebihnya tidak ada kendala apa pun,” kata mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh itu.

***

SOAL bagaimana “muge (penggalas/tengkulak)” KTP ini bergerilya di masyarakat, pernah disaksikan langsung oleh Emil, warga Kabupaten Aceh Besar. Akhir 2022 lalu, tak lama setelah kunjungan Anies Baswedan ke Aceh, dalam suatu kelompok pengajian di kampungnya, ada ibu-ibu yang menggalang dukungan KTP dengan “menjual” nama Anies Baswedan.

Menurut Emil, ada beberapa yang memberikan salinan KTP mereka karena memang bersimpati pada sosok Anies. Setelah itu tidak ada kejelasan lagi akan diapakan KTP yang diambil itu. Emil sendiri memilih untuk tidak memberikan salinan KTP-nya. Selain karena tak begitu paham politik, dia juga tidak kenal pada orang yang meminta dukungan KTP tersebut.

Belakangan setelah mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh salah satu LSM di kampungnya, Emil sadar bahwa Anies tidak membutuhkan tiket berupa KTP agar bisa maju sebagai calon presiden.

Mereka yang berkegiatan di masyarakat atau yang memiliki basis massa di level akar rumput, kerap didekati politisi karena dinilai bisa menjadi “jembatan” untuk menggalang dukungan di musim pemilu. Hal itu diakui oleh Hairi, warga Aceh Barat Daya yang sepanjang kegiatannya selalu bersinggungan dengan masyarakat. “Ada, dari partai nasional, tetapi saya tolak,” kata Hairi akhir Mei lalu.

Bagi Hairi yang masih memiliki idealisme politik, hal-hal semacam itu masih menjadi pertimbangannya. Dia tak mau sembarangan “membantu” orang. “Kecuali pada pemilu lalu, saya ada membantu satu teman perempuan yang maju sebagai caleg,” katanya. Namun, Hairi tak menampik adanya kondisi di lapangan yang “mencari aman” jika sudah terbentur oleh hierarki struktural di tempat kerja.

Oya, seorang warga yang berdomisili di Banda Aceh, juga mengaku pernah ada politikus yang “meminta tolong” padanya. Namun, Oya dengan tegas menolak karena dia tidak ingin masyarakat dampingannya menjadi komoditas politik. Meskipun ia punya kekuatan untuk mengerahkan masyarakat, tetapi tak ada jaminan “angin surga” politisi tersebut akan terwujud. “Ini berkaitan dengan integritas karena dalam kontrak kerja saya disebutkan kami tidak boleh terlibat politik praktis” katanya. Oya juga tak ambil pusing meskipun ajakan itu berasal dari atasannya sendiri.

Selaras dengan apa yang diceritakan Hairi dan Oya, Asmin yang sehari-hari juga bekerja di masyarakat membenarkan bahwa pendekatan-pendekatan seperti itu lazim dilakukan politikus baik yang ingin maju ke Senayan melalui jalur parpol atau bacalon DPD. Mereka tidak datang dengan tangan kosong, tetapi dengan iming-iming proyek atau kompensasi lain jika terpilih.


Sebaliknya, ada juga yang mendekati politisi-politisi tertentu karena merasa memiliki komoditas untuk dijual berupa kantong-kantong suara di masyarakat. “Ada dari partai lokal dan parnas,” kata Asmin sambil menyebut nama politisi yang mendekatinya.

Di tahap-tahap awal kata Asmin, politisi tersebut hanya ingin tes ombak terlebih dahulu, bagaimana respons publik terhadap kehadiran mereka di suatu daerah pemilihan. Di situlah peran jembatan ini untuk mempertemukan politikus tersebut dengan warga. “Kalau responsnya positif berarti terbuka peluang lebih lanjut, kalau tidak ya berhenti sampai di situ. Semua itu angin surga,” katanya.

Namun, berdasarkan apa yang pernah ditemui Asmin di lapangan, ada yang menghargai per satu KTP Rp25—50 ribu, tetapi itu pun tidak dibayar di awal. Namun, orang-orang yang KTP-nya sudah dikantongi oleh para timses ini akan mendapatkan prioritas jika ada bantuan menjelang hari-H pemilu seperti sembako.

Terlepas siapa pun yang berusaha mengambil keuntungan dalam situasi ini, yang jelas warga yang dicatut KTP-nya sangat merasa dirugikan. Arawan ataupun Arrazi dua di antaranya. Mereka mengatakan tak seharusnya proses demokrasi dicederai dengan hal-hal semacam itu.

“Harus betul-betul memastikan apakah KTP yang diambil itu pendukung mereka atau bukan. Kalau seperti ini saya merasa sangat dirugikan. Kadang kita perlu KTP kita untuk hal-hal lain tetapi sudah terkendala dengan itu,” keluhnya. Namun, yang lebih mengesalkan dia, cara-cara seperti itu dinilai telah mengangkangi hak politik warga negara.( Tamat )

Ditulis oleh Tim KJI Aceh: Ihan Nurdin (perempuanleuser.com); Fitri Juliana (digdata.id); Ulfa (KBA.One) Mohd Saifullah (ajnn.net); dan Iskandar (ajnn.net).

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.