Peristiwa pembubaran diskusi di Hotel Granf Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (28/9/2024) oleh sekelompok tak dikenal dinilai bentuk teror terhadap kebebasan berekspresi dan ancaman atas ruang sipil yang semakin menyempit. Kondisi semakin mendekatkan demokrasi Indonesia semakin surut yang menuju regresi demokrasi.
Diskusi yang dihadiri oleh sejumlah tokoh dengan tema ‘Silaturahmi Kebangsaan Diaspora bersama Tokoh dan Aktivis Nasional” akan membahas perkembangan demokrasitasi di tanah air. Namun harus terhenti saat sekelompok orang tak dikenal mengobrak-abrik ruang diskusi, termasuk merusak sejumlah atribut dalam ruangan tersebut.
Kejadian ini mendapat sorotan banyak pihak, terutama elemen sipil di Indonesia – yang menyebutkan pembubaran diskusi melalui aksi premanisme tersebut, bentuk ancaman terhadap elemen sipil di Indonesia.
“Ini merupakan alarm nyaring yang menandai bahwa kebebasan sipil semakin menyempit di tengah demokrasi yang semakin surut atau regressive democracy,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan melalui siaran pers, Sabtu (28/9/2024).
Regresi demokrasi (regressive democracy) merujuk pada kemunduran atau penurunan kualitas demokrasi di suatu negara. Istilah ini menggambarkan proses di mana prinsip-prinsip demokratis, seperti kebebasan berpendapat, pemilu yang adil, transparansi pemerintahan, supremasi hukum, dan hak asasi manusia, mulai dilemahkan atau bahkan diabaikan.
Fenomena ini sering ditandai oleh hal-hal seperti, pelemahan institusi demokrasi, pembatasan kebebasan pers, pemilu yang tidak, pembatasan hak-hak sipil, dan konsentrasi kekuasan. Regresi demokrasi dapat terjadi secara bertahap dan tidak selalu disertai dengan kudeta atau pengambilalihan kekuasaan secara terang-terangan, tetapi melalui kebijakan atau langkah-langkah yang tampaknya sah namun perlahan-lahan menggerogoti sistem demokrasi.
Anehnya, kata Halili Hasan, aparat kepolisian hanya menonton dan membiarkan tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok orang tersebut yang mengacak-acak ruangan diskusi itu. “Kami mengecam keras terjadinya pembubaran diskusi secara paksa tersebut oleh aksi premanisme tersebut. Tindakan pembubaran diskusi tersebut merupakan teror terhadap kebebasan berekspresi dan ancaman atas ruang sipil yang semakin menyempit,” tegasnya.
Selain itu, SETARA Institute juga mengecam tindakan pembiaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian atas aksi premanisme dalam pembubaran diskusi oleh sejumlah orang tersebut. Aparat kepolisian seharusnya mengambil tindakan yang presisi untuk melindungi kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi dalam diskusi dimaksud.
“Pembiaran yang dilakukan oleh aparat negara merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia (violation by omission),” tegasnya.
SETARA Institute mendesak pemerintah, khususnya aparat kepolisian, untuk mengusut tuntas sejumlah aksi premanisme dan mempertanggungjawabkan kepada publik penanganan aksi premanisme dimaksud.[acl]