Jelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 secara serentak di seluruh Indonesia, Lembaga Peneliti SETARA Institute bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Perludem mengadakan pelatihan di Banda Aceh selama tiga hari nyakni pada 4 – 6 Maret 2024 di Banda Aceh dengan mengusung tema, Merancang Agenda Pemajuan dan Perlindungan Hak-Hak Kelompok Marjinal di Aceh. kegiatan tersebut di ikuti 15 peserta yang berasal dari berbagai elemen masyarakat sipil dan kelompok marjinal di Aceh.
Agenda Pilkada serentak tahun 2024 yang juga diselenggarakan di Aceh menjadi salah satu momen yang tepat dalam mendorong dan mengintegrasikan isu-isu kelompok marjinal dalam agenda pembangunan.
Keberpihakan partai politik dan politisi terkait dalam memastikan terjaminnya seluruh hak-hak warga negara di Aceh menjadi poin utama dalam memastikan keberlangsungan integrasi tersebut.
Sehingga menyuarakan isu-isu kelompok marjinal penting digaungkan kepada publik, terutama bakal calon kepala daerah, agar dapat mempertimbangkan keberadaan, pengalaman, dan kebutuhan yang berbeda dari kelompok minoritas dan marjinal. Begitu juga halnya dalam penyusunan kebijakan agar lebih partisipatif dan inklusif, namun juga memastikan agar produk hukum daerah yang dibuat berpihak pada eksistensi kelompok minoritas dan marjinal. Jelas Ikhsanyosari, salah satu peneliti SETARA Institute.
“kegiatan ini merupakan salah satu upaya mewujudkan komitmen bersama di Aceh dalam penyusunan agenda-agenda pembangunan.”Kata Ikhsan.
Selain itu Ikhsan juga mengatakan, demokrasi mensyaratkan penyelenggara an pemerintahan yang transparan dan inklusif. Transparansi dan inklusifitas menjadi 2 (dua) kata kunci yang memastikan penyelenggaraan pemerintah memiliki orientasi yang kuat terhadap kepentingan rakyat, sebab ujung dari keduanya adalah memastikan partisipasi masyarakat yang bermakna dan perlakuan yang setara bagi seluruh masyarakat, terlepas apa dan bagaimanapun latarbelakangnya.
Dalam konteks tersebut, komitmen bersama untuk memastikan agenda pembangunan daerah yang inklusif mendapat ujian ketika proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2025-2029 dimulai.
Sebab persoalan yang kerapkali terjadi berkaitan dengan agenda-agenda pembangunan yang tidak atau minim mengakomodir kebutuhan kelompok marjinal. Kondisi ini di antaranya disebabkan minimnya kesempatan dan ruang-ruang yang diberikan kepada kelompok marjinal dan rentan dalam proses pembangunan daerah, baik pada tahap perencanaan, pembahasan, hingga evaluasi, sehingga pembangunan yang terjadi tidak sepenuhnya dapat bermanfaat bagi kelompok marjinal.
Isu minimnya pelibatan kelompok marjinal dalam proses perencanaan pembangunan menjadi salah satu sorotan para peserta pelatihan. adalah sifat pelibatan yang cenderung dalam arti prosedural ataupun formalitas. Pelibatan tersebut belum sampai pada level partisipasi bermakna (meaningfull participation). Begitu juga halnya terkait transparansi dan inklusif para penyelenggaraan pemerintahan.
“Selain itu, PR lainnya adalah dalam memastikan hak-hak kelompok minoritas dalam membangun rumah ibadah, akses dan ruang bagi kelompok disabilitas dalam pelayanan dan fasilitas publik, keberadaan dan implementasi produk hukum daerah yang tidak promotif terhadap inklusivitas, perlindungan kelompok perempuan, serta hambatan atas berbagai kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi kelompok marjinal lainnya.” Papar Peneliti SETARA di Banda Aceh.
Rentetan permasalahan tersebut merefleksikan bahwa dalam konteks pembangunan daerah. Pengarusutamaan nilai-nilai inklusivitas dalam proses pembangunan perlu terus didorong, bukan hanya dalam hubungan kemasyarakatan, tetapi juga mengintegrasikan ke dalam pembangunan daerah. Sebab demokrasi meletakkan semua warga negara pada posisi yang setara, sehingga pelibatan seluruh elemen masyarakat, terutama kelompo.