Perempuan akan menjadi kelompok multiple burden (beban ganda) saat bencana terjadi, baik itu bencana alam maupun non-alam. Karena masih melekat secara kultur, perempuan lebih banyak berada di rumah merawat anak-anak.
Bahkan perawatan tak jarang perempuan juga memiliki beban memasak, membersihkan rumah dan sejumlah pekerjaan rumah lainnya. Dapat dibayangkan bagaimana beban yang diterima oleh perempuan pada saat terjadi bencana alam.
Dosen Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Dr. Suzie Handajani, M.A menjelaskan, dampak fenomena alam pada kehidupan manusia tidak dapat disamaratakan. Oleh karena adanya struktur masyarakat yang membagi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin contohnya, dampak fenomena alam pada kehidupan masyarakat nyatanya juga berbeda-beda.
“Bencana punya dampak yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki,” kata Dr. Suzie Handajani, Kamis, (21/04/2022) dikutip dari situs resmi UGM.
Dr. Suzie mengatakan bahwa pada saat terjadi bencana, kelompok-kelompok termaginalkan seperti perempuan bahkan mendapatkan dampak layaknya “multiple burden”.
Ia memberi contoh dengan apa yang terjadi dalam bencana tsunami di India tahun 2004. Suzie menceritakan tentang sebuah desa nelayan dengan warga laki-laki berprofesi sebagai nelayan sedangkan perempuan di rumah.
Pada saat bencana tsunami datang, yang langsung terpapar bencana adalah perempuan, sebab laki-laki tengah berlayar di tengah lautan yang riak ombaknya lebih tenang. Tidak hanya itu, walau desa tersebut adalah nelayan, perempuan yang hanya tinggal di daratan ternyata juga tidak bisa berenang. Alhasil tampak bahwa perempuan menghadapi dua lapis dampak berbeda daripada laki-laki.
Hal serupa juga tampak terjadi di Indonesia, pada saat bencana tsunami Aceh 2004, erupsi gunung berapi, dan lain sebagainya misalnya, dampak yang dialami perempuan juga tidak sama dengan laki-laki.
“Sebagaimana yang kita ketahui bersama, perempuan mempunyai peran sebagai “ibu” dimana bertanggung jawab merawat anak-anak juga,” jelasnya.
Namun, Suzie menyayangkan perbedaan tersebut belum terbaca oleh masyarakat, sehingga ketika melakukan mitigasi bencana, kemudian pada saat penanganan bencana, serta penanganan pasca bencana, perempuan kerap tidak mendapat hal-hal yang mereka butuhkan. Sebab penanganan disamaratakan saja dengan laki-laki.
Contohnya, untuk seorang ibu dengan seorang anak bayi tentu membutuhkan kebutuhan seperti popok bayi yang banyak dan lain sebagainya, belum lagi kebutuhan perempuan secara pribadi layaknya pembalut, bra, dan lain-lain.
“Pas pengungsian walau sudah ada pemisahan laki dan perempuan, tapi perempuan-perempuan itu tidak diberi akses kepada hal-hal yang menjadi kebutuhan kebutuhan mereka, jadi misalnya ada ibu-ibu yang bawa anak kecil, ada yang baru melahirkan, terus butuh popok banyak, kemudian mereka perempuan sendiri juga butuh pembalut, butuh bra, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Oleh karena itu, kedepan Suzie berharap penanganan bencana, baik dari mitigasi sampai pasca bencana, upaya yang dilakukan dapat ramah terhadap gender. Untuk mewujudkannya, perempuan sebaiknya diikutsertakan dalam pembahasan serta perancangan di berbagai level kebijakan dan kegiatan penanganan bencana.
Sehingga kebutuhan-kebutuhan perempuan juga turut dapat terpenuhi dan dapat terlindungi dari ancaman-ancaman lain, seperti kekerasan seksual pada saat pengungsian.
“Tidak menutup kemungkinan bahwa di area pengungsian itu juga terdapat kekerasan seksual,” pungkasnya.[acl]