Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Marwan menilai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh belum mampu menjawab berbagai persoalan di Serambi Mekkah secara keseluruhan. Sehingga diperlukan untuk dilakukan perubahan agar peraturan tersebut mampu mensejahterakan masyarakat.
Kendati demikian, Prof Marwan mengingatkan dalam merumuskan perubahan nantinya tidak mendegradasikan semangat yang ada di Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Hal itu disampaikan Prof Marwan dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan bahasan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA). Kegiatan ini berlangsung di Auditorium FMIPA kampus setempat, Selasa (10/05/2022). FGD tersebut mengangkat tema “Arah Kebijakan Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh”.
“Kita semua sadar UUPA belum mampu menjawab persoalan Aceh secara keseluruhan. Kita sangat berharap, perubahan UUPA ini tidak mendegradasi semangat yang ada di MoU Helsinki. Kita semua sepakat, MoU tersebut merupakan suatu kesepakatan yang perlu kita hargai bersama,” kata Rektor USK.
Menurutnya, paling tidak ada dua hal penting yang perlu dijaga; pertama, semangat perdamaian dan kedua, semangat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh secara keseluruhan.
Dalam perjalanannya, UUPA banyak problematik. Maka dari itu, perlu kajian bersama dan diberikan masukan. Poin terpenting yang ingin sama-sama harus dijaga yaitu poin MoU Helsinki tidak terdegradasi.
“Sinergis dengan peraturan yang ada, jangan sampai tumpang tindih. Seperti soal pengelolaan migas. Kita juga masih butuh dana Otsus. Dengan perubahan ini, paling tidak, dua persen bisa dipertahankan,” jelas Prof Marwan.
USK sudah beberapa kali mendiskusikan tentang rencana perubahan ini, seperti dengan Dewan Pertahanan Nasional maupun lembaga di Aceh. Menurut Prof Marwan, yang paling penting dari UUPA adalah diimplementasikan lebih baik lagi kedepannya.
Penduduk Miskin Masih Tinggi
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Indra Iskandar menyebutkan, Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera.Ini merupakan fakta yang tidak perlu dipertentangkan, karena diumumkan oleh lembaga survei negara dengan menggunakan metode ilmiah.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh termasuk provinsi dengan penduduk termiskin di Sumatera pada September 2021 sebesar 15,53 persen. Angka ini sudah bertahan selama 5 tahun lebih tanpa ada perubahan, padahal anggaran yang dikucurkan ke Serambi Mekkah mencapai hingga sekarang sudah mencapai Rp 73 triliun lebih.
Sementara penduduk kemiskinan cenderung meningkat selama 6 tahun terakhir. Pada 2016 lalu hanya 16,43 persen, kemudian terus mengalami peningkatan hingga 2021 mencapai 15,53 persen.
Kendati demikian pada 2019 lalu sempat turun tipis yaitu pada angka persentase 15,01 persen, namun tetap masih termiskin di Sumatera. Bengkulu menduduki peringkat kedua termiskin sebesar 14,43 persen.
“Ini merupakan fakta yang tidak perlu dipertentangkan, karena diumumkan oleh lembaga resmi negara,” kata Indra Iskandar.
Indra mengajak semua pihak untuk untuk bergandeng tangan menatap Aceh ke depan. Rencana perubahan UUPA, setelah mendapatkan berbagai masukan akan dibawa ke Badan Legislasi untuk segera dibahas.
Sekjen DPR RI menyebutkan, FGD ini merupakan bentuk keseriusan bersama untuk membangun Aceh yang lebih baik, yang pada hari ini diyakini bersama sedang tidak baik-baik saja.
“FGD ini diselenggarakan Badan Keahlian DPR RI bekerjasama dengan USK, untuk memperoleh saran dari bapak ibu untuk konsep akademik terhadap UU No 11,” kata Sekjen DPR RI.
Indra menjelaskan, FGD tersebut sekaligus bagian dari melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Yang meliput beberapa hal, diantaranya; hak untuk didengar, untuk dipertimbangkan masukannya, dan hak untuk diminta penjelasan terhadap tindak lanjut sebuah masukan.
Lebih jauh ia menyampaikan, penyusunan RUU sebagimana disebutkan di atas, bukan hanya bagian dari tindak lanjut MK, tapi juga untuk mengakomodir keinginan masyarakat Aceh. Dengan harapan memuat keadilan dan kesejahteraan Aceh.[acl]