Sederhana. Kata itulah yang muncul di benak publik saat mendengar nama Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah yang berpulang pada Jumat (27/5/2022) hari ini.
Potret kesederhanaan Buya Syafii, begitu ia akrab disapa, terlihat ketika fotonya sedang menunggu kereta di Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Foto itu viral di media sosial pada medio Agustus 2018. Dalam foto tersebut, Buya Syafii tampak sedang duduk menunggu kereta di Stasiun Tebet bersama keponakannya, Asmul Khairi.
Pria yang saat itu menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) itu mengenakan batik berwarna coklat dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Di tangan kirinya terselip sebuah tongkat untuk membantunya saat berjalan.
Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz mengatakan, foto itu diambil ketika Buya Syafii hendak menuju Istana Kepresidenan Bogor untuk menghadiri acara program Penguatan Pendidikan Pancasila yang digelar oleh UKP-PIP di halaman Istana Presiden, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/08/2017).
Acara tersebut dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Ketua Dewan UKP-PIP Megawati Soekarnoputri, Mahfud MD, dan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno. “Buya sehari sebelumnya sudah menghubungi bahwa bahwa dia sedang ada di Jakarta. Besoknya mau menghadiri acara Peluncuran Program Penguatan Pendidikan Pancasila di Istana Bogor,” ujar Darraz kepada Kompas.com, 15 Agustus 2017 lalu.
“Selepas subuh beliau berangkat meninggalkan penginapannya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, menuju stasiun KRL Tebet,” imbuh Darraz.
Darraz bercerita, ia sudah menawarkan agar Buya Syafii diantar oleh sopir Maarif Istitute, tetapi Buya Syafii menolak dan memilih naik kereta ke Bogor agar tidak merepotkan orang lain.
“Buya selalu merasa tidak enak dan tidak mau merepotkan teman-teman MI (Maarif Institute), terutama supir MI, karena hari Sabtu adalah hari libur. Padahal di MI ada sistem lembur dan sopir MI disiap-sediakan untuk mengantar-jemput Buya kapan pun,” kata Darraz.
Kesederhanaan Buya Syafii juga terekam saat ia tertangkap kamera tengah mengayuh sepeda di sebuah jalanan kompleks perumahan. Kolega Buya Syafii, Erik Tauvani, pernah berkata bahwa Buya Syafii memang terbiasa menggunakan sepeda ke pasar untuk belanja kebutuhan sehari-hari, membeli obat, membayar listrik, hingga pergi ke bank.

“Buya naik sepeda itu biasa, orang yang melihat sekali kan heran, padahal itu keseharian Buya, bagian dari olahraga. Itu bukan pencitraan dan bukan sesuatu yang besar, karena bagi Buya itu kesehariannya,” kata Erik.
Erik mengatakan, Buya Syafii juga tidak mau diistimewakan. Contohnya, ia selalu menolak jika diminta tidak usah mengantre saat berobat di rumah sakit, mengurus paspor, ataupun ketika berada di bank.
“Intinya Buya merasa semua sama, semua orang punya hak yang sama. Kultur egaliternya itu sangat kuat sehingga kalau mengantre Buya, mengantre sesuai dengan nomor, tidak mau melewati,” kata Erik.
Buya Syafii juga pernah menolak niat Rumah Sakit Pusat Kesejahteraan Umat (PKU) Muhammadiyah yang hendak menggratiskan biaya pengobatan istrinya, padahal Buya Syafii pernah menjadi orang nomor satu di Muhammadiyah.
“RS PKU tidak mau menerima uang (Buya), tapi akhirnya beberapa waktu kemudian istrinya dengan Buya menyumbangkan sekian untuk pembangunan di PKU,” kata Erik.
Darraz menambahkan, Buya Syafii bahkan pernah menolak saat seseorang ingin membantu membawakan tasnya. Di Yogyakarta, Buya Syafii juga tidak segan memenuhi permintaan murid-muridnya untuk makan bersama di angkringan. Tak heran, pria kelahiran 31 Mei 1935 itu dikenang sebagai sosok yang sederhana di mata warga Muhammadiyah.
“Kesederhanaan, kesahajaan, dan sikap untuk tidak mau bergantung pada orang lain serta kemerdekaan jiwa manusia sepuh ini menjadi satu bentuk keteladanan yang harus ditiru, setidaknya bagi kami anak-anak ideologisnya,” tutur Darraz. (Yan)
Sumber : Kompas.com