Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) diberi tinta merah dan hanya dicatat sebagai catatan pinggir dalam pembahasan di Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Pembahasan detail ditunda dan kode itu sebagai isyarat agar pembahasan diserahkan dalam rapat paripurna nantinya. Penundaan ini membuka celah bagi upaya penghapusan atau pelemahan status KEL dalam RTRW Aceh.
Padahal dalam draf Raqan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh, eksekutif telah mengakomodasi KEL dalam salah satu pasal. Namun, dalam pembahasan teknis di Komisi IV DPRA, pasal tersebut menghadapi jalan buntu dan berisiko dihapus dengan diberikan kode merah.
Jika keputusan akhir diserahkan pada rapat paripurna tanpa pembahasan teknis yang memadai, ada risiko KEL tidak mendapat perlindungan yang semestinya. Tanpa landasan hukum yang kuat dalam RTRW, KEL semakin rentan terhadap ekspansi industri ekstraktif, alih fungsi lahan, dan degradasi ekologis yang tidak terkendali.
Padahal, KEL bukan sekadar kawasan hutan, melainkan jantung kehidupan yang menopang jutaan nyawa serta menjadi rumah bagi satwa langka, menjadi paru-paru dunia yang telah ada pengakuan dari Unesco.
Polemik ini bukan hal baru. Sejak disahkannya Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013-2019, absennya KEL dalam dokumen tersebut telah menjadi sorotan publik. Ketidaktercantuman KEL dalam RTRW saat itu mengundang kritik luas karena mengabaikan salah satu kawasan ekologis terpenting di Aceh. Kini, sejarah terulang dengan ancaman serupa, menempatkan KEL dalam posisi yang kembali dipertaruhkan.
Tentu ini telah menimbulkan reaksi dari banyak elemen sipil di Tanah Rencong, mengingat KEL terus mengalami ancaman kerusakan, baik invasi perusahaan perkebunan sawit, pertambangan, Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) hingga perambahan hutan yang tak terkendali.
Baca Juga:
Dari cerita beberapa narasumber, upaya perbaikan RTRW Aceh sudah berlangsung lama, tidak hanya hendak memastikan KEL mendapat pengakuan dalam tata ruang Aceh. Tetapi hendak mengarahkan pemanfaatan ruang di Aceh secara serasi, seimbang, terpadu, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan serta berasaskan falsafah hidup, dan kearifan budaya masyarakat Aceh dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Proses revisi RTRW Aceh dimulai sejak 2018 dengan pembentukan Tim Peninjauan Kembali (PK) berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 050/631/2018. Hasil PK menyimpulkan bahwa RTRW Aceh berkualitas buruk dan perlu direvisi.
Isu utama yang muncul adalah keadilan tata ruang, termasuk tidak diakuinya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), yang berpotensi mempercepat kerusakan lingkungan.
Pada 1 Juli 2019, Gubernur Aceh membentuk Tim Revisi RTRW melalui Keputusan Nomor 600/1010/2019. Namun, hingga akhir 2021, tidak ada progres signifikan. Masyarakat sipil pun melakukan berbagai upaya untuk mendorong kelanjutan revisi.
Alhasil, pada 31 Maret 2022, Pemerintah Aceh kembali membentuk Tim Revisi RTRW melalui Keputusan Nomor 050/592/2022. Akhirnya nafas untuk perbaikan tata ruang Aceh pun terbuka dan diberikan akses seluas-luasnya ke masyarakat sipil di Aceh.
Menyikapi kondisi tersebut, WALHI Aceh bersama gerakan masyarakat sipil di Aceh, mengambil peranan strategis untuk upaya perbaikan ruang di Aceh. Selain itu, WALHI Aceh juga dilibatkan sebagai salah-satu tim revisi RTRW Aceh.
Masuknya WALHI Aceh sebagai salah-satu unsur dari tim Revisi RTRW Aceh membuka peluang sekaligus kesempatan untuk memberikan masukan bagi Pemerintah Aceh selama proses revisi berlangsung.
Lantas WALHI Aceh bersama CSO yang konsen terhadap lingkungan membuat kajian tematik yang menjadi dokumen usulan versi masyarakat sipil di Aceh untuk muatan substansi perbaikan RTRW Aceh yang sedang direvisi.
Kajian tersebut hanya pada isu-isu tertentu saja, seperti Kebencanaan, Pembangunan Infrastruktur Terintegrasi dan Ramah Lingkungan, Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan, KEL, Kawasan Ekosistem Penting dan Koridor Satwa/Jalur Migrasi Satwa/Koridor Kehidupan Satwa Liar, Kawasan Ekosistem Mangrove, Gambut dan Karst, Wilayah adat dan Wilayah Kelola Rakyat dan Kawasan Sosial Budaya.
WALHI Aceh menegaskan bahwa Pemerintah Aceh tidak memiliki alasan untuk mengabaikan pengelolaan dan penyelamatan KEL, termasuk mengintegrasikannya dalam Qanun RTRW Aceh. Penyelamatan KEL merupakan mandat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang wajib menjadi acuan utama dalam setiap pengambilan kebijakan di wilayah ini.
Upaya lain mengadvokasi KEL diakomodir dalam RTRW Aceh, berbagai elemen sipil di Aceh, yaitu WALHI Aceh bersama Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) bertemu dengan Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, Kamis 6 Maret 2025.
Mereka meminta Wali Nanggroe agar memberikan masukan kepada DPRA untuk mengakomodasi KEL dalam kebijakan tata ruang. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat dukungan politik dan memastikan perlindungan KEL sebagai bagian dari perencanaan pembangunan berkelanjutan di Aceh.
Dalam pertemuan dengan Wali Nanggroe, perwakilan WALHI dan HAkA menegaskan bahwa penyelamatan KEL merupakan amanah UUPA. Pasal 150 ayat (1) dengan jelas menyatakan bahwa perlindungan dan pengawasan KEL adalah tanggung jawab pemerintah Aceh dalam konteks kebijakan tata ruang.
Selain itu, keberadaan dan pengakuan terhadap KEL juga telah diatur dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh. Dengan dasar hukum yang kuat ini, tidak ada alasan bagi RTRW Aceh untuk mengabaikan atau tidak mengakomodasi KEL dalam perencanaannya.
Secara aturan nasional pun keberadaan KEL sudah mendapatkan pengakuan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 190 Tahun 2001 tentang Pengesahan Batasan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Aceh dengan luas 2,25 juta hektar atau 40 persen dari luas Aceh.
Secara pola ruang ruang, KEL terdiri dari Areal Penggunaan Lain (APL) dan Kawasan Hutan yang terdiri dari Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil, Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi Tetap (HP).
Dari perspektif pola ruang, pemanfaatan KEL untuk kepentingan ekonomi tidak dilarang, asalkan sesuai dengan status dan fungsinya, baik itu perkebunan, pertanian pemanfaatan kawasan hutan, jaringan energi, serta berbagai pemanfaatan lainnya yang sejalan dengan kebijakan tata ruang.
Selain itu, sebagian struktur ruang KEL juga menjadi bagian dari pusat permukiman penduduk. Artinya, kawasan ini dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan.
“Di nasional saja KEL dapat pengakuan, masak di provinsi dimana kawasan konservasi ekosistem leuser berada tidak mau mengakuinya, inikan jadi rancu,” kata Kepala Divisi Perencanaan Monitoring dan Evaluasi (PME), WALHI Aceh, Munawir Abdullah pekan lalu.
Menurutnya, perjuangan UUPA bukan hanya soal bendera dan himne, tetapi ada hal yang jauh lebih mendesak, yaitu perlindungan dan pengakuan terhadap Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sebagai ekosistem yang memiliki peran vital bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat, KEL harus menjadi bagian utama dalam implementasi UUPA, terutama dalam kebijakan tata ruang dan pembangunan berkelanjutan di Aceh.
***
KEL Semakin Terancam
Ancaman utama terhadap Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) saat ini adalah deforestasi yang terus berlanjut akibat berbagai aktivitas manusia. Pembukaan lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur menyebabkan hilangnya hutan yang menjadi habitat bagi keanekaragaman hayati, termasuk spesies langka seperti gajah, harimau, dan orangutan Sumatra.
Maraknya pembalakan liar dan alih fungsi hutan yang tidak terkendali mempercepat degradasi ekosistem. Deforestasi di KEL juga berdampak pada meningkatnya risiko bencana ekologis, seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan, yang semakin mengancam kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Jika tidak segera dikendalikan, kerusakan KEL akan berdampak jangka panjang terhadap keseimbangan lingkungan, keberlanjutan ekonomi, serta keberlangsungan sumber daya air bagi jutaan orang yang bergantung padanya.
Berdasarkan acehdata.digdata.id, hingga Maret 2025, luas Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) hanya tersisa 1.766.580 hektar, mengalami penyusutan sekitar 27% dari luas awal 2,25 juta hektar. Kondisi ini tentu cukup dikhawatirkan, mengingat perambahan masih terjadi dan tidak tersentuh hukum, begitu juga dengan investasi ekstraktif masih menjadi investasi prioritas pemerintah.
Sebelumnya deforestasi di KEL sempat menurun pada 2021-2022, namun tren ini tidak bertahan lama. Pada 2023, justru angka deforestasi meningkat menjadi 4.854 hektar dan terus bertambah pada 2024 hingga mencapai 5.699 hektar. Seiring dengan itu, luas hutan yang tersisa di KEL terus berkurang.
Pada tahun 2019, luas hutan Kawasan Ekosistem Leuser Aceh mencapai 1.794.320 hektar. Pada 2025 tersisa 1.766.580 hektar, mengalami penyusutan seluas 27.740 hektar atau 1.55 persen selama 6 tahun terakhir. Pada 2025 per Januari mengalami penurunan seluas 5.266 hektar dibandingkan tahun sebelumnya atau menurun 92.40 persen.

Dengan kondisi hutan Aceh yang semakin terancam, terutama di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), pemerintah harus segera mengesahkan Raqan RTRW Aceh serta memperketat penegakan hukum terhadap perambah dan pemilik lahan di kawasan hutan lindung maupun KEL.
“Pemerintah Aceh harus segera menerbitkan qanun yang mengatur rencana tata ruang Kawasan Ekosistem Leuser (KEL),” Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Aceh, Ir. Zainuddin, ST, M.Sc.
Tak hanya itu, Zainuddin juga menekankan bahwa dalam penyusunan RTRW Aceh, perlu ada jaminan perlindungan bagi masyarakat sekitar hutan dan komunitas adat dengan memberikan mereka hak untuk mengelola serta menjaga hutan.
Mengingat setengah dari wilayah Aceh masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), pemetaan yang jelas antara kawasan lindung, pesisir, dan kawasan terbangun atau dengan kata lain, zona lindung dan zona pemanfaatan harus menjadi prioritas.
Zainuddin menyatakan semestinya pemerintah harus mengambil langkah konkrit untuk menyelamatkan KEL dari kerusakan. Keberadaan KEL di Aceh bukan hanya sebatas sebagai KSN, tetapi amanah UUPA agar landscape tersebut harus dijaga dan dimanfaatkan secara berkesinambungan.
Pasal 150 ayat 1 tentang KEL mengamanahkan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan KEL dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari.
Lalu ayat 2 disebutkan, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin perusahaan hutan dalam KEL. Dari bunyi ayat ini jelas bentuk larangan adanya izin perusahaan yang dapat mengubah bentang alam dalam KEL.
Selain itu dalam pengelolaannya sebagaimana tercantum pada ayat 3 dan 4, Pemerintah Aceh diminta untuk berkoordinasi dan melakukan kerjasama dengan pemerintah dan pihak lain. Dalam pelaksanaannya, pemerintah juga diminta untuk menyediakan anggaran, sarana dan prasarana.
Berdasarkan aturan tersebut, DPRA seharusnya tidak menunda pembahasan dan memasukkan KEL dalam Raqan RTRW Aceh oleh Komisi IV. Selain penting untuk mencegah kerusakan, hal ini juga merupakan amanah UUPA yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh.
“Jadi dalam UUPA khususnya Pasal 150 itu diberi kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengelolanya, ada empat poin yang mengatur itu, tinggal bagaimana kita menjaganya,” kata dosen Prodi PWK Fakultas Teknik USK itu.
Selain itu, Zainuddin meny
ampaikan, UUPA mengatur beberapa aspek terkait KEL, termasuk pemberdayaan pemerintah daerah. UUPA m
emberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam di wilayahny
a, termasuk dalam hal konservasi. Dengan demikian, UUPA memungkinkan kebijakan yang spesifik dan sesuai dengan kondisi daerah, terutama untuk kawasan konservasi seperti Kawasan Ekosistem Leuser.
“Semestinya UUPA juga memainkan peran yang sangat penting dalam mendukung pelestarian itu sendiri. Sebab kelestarian kawasan h
utan di Aceh saat ini mengalami ancaman besar karena adanya perluasan pembangunan yang berada di dalam dan bersinggungan dengan kawasan hutan,” ucap Zainuddin lagi.
***
Anggota Komisi IV DPRA, Abdurrahman menolak anggapan bahwa pihaknya tidak peduli terhadap Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) atau menghindari pembahasannya. Penyusunan qanun ini harus dilakukan dengan cermat karena akan berlaku untuk 20 tahun ke depan. Ia menegaskan bahwa KEL harus diperhatikan secara serius agar tidak terjadi tumpang tindih atau overlapping kawasan.
Politisi Gerindra ini tak menampik pembahasan tentang KEL cukup alot di Komisi IV DPRA. Terjadi perdebatan panjang menyangkut pengelolaan, pengawasan kawasan tersebut. Apakah KEL masuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) atau Kawasan Strategis Aceh (KSA).
“Kita sepakat mengambil keputusan poin KEL ini masuk dalam kawasan strategis Aceh di RPJMA, jadi tidak benar jika kita mencoret atau mempending tentang KEL dalam raqan RTRW Aceh,” tegasnya.
Dengan luasan yang ada dari 2,6 juta hektar di Aceh dan Sumatera Utara, 2,2 juta hektar berada di Aceh. Artinya lebih separuh keberadaan KEL berada di Aceh. Sehingga seyogyanya KEL ini dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh sesuai dengan amanah UUPA.
“Saat ini kita masih melakukan diskusi terkait keberadaan KEL dalam raqan RTRW tersebut, apakah KEL ini masuk dalam Kawasan Strategis Nasional atau Kawasan Strategis Aceh, karena banyak aduan masyarakat yang tinggal di kawasan KEL yang ingin memanfaatkan kawasan tersebut harus ijin ke pusat,” kata Abdurrahman kepada digdata.id.
Menurutnya, bila KEL masih KSN semua aturan harus tunduk ke pemerintah pusat setiap pengurusan izin pengelolaannya. Bila ada warga yang tinggal di kawasan KEL, bila hendak mengelola KEL harus perizinannya ke pemerintah pusat.
Menurutnya, jika KEL tetap berstatus KSN, warga di kawasan tersebut harus mengurus izin ke pemerintah pusat. Namun, jika statusnya berubah menjadi KSA, perizinan dapat diurus lebih mudah di Provinsi Aceh dan akan lebih mudah untuk pengawasannya.
“Jika KEL dikelola oleh Aceh, maka akan lebih mudah bagi masyarakat sekitar KEL mengurus izinnya, dan akan lebih mudah pengawasannya, kalau masih KSN harus urus izin ke pemerintah pusat dan membutuhkan waktu lama,” kata Abdurrahman.
Sementara itu, Kadiv PME WALHI Aceh, Munawir Abdullah, menjelaskan bahwa dalam setiap pertemuan di Komisi IV DPRA, disebutkan bahwa memasukkan KEL dalam RTRW Aceh akan menyebabkan tumpang tindih kawasan.
Menurutnya, alasan ini tidak masuk akal dan merupakan kekhawatiran berlebihan. Ia menegaskan bahwa tidak akan terjadi tumpang tindih, karena dalam KEL sudah terdapat APL, kawasan hutan, dan kawasan konservasi, sehingga fungsi kawasannya tetap sama.
“Jadi aneh aja kalau keberadaan KEL dalam RTRW Aceh dianggap overlapping dan ini bentuk kamuflase atau alasan mengada-ngada dewan untuk tidak mengakomodir atau tidak memasukkan KEL dalam RTRW yang belum disahkan hingga hari ini,” jelas Munawir.
Munawir juga mempertanyakan alasan menganggap KEL dalam RTRW Aceh dianggap tumpang tindih. Ia menyoroti Kepmen ESDM Nomor 86. K/MB.01/MEM.B/2022, tentang Wilayah Pertambangan Aceh yang justru membagi hampir seluruh wilayah Aceh untuk pertambangan dan dapat sepenuhnya dimasukkan dalam RTRW.
Ironisnya, aturan ini bahkan memungkinkan penambangan di kawasan konservasi sesuai ketentuan yang berlaku. Artinya, jika KEL dianggap menyebabkan tumpang tindih kawasan, seharusnya Kepmen 86 ESDM juga diperlakukan sama.[acl]
Reporter : Fitri Juliana
Editor : Afifuddin Acal