Home Berita Ribut-Ribut di Manggamat, Petaka Lama Kini Beriak
BeritaHeadline

Ribut-Ribut di Manggamat, Petaka Lama Kini Beriak

Share
Lokasi Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Aceh Barat. Foto Junaidi Hanafiah
Share

Sungai dulu jernih dan menjadi nadi kehidupan masyarakat Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan, kini berubah warna. Pekat, keruh, dan memunculkan aroma tak sedap. Warga resah, petani gelisah, tak lagi bisa memanfaatkan aliran sungai tersebut.

Ini bukan kisah baru, tapi cerita lama yang baru beriak. Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di kawasan itu telah lama jadi rahasia umum. Beroperasi jauh dari pengawasan, masuk ke rimba dan jurang, dengan alat berat dan bahan kimia yang tak pernah ramah lingkungan. Namun baru sekarang, setelah sungai utama tercemar dan lahan pertanian warga terancam gagal panen, publik mulai riuh.

Sejak 2017, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh telah mengangkat temuan serius terkait praktik PETI di kawasan ini. Investigasi mereka mengungkap penggunaan mesin-mesin penyedot pasir sungai yang mengandung emas.

Baca JugaLubang Gelap Emas di Tambang Ilegal 

Tak hanya itu, para penambang juga menggali perut bumi secara vertikal dan menciptakan jaringan terowongan horizontal di bawah tanah. Praktik ini tak hanya merusak lanskap, tetapi juga memperbesar risiko runtuhan tanah yang sewaktu-waktu bisa memakan korban.

“Praktik berbahaya ini masih saja berlangsung hingga hari ini, dan belum tersentuh hukum. Sudah waktunya pengusutan dilakukan menyeluruh dan operasi PETI ditutup total,” kata Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Shalihin kepada digdata.id.

Delapan tahun lalu, WALHI Aceh juga menemukan proses pemurnian emas di Manggamat menggunakan merkuri. Zat beracun itu, tanpa melalui proses pengolahan, langsung dibuang ke saluran air dan sungai, mencemari sumber kehidupan warga. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat semakin nyata, tapi tetap saja tak ada sanksi yang mengikat.

Manggamat hari ini adalah potret suram dari kelalaian dan pembiaran. Di tengah gemuruh sungai yang tak lagi jernih, suara-suara masyarakat yang mendamba keadilan dan lingkungan yang pulih terus bergema, meski belum tahu kapan akan didengar.

Baca JugaKeruk Emas di Benteng Ekologi (3)

Sungai Manggamat menjadi tumpuan hidup masyarakat di sekitarnya. Selain sumber air bersih, aliran ini menyokong pertanian dan sumber air kebutuhan keluarga. Kini tak lagi bisa dimanfaatkan, karena air kotor, berkeruh dan berbau selama tiga bulan terakhir ini.

Warga menduga kuat pencemaran bersumber dari aktivitas tambang emas ilegal di kawasan pegunungan hulu sungai. Tak hanya air yang berubah warna, tetapi juga debitnya tak lagi stabil. Aktivitas itu berlangsung nyaris tanpa gangguan, hingga pencemaran menjadi bukti yang tak bisa dibantah.

WALHI Aceh menilai kerusakan di Manggamat bukan semata akibat ulah pelaku tambang semata, tetapi juga cerminan dari kelalaian negara dalam menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum.

“Penegakan hukum harus menyasar akar persoalan. Tidak cukup hanya mengusut pencemarannya, tapi juga harus menghentikan sumber utamanya, aktivitas tambang emas ilegal di hulu sungai. Aparat harus segera menutup dan menindak pelaku tambang ilegal itu,” tegas Ahmad Shalihin.

Ketidaktegasan aparat dan minimnya pengawasan membuat praktik tambang ilegal seolah mendapat ruang aman untuk terus beroperasi. Di balik gemerincing emas yang diincar, tersembunyi biaya mahal yang harus dibayar, rusaknya ekosistem, hilangnya sumber air bersih, hingga ancaman gangguan kesehatan yang mengintai generasi mendatang.

WALHI Aceh mengingatkan, Manggamat bukan satu-satunya titik rawan. Jika dibiarkan, pola perusakan seperti ini semakin menjalar ke seluruh Aceh. “Harus ada langkah tegas dan komitmen nyata untuk menyelamatkan kawasan ini. Tidak cukup dengan himbauan, harus ada tindakan hukum yang mengikat,” tegas Ahmad Shalihin.

Karena pencemaran sungai dan kerusakan ekologis akibat PETI sudah berlangsung lama dan bukan hal baru, WALHI Aceh menekankan agar penyelidikan yang dilakukan kepolisian tidak berhenti pada tindakan seremonial.

“Kami menuntut langkah nyata, bukan sekadar formalitas. Jika dibiarkan, dampak ekologis, sosial, dan kesehatan masyarakat akan semakin parah dalam jangka panjang, tindak siapapun pelaku PETI,” tegasnya.

Ribut-ribut di Manggamat mungkin terdengar baru, tapi sejatinya ini hanyalah riak dari petaka lama yang dibiarkan, tak terkecuali di daerah PETI lain yang hanya menunggu waktu. Bila tak segera ditindak tegas, bukan tak mungkin luka sungai Manggamat akan menjadi kenangan pahit yang tak bisa disembuhkan.[acl]

Share
Related Articles
JCH asal embarkasi Aceh bersiap berangkjat menuju Makkah. Poto : Fitri Juliana/Digdata.id
BeritaNews

BP Haji Bakal Perbanyak Pembimbing Perempuan pada 2026

Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) Dahnil Anzar Simanjuntak menyampaikan rencana...

Pemerintah menetapkan Hari Raya Idul Adha jatuh pada 6 Juni 2025. Poto : Kemenag.go.id
BeritaHeadlineNews

Pemerintah Tetapkan Hari Raya Idul Adha Jatuh pada Jum’at 6 Juni 2025

Pemerintah melalui Kementerian Agama menetapkan 1 Dzulhijjah 1446 Hijriah jatuh pada Rabu,...

Matahari terlihat di ujung Barat Indonesia menjelang masuknya bulan Ramadan. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id
BeritaNews

Pantau Hilal, Kemenag Aceh Siapkan 6 Lokasi Pengamatan

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh akan melakukan pengamatan rukyatul hilal 1...

Aksi demonstrasi Mahasiswa Papua Minta Pemerintah Hentikan Operasi Militer di Papua di depan Gedung DPR Aceh, Selasa (27/05/2025). Poto : Fitri Juliana / Digdata.id
BeritaHeadlineNewsUncategorized

Mahasiswa Papua Minta Pemerintah Hentikan Operasi Militer di Papua

Mahasiswa Papua yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Aceh melakukan unjukrasa dengan...