Di belahan bumi lain, di Helsinki, Finlandia, para perwakilan GAM dan RI berhadap-hadapan disaksikan oleh pimpinan Henry Dunant Centre, Martti Oiva Kalevi Ahtisaari yang menjadi fasilitator pertemuan-pertemuan dan negosiasi antara pemerintah RI dan GAM, serta mediator yang membantu pemerintah RI dan GAM mencari solusi-solusi penyelesaian konflik di Aceh.
Banda Aceh, 15 Agustus 2005…
Matahari belum tinggi, tapi ribuan masyarakat Aceh tumpah ruah memenuhi halaman mesjid Baiturrahman. Dibawah tenda yang didirikan di halaman mesjid, puluhan televisi berukuran besar di letakkan di hadapan masyarakat yang duduk bersimpuh dan bersila, sambil mengikuti sebuah peristiwa penting untuk Aceh, yakni proses penandatanganan damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Republik Indonesia, yang disiarkan langsung ditelevisi, saat itu.
Di belahan bumi lain, di Helsinki, Finlandia, para perwakilan GAM dan RI berhadap-hadapan disaksikan oleh pimpinan Henry Dunant Centre, Martti Oiva Kalevi Ahtisaari yang menjadi fasilitator pertemuan-pertemuan dan negosiasi antara pemerintah RI dan GAM, serta mediator yang membantu pemerintah RI dan GAM mencari solusi-solusi penyelesaian konflik di Aceh.
Dan… nota kesepahaan itu pun ditandantangani oleh kedua belah pihak. Bersamaan dengan penandatanganan nota kesepahaman bersama di Finlandia, ribuan orang yang sedang menyaksikan melalui televisi bersorak-sorak sambil berpelukan. Bahkan tak sedikit yang meneteskan air mata. Wajah-wajah ceria muncul, merekapun seperti kehilangan beban konflik yang selama ini menekan pundak mereka. Mimpi dan harapan pun disemai, beraharap segera cepat dipanen, yakni hidup sejahtera, aman dan nyaman.
Banda Aceh, 15 Agustus 2022…
Sebuah tenda besar berdiri megah ditengah arena panggung utama Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. Tenda mewah dengan layout dan dekorasi yang mewah.
Dibawah tenda tersusun seratusan kursi lebih, dan khusus bagi tamu dan undangan saja. Hari ini peringatan yang sama diperingati yaitu Hari Damai Aceh. Tapi dibawah tenda itu tidak ada rakyat yang 17 tahun lalu bersorak sorai meneteskan air mata menyambut datangnya damai di bumi serambi mekkah ini. Krusi-kursi dibawah tenda ini ditempati oleh para mantan kombatan Gam yang kini duduk sebagai penguru Komite Peralihan Aceh (KPA) se-kabupaten/kota di Aceh, lalu para pengurus parpol, pengurus ormas dan OKP, Lembaga pemerintahan, SKPA dan para forkopimda dengan formasi lengkap. Secara seremoni, tamu dan undangan menghadiri peringatan hari damai aceh.
“Pada peringatan hari Damai Aceh ini, Pemerintah akan menyerahkan sertifikat lahan pertanian/perkebunan bagi mantan kombatan dan korban konflik sebanyak 2.800 hektar dan secara simbolis sertifikatnya akan diserahkan disini. Lahan ini diberikan kepada 1.400 mantan kombatan dan korban konflik di Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya,” sebut Azhari Cage, Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dalam pidatonya pada peringatan hari Damai Aceh tersebut.
Ketua Badan Reintergrasi Aceh (BRA), Azhari Cage, mengatakan pihaknya terus berupaya untuk melaksanakan implementasi dari isi perjanjian damai di Aceh, demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Banyak hal yang harus dilakukan, sementara saya baru menjadi bagian dari lembaga ini, kendati demikian, BRA akan terus melakukan implementasi dengan baik dan kami berharap tidak ada kendala,” ujarnya.
Sertifikat lahan diserahkan langsung oleh Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antonio.
“Pemerintah Pusat ingin memastikan ada perdamaian di Aceh ini terus abadi. Seluruh butir-butir perjanjian damai akan dituntaskan. Salah satu butir dari MoU adalah, memberikan tanah kepada eks kombatan, tapol/napol, dan masyarakat korban konflik,” sebut Raja Juli Antonio, usai menyerahkan sertifikat lahan bagi mantan Kombatan Gam, pada peringatan Hari Damai Aceh yang dipusatkan di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, Senin (15/8/2022).
Raja Juli Antoni menyebut pada tahun 2021 seluas 2.500 hektar tanah telah dibagikan kepada yang berhak memperoleh sebagaimana amanat MoU Helsinki. Sementara untuk tahun ini, pemerintah kembali membagikan 2.800 hektar yang berlokasi di tiga kabupaten di Aceh.
Juli mengatakan, pembagian tanah itu bagian mempererat rasa damai, sekaligus meningkatkan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat di Aceh.
Sudah 17 Tahun, Impelementasi MoU Belum Optimal
Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, mengatakan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah untuk memulihkan hak-hak korban konflik di Aceh. “Sudah 17 tahun, seharusnya 2/3 bagian dari upaya pemulihan itu sudah selesai, tinggal menyelesaikan sisanya saja, tapi ini justru masih banyak pekerjaan rumah yang masih menumpuk belum diselesaikan,” jelas Hendra.
“ Coba saja cek, yang hari ini yang diharapkan oleh korban itu bukanlah bantuan sosial, tapi pengakuan terhadap hak-hak mereka, karena kalau kita berkata atas nama hak, maka satu-satunya hak mereka adalah untuk mengetahui kenapa mereka dipenuhi haknya,” ujarnya.
Yang juga perlu dilakukan sebagai upaya pemenuhan hak korban, sebut Hendra, adalah pemulihan. “Ternyata upaya pemulihan terhadap korban itu masih jauh. Korban masih banyak yang trauma, dan harusnya negara hadir untuk melakukan pemulihan trauma ini, karena upaya pemulihan trauma ini tidak bisa dilakukan mandiri oleh korban,” katanya
Hendra Saputra juga menegaskan ada satu catatan penting pada 17 tahun damai aceh, yang perlu digaris bawahi dalam pemenuhan HAM yang ada pada MoU Helsinki. “ Yaitu, pembentukan pengadilan HAM untuk penyelsaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh. Meskipun pemerintah sudah membentuk KKR di Aceh tahun 2016, tapi belum jelas terlihat itikad baik pemerintah, sejauh mana upaya baik pemerintah, karena KKR dari awal tidak diberi dukungan yang maksimal, sehingga proses-proses pendokumentasian korban tidak bisa berjalan optimal,” kata Hendra.
Wakil Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Oni Imelva, mengatakan sejak periode awal KKR terbentuk, sudah ada 5264 formulir yang sudah menyimpan data korban konflik di Aceh. Dan dari angka tersebut, sebanyak 245 korban konflik datanya sudah diserahkan kepada pemerintah Aceh, untuk mendapatkan reparasi mendesak. “ Dan harusnya begitu jumlah yang butuh reparasi mendesak disampaikan, maka saat itu juga harus diberikan hak reparasi mendesak itu, tapi ini belum terlaksana,” ujar Oni.
Kendati demikian, sebut Oni, KKR Aceh melihat ini suatu langkah positif dari pemerintah bahwasanya data awal sudah mereka terima, dan pemerintah tahu bahwa korban itu ada danmembutuhkan suatu perhatian. “ Dan tahun sekarang ini, kita tahu untuk reparasi mendesak itu dialokasikan tahun ini dan akan diimpelemntasikan oleh BRA. Ini penting untuk direalisasikan, agar pertanyaan korban bisa terjawab, meskipun 5000 lainnya juga akan bertanya kapan giliran kami,” jelas Oni.
Perbaikan Ekonomi Rakyat Menjadi Prioritas
Menyandang predikat peringkat satu daerah termiskin pertama di Pulau Sumatera dengan sumber daya alam yang melimpah, merupakan pukulan telak bagi Aceh. Ini menjukkan ketidak sinkronan pembangunan dan dana melimpah yang dimiliki Aceh.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Adli Abdullah, mengatakan sudah 17 tahun, Damai di Aceh hanya berupa damai struktur sedangkan daai secara cultural masih jalan ditempat.
Permasalahan ini menyebabkan damai yang diharapkan di Aceh untuk terciptanya keadilan sosial dan terbentuknya suasana aman, nyaman, dan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat, belum terwujud.
“ Damai abadi baru terwujud bila terpenuhinya tiga komponen, yaitu reintegrasi internal yang berkonflik dan eksternal, rekonsiliasi, dan kohesi sosial antar pihak yang berkonflik maupun dengan masyarakat benar-benar terealisasi,” kata Adli Abdullah.
Adli Abdullah juga menyebutkan, untuk mewujudkan damai yang Stabil (stable peace) di Aceh, sistem sosial yang terjadi dalam internal GAM dapat dimobilisasi menuju damai yang berkelanjutan bukan hanya menyelesaikan konflik. “ Agar konflik tidak berulang. MoU Helsinki bukan sekadar menghentikan perang yang terjadi antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia tetapi harus dengan wujud integrasi structural,” tegasnya.
Tokoh Perdamaian Aceh, Azwar Abubakar, juga menyentil hal yang sama bahwa upaya perbaikan kesejahteraan dan perekonomian rakyat menjadi hal prioritas pemerintah Aceh dan seluruh pihak. “Korban-korban harus mendapat kepedulian, diberi perhatian dengan berbagai cara, terutama upaya peningkatan ekonomi mereka, agar mereka bisa berdaya dan mandiri,” ujar Azwar Abubakar.
Prioritas saat ini memang harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tambah Azwar. “Kolaborasi pemerintah, parlemen, dan masyarakat memang mutlak diperlukan, demi meningkatkan kesejateraan rakyat, malu sekali rasanya mendapat status miskin tapi sebenarnya kita kaya, uang banyak, tapi tidak dikelola dengan baik, semua harus terbuka,” ujar Azwar.
jika tidak ingin tambah terlambat, maka exit strategi untuk pembangunan di Aceh, harus segera dilakukan, atau tidak ada sama sekali.
Semoga pada peringatan damai yang entah keberapa nanti, ada tenda mewah yang juga didirikan dan dibawahnya duduk orang-orang yang sudah sukses dengan lahan-lahan perkebunan yang dulu hanya 2ha, serta anak-anak muda yang berani berkata, bahwa merekalah yang dulu hidup penuh dengan air mata, tapi kini selalu berlimpah mata air. (Yan)