Akbar Maulana memang tak pernah mengerti apa yang menimpa sang ayah. Bagi pelajar SMK asal Nisam Aceh Utara ini Hanya tahu kalau ayahnya pernah menjadi korban tembak, pada tragedi Simpang KKA tahun 1999 di Aceh Utara.
Kepada Presiden Joko Widodo, saat peluncuran program penyelesaian nonyudisial pelanggaran berat HAM, Akbar mendapat sekelumit cerita tentang kisah sedih keluarganya.
“Saya tidak tahu detil kisahnya, Pak, yang dikisahkan bahwa ayah ditembak, saat itu ayah masih muda,” ujar Akbar Maulana, Selasa (27/6/2023).
Sebagai putra dari korban pelanggaran HAM berat di Simpang KKK Aceh Utara, Akbar mendapat bantuan beasiswa dari SMK hingga Universitas, juga mendapat Kartu Indonesia Sehat prioritas.
Tak sempat berbincang dengan Presiden Joko Widodo, Suhardi, seorang ahli waris dari korban hilang dari rumoh Geudong, bernama Raden, berharap pemerintah juga bisa melakukan rekonsiliasi bagi korban dan ahli waris korban, serta memulihkan nama baik korban.
” Ayah saya hanya seorang pedagang ikan, ditangkap dan dibawa ke rumoh Geudong dan hingga kini tak pernah kembali,”kisah Suhardi.
Bagi Suhardi, ia menghargai apa yang telah dilakukan pemerintah, dengan mengakui adanya pelanggaran yang terjadi.
Jokowi kembali menegaskan pemerintah sudah mengakui adanya tragedi pelanggaran HAM Berat di Indonesia, dan tulus untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Memang Keppres 17/2022 akan berakhir tahun 2023 dan pastinya bisa diperpanjang untuk kontinuitas keberlanjutan penyelesaian masalah ini,” ujar Joko Widodo.
Seiring dengan adanya program penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non Yudisial ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil di Aceh kembali mengingatkan pemerintah akan pentingnya penguatan data jumlah korban pelanggaran HAM berat di Aceh.
Direktur Paska Aceh, Farida Haryani, mengingatkan agar pemerintah memperkuat data jumlah korban pelanggaran HAM. “Ini bertujuan untuk mempermudah proses penyelesaian masalah dan tidak menimbulkan kecemburuan,’ ujar Farida. (Yan)