Jelang hari pencoblosan pada pemilihan kepala daerah (Pemilukada) serentak 2024, praktik politik uang semakin masif terjadi di Kota Banda Aceh pada masa minggu tenang hingga malam hari menuju hari pencoblosan Rabu 27 November 2024.
Politik uang dilakukan terang-terangan oleh pasangan calon walikota Banda Aceh dengan cara membagikan amplop berisi uang senilai 200 ribu dan kartu pasangan calon, paket sajadah, mukena dan sembako. masyarakat yang telah didata namanya cukup datang dengan membawa KTP Asli saja.
Informasi tersebut telah menyebar melalui grup-grup media sosial dengan bukti-bukti foto dan video pembagian uang dari salah satu pasangan calon walikota Banda Aceh.
Digdata.id pun mencari tau kebenaran informasi tersebut dengan menanyakan kepada beberapa warga yang baru selesai menerima amplop dari salah satu pasangan calon walikota yang diadakan di desa Lampaseh Banda Aceh.
Salah satu warga tersebut mengatakan ia di whatsapp oleh ketua tim untuk datang ke lokasi yang telah di tentukan dengan membawa KTP Asli untuk mengambil paket berupa amplop berisi Rp200 ribu dan kartu pasangan calon walikota.
“Sebelumnya saya sudah didata dengan mengirimkan foto KTP dan pernah ikut pertemuan satu kali di rumah calon walikota itu, saat itu dikasih sembako minyak dan gula, yang kali ini dapat amplop itu” jelas perempuan berusia 45 tahun itu yang tidak mau ditulis namanya.
Koalisi Sipil Pemantau Pilkada (KSPP) Aceh juga menemukan adanya politik uang di Pilkada Banda Aceh, dan pihaknya telah melaporkan temuan tersebut panwaslih Kota Banda Aceh.
Menurut perwakilan KSPP Aceh, Destika Gilang, politik uang yang terjadi di Pilkada 2024 ini telah beradaptasi menggunakan skema baru, penggunaan transfer melalui rekening bank maupun e-money tengah gencar dilakukan selain memberikan secara langsung dan juga dalam bentuk barang.
“Serangan fajar yang di jam subuh pada saat mau pemilihan itu tren zaman, trennya sekarang pakai uang elektronik. Jadi si pemilih yang namanya sudah tercatat tinggal datang ke konter dan ambil uangnya di sana, begitu juga dengan sembako,” kata Gilang saat konferensi pers terkait pilkada rawan politik uang, Senin (25/11).
Menurutnya hasil temuan KSPP di Banda Aceh, para pasangan calon wali kota dan wakil wali kota bahkan telah menyiapkan dana untuk serangan fajar sebesar Rp 500 ribu hingga 1 juta per Kartu Keluarga (KK).
Selain itu juga ada yang menggunakan modus operandi yang sama seperti duu dengan mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), KK, nomor handphone. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, Kota Banda Aceh termasuk wilayah rawan politik uang.
“Kalau saya lihat, memang saat ini Kota Banda Aceh darurat untuk politik uang. Tingkat politik uangnya sangat tinggi di sini,” katanya.
Meski kini telah memasuki masa tenang lantaran pemilihan pemimpin daerah akan berlangsung 27 November 2024 nanti, Gilang bersama Tim KSPP justru menemukan adanya indikasi kecurangan dari Paslon tertentu. Pengumpulan data dan informasi partisipan yang sudah dipastikan untuk memilih calon-calon tertentu mulai gencar dilakukan.
Gilang mengatakan, salah satu kandidat calon kepala daerah Banda Aceh bahkan dengan terang-terangan melakukan politik uang. Dia menunjukkan bukti dari salah satu penerima yang mendapat amplop putih berisi uang dan kartu yang menunjuk untuk memilih nomor urut tertentu.
“Ini padahal sudah jelas, kita temukan langsung dan ada gambarnya, tapi setelah kita laporkan, karena itu hanya keramaian biasa,” ujarnya. Dia juga mengkritisi keberadaan badan hukum yang mengawasi pilkada di Aceh ini.
Menurutnya, keberadaan Bawaslu dan Panwaslu di Aceh membingungkan masyarakat untuk melapor. Terlebih, katanya, ketiadaan jaminan keselama tan pelapor menjadi momok serius dalam pelaporan dugaan kecurangan selama Pilkada Aceh.
“Masyarakat tidak merasa ada perlindungan pada saat dia melaporkan. Mereka berpikir siapa yang akan melindungi saya? Itu yang kemudian menjadi persoalan di masyarakat,”ucapnya.
hal yang sama juga disuarakan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) terkait praktik politik uang yang dilakukan calon kandidat Walikota dan Wakil Walikota Banda Aceh.
Alfian, Koordinator MaTA, sangat menyayangkan adanya pembiaran praktik politik uang yang di lakukan pasangan calon walikota Banda Aceh. atas kondisi tersebut ia mempertanyakan kinerja Panwaslu di Aceh.
Politik uang marak terjadi di Kota Banda Aceh, dan telah dilakukan sejak tiga hari menjelang pencoblosan Pilkada 2024. Banyak tempat yang dijadikan sebagai tempat transaksi. Masyarakat yang telah didata cukup datang dengan hanya membawa KTP Asli untuk bisa mengambil amplop berisi uang dan paket berupa sembako, mukena dan sajadah.
Menurut Alfian, Panwaslih memiliki sistem hingga di level gampong, kecamatan dan kota. Jika tidak ada penindakan terhadap politik uang, patut dicurigai Panwaslih telah bekerja untuk pasangan calon tertentu.
“Politik uang yang terjadi saat ini, bukan hanya dalam bentuk uang. Tapi juga dalam bentuk apapun yang diberikan oleh para calon. Dan yang harus diingat, kasus politik uang berlaku kadaluarsa, jika lewat batas waktu yang telah diatur, maka tidak bisa diproses lagi.”Jelas Alfian.
Posisi panwaslih sebagai orang yang bertanggung jawab selaku penyelenggara Pemilukada. Artinya publik tidak mau posisi panwaslih itu pasif yang hanya menunggu saja hasil laporan masyarakat, seharusnya aktif dalam melakukan pengawasan, dengan lebih banyak yang menemukan temuan-temuannya dibandingkan dengan laporan dari masyarakat. karena proses pelaporan masyarakat itu juga punya masa kadaluarsanya jelas Alfian lagi saat diminta tanggapannya terkait maraknya politik uang di Banda Aceh, Selasa (26/11).
Jika dengan adanya temuan langsung oleh panwaslih, maka secara sistem akan lebih mudah untuk di tindak lanjuti dan pihak panwas lebih mudah dalam melakukan pemantauan dan monitoring dibandingkan masyarakat.
“ Semestinya Panwaslih Aceh sudah menetapkan daerah-daerah rawan termasuk daerah rawan politik uang, mereka sudah difasilitasi dana hibah yang lumayan besar dari APBK Kota Banda Aceh sejumlah 5,2 milyar, mereka harus aktif melakukan pengawasan dan tidak hanya menerima laporan warga saja”ucap Alfian.
Mereka sudah menerima mandat dari negara untuk melakukan proses monitoring dan pengawasan secara efektif.