Home Berita 20 Tahun Tsunami Aceh, Kisah 2 Ibu yang Kembali Bangkit dan Berdaya
BeritaHeadlineNews

20 Tahun Tsunami Aceh, Kisah 2 Ibu yang Kembali Bangkit dan Berdaya

Share
Share

Aroma ikan tuna rebus menyeruak ke seluruh ruangan dapur hingga ke halaman. Dua dandang besar teronggok diatas kompor, dengan air yang menggelegak, didalamnya potongan ikan tuna ukuran kecil alias ikan tongkol terendam air mendidih. Aroma harum ikan segar, bertambah memancing air liur manakala rebusan ikan ini dicampur dengan daun belimbing wuluh.

“Di Aceh kalau merebus ikan tongkol memang harus dipadu dengan daun belimbing wuluh, agar ikan tak amis, dan ini resep indatu alias nenek moyang disini,” ujar Salawati, pengusaha UMKM abon ikan dan ikan kayu alias ikan keumamah bermerek Putra Abon, yang ditemui di kediamannya di Merduati Banda Aceh, pertengahan Desember 2024.

Usaha ini bukan baru dimulai oleh Salawati, tapi jauh sebelum tahun 2004, manakala gempa dan tsunami besar melanda Aceh. Salawati dan suaminya almarhum Nurdin, memulai usaha tahun 1998. Sayang, ketika usaha yang dirintis Salawati mulai menunjukkan titik terang, saat itu pula mereka terpuruk oleh guncangan gempa dan tsunami. Tak hanya menghabiskan seluruh harta bendanya, bahkan dua anak perempuan Salawati pun, ikut menjadi korban, yang tak pernah ditemukan jasadnya hingga kini.

“Saat itu saya dalam perjalanan pulang ke Banda Aceh dari Medan bersama Suami dan anak  bungsu kami, Putra, kemudian kami pun mendapat kabar buruk itu, saya hancur sehancur-hancurnya,” kenang Salawati.

Kediaman Salawati di Gampong Merduati, Banda Aceh, rata dengan tanah, tak ada bangunan yang tersisa. Setibanya di Banda Aceh, ia tak bisa menjangkau rumahnya karena akses jalan yang tertutup lumpur dan sampah. Sepekan kemudian dia baru bisa menapak dikawasan kediamannya, sambil mengais dan mencari informasi terkait keberadaan dua putri kesayangannya.

“Hingga hari ini, dua puluh tahun sudah berlalu saya tak pernah menjumpai jasad kedua anak saya dan bahkan tak tahu juga kuburannya dimana,” ungkap Salawati dengan mata menerawang.

Dua tahun lamanya hidup Salawati tak karuan, tak bernyawa rasanya, hingga akhirnya ia tersentak bahwa ada satu anak laki-laki yang harus diberi penghidupan yang baik, serta suami yang selalu hadir menjadi penyokong kehidupan Salawati.

Tertatih mereka bangkit dari kubangan lumpur kehancuran, dan berusaha memulai usaha abon ikan yang hancur. Perlahan Salawati memupuk semangatnya untuk bangkit dan tumbuh. Seiring bangkitnya Aceh dari keterpurukan akibat gempa dan tsunami, Salawati pun kembali memulai mengasah kemampuannya mengolah ikan. ”Laut sudah mengambil hidup kami dan kini laut juga mengembalikan hidup kami dengan memberikan ikan yang berlimpah dan jalan untuk bisa mengolahnya,”sebut Salawati.

Masuk usia kepala enam, Salawati pun mulai mengalihkan kepemimpinan produksi pengolahan ikannya kepada sang anak, Putra (29). Kondisi kesehatan Salawati pun sedikit menurun. “Usaha ini berjalan jatuh bangun, sempat turun drastis juga saat covid melanda, dan kini berusaha bangkit lagi pasca bencana covid,” katanya.

Bagi Putra, anak Salawati satu-satunya yang ada kini, meneruskan usaha orangtua adalah jalan yang dipilihnya. “Orangtua saya sudah membangun usaha ini jatuh bangun, dan saya harus melanjutkannya,” ujar Putra.

Pengalaman tak terlupakan pada 20 tahun lalu, sebut Putra, adalah pelajaran penting, yang terus menjadi ingatan.

20 tahun pasca bencana tsunami juga menjadi kesempatan hidup kedua bagi Aina (60) warga Mereudu, Kabupaten Pidie Jaya. Setelah mengalami kehancuran akibat hempasan bencana, kini Aina mulai menyusun babak demi babak kehidupannya dengan usahanya yang baru.

“Dulu saya punya usaha kecil sekali hanya membuat kerupuk, dan tinggal di pesisir pantai di Meuredu, tapi usaha dan hidup kami hancur karena bencana, namun kini Allah sudah menunjukkan jalan lain untuk berusaha dan menjalani hidup selanjutnya,” kisah Aina.

Aina tak bercerita banyak tentang kesedihan dan keterpurukannya. Ia hanya ingin menyimpan sendiri, namun Aina mengaku menjadikan semua kesedihan menjadi bola semangat yang kemudian juga kini diterapkan didalam keluarganya yang selamat dari bencana untuk menjadi pijakan baru dalam melanjutkan hidup.

Usaha Aina berubah dari membuat kerupuk, kini menjadi usaha kue tradisional Adee dengan merek Adee Kak Aina. “Adee ini adalah kue khas Aceh, beberapa tahun setelah tsunami kami di bantu oleh pemerintah Jepang melalui lembaga JICA, dan mendapat modal serta pendampingan untuk memulai usaha lagi,” katanya.

Tak jauh beda dari Salawati, Aina juga merasakan krisis usaha pada saat bencana covid masuk dan melanda aceh. “Tapi itu bukan seberapa, kami pernah hancur lebih parah saat gempa dan tsunami, jadi kami tetap bersemangat berusaha, dan kini perlahan usaha sudah mulai bangkit kembali,” kata Aina.

Penjabat Gubernur Aceh Safrizal ZA pada pembukaan Aceh International Forum peringatan 20 tahun pasca Tsunami Aceh 2024,  mengatakan pemerintah dan seluruh masyarakat menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada seluruh negara dan lembaga donor atas partisipasinya pada proses rekonstruksi di Bumi Serambi Mekah pascabencana gempa dan tsunami 2004 silam,” ujar Safrizal, Senin (23/12/2024).

Pj Gubernur mengungkapkan, kini dua dekade telah berlalu sejak peristiwa tragis tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Gempa bumi dan tsunami yang melanda pesisir Aceh telah merenggut lebih dari 230 ribu jiwa, menghancurkan rumah-rumah, infrastruktur, serta mengubah kehidupan masyarakat.

Bencana bukan hanya meninggalkan duka yang mendalam, tetapi juga mengajarkan banyak hal tentang kemanusiaan, solidaritas, dan kebersamaan. Dunia menyaksikan bagaimana Aceh yang luluh-lantak bangkit kembali dengan semangat kebersamaan yang luar biasa.

“Proses pemulihan Aceh dari 2005 hingga 2009 adalah bukti nyata bahwa dengan kebersamaan dan gotong royong, kita mampu bangkit dari keterpurukan. Rumah-rumah dibangun kembali, sekolah-sekolah berdiri kokoh, masjid-masjid dan fasilitas publik lainnya kembali difungsikan. Aceh hari ini adalah simbol ketahanan, kedamaian, dan harapan,” ucap Safrizal.

Tak ada yang mampu melupakan kisah bencana yang melanda Aceh 20 tahun lalu, tak juga Salawati atau Aina, yang menjadi penyintas dari bencana tersebut. Namun keduanya juga meyakini, kesempatan kedua yang kini mereka dapatkan harus dijalani dengan baik dengan terus memupuk semangat dan mewujudkan harapan yang sebelumnya sempat hilang. (Yan)

Sumber : Kompas.com

Share
Related Articles
BeritaHeadline

Aceh Masuk 10 Besar Provinsi dengan Deforestasi Tertinggi di 2024

Deforestasi di Indonesia meningkat 2 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Aceh...

BeritaHeadlineJurnalisme Data

Keruk Emas di Benteng Ekologi (3)

Peta angkasa menunjukkan, Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) merambah Kawasan Ekosistem Leuser...

Sebanyak 77 imigran etnis Rohingya menggunakan sebuah kapal motor kayu kembali diketahui terdampar di Pantai Leuge, Kecamatan Pereulak, Kabupaten Aceh Timur, Rabu (29/01/2025)
BeritaHeadlineNews

Imigran Etnis Rohingya Kembali Terdampar di Aceh Timur

Sebanyak 77 imigran etnis Rohingya menggunakan sebuah kapal motor kayu kembali diketahui...

Pertunjukkan Barongsai memeriahkan Tahun Baru Imlek 2025 di Banda Aceh.
BeritaHeadlineNews

Barongsai Imlek, Sedot Perhatian Warga Banda Aceh

Atraksi barongsai digelar dalam rangka memeriahkan tahun baru Imlek 2576 Kongzili di...