Dikota besar, mungkin nyaris tak ada beda suasana pasar pada bulan Ramadan atau bukan Ramadan. Para pedagang, khususnya pedagang makanan bisa berjualan dan melayani pembeli yang membutuhkan makanan dan minuman, tak peduli muslim atau non muslim.
Tapi suasana berbeda terasa kental di Propinsi Aceh. Saat Ramadan, tidak ada penjual makanan yang boleh berjualan ada pagi hari. Lapak dagangan makanan baru bisa dijalankan ada pukul 16.00 wib, sekaligus melayani takjil bagi warga yang berpuasa.
Cuma kondisi ini berbeda jika kita melangkahkan kaki di pasar tradisional Peunayong Banda Aceh, kawasan pecinan di Banda Aceh. Disini, kaum non muslim diperbolehkan menyediakan layanan sarapan pagi, tapi dengan aturan ketat, dan khusus bagi warga non muslim.
Aroma harum aneka masakan menyeruak sesekali, ketika kaki melangkah dilorong selasar pasar tradisional Peunayong Banda Aceh.
Beberapa lampion terlihat bergelantungan dibagian atas yang didominasi warna merah.
Masuk semakin kedalam suasana pagi yang riuh rendah terekam disana. Aktifitas mereka cuma satu jual beli kebutuhan sarapan pagi, seperti nasi plus lauk dan sayurnya, kopi dan teh serta aneka kue.
Cuma dilorong ini saja ada aktifitas sarapan pagi, selebihnya suasana pasar sepi, pasalnya ini adalah bulan ramadhan.
Kendati riuh rendah, tak semua pintu kedai terbuka lebar, hanya beberapa saja dengan pintu yang terbuka setengahnya.
Kawasan Peunayong Banda Aceh memang dikenal sebagai kawasan Pecinan terbesar di Banda Aceh, bahkan di Propinsi Aceh.
Toleransi antar warga begitu kental disini. Hal ini terbukti dengan tetap beroperasinya kedai yang dikelola oleh warga keturunan Tionghoa yang notabenenya non muslim,untuk menyediakan sarapan pagi bagi warga non muslim di bulan puasa ramadan.
Tapi jangan salah, kedai-kedai ini diizinkan dibuka dengan batasan waktu tertentu dan pengawasan yang ketat.
“Kedai boleh dibuka hanya dari pukul 5.00 pagi hingga pukul 9.00 wib, setelah itu mereka harus tutup dan baru bisa buka lagi pada malam hari setelah acara usai salat tarawih, jika ada yang melanggar maka akan dikenakan sanksi,” jelas Kho Kie Siong, Ketua Yayasan Hakka Aceh, perhimpunan masyarakat Tionghoa di Aceh, Selasa (4/4/2023)
Aktifitas kedai di pagi hari saat bulan ramadan di Peunayong ini sudah berlangsung lama, dan tak pernah menimbulkan kekisruhan.
“Kami hanya melayani pembeli yang non muslim saja, kalau ada yang muslim, langsung ditolak,” kata Aman, seorang penjual nasi sarapan pagi.
Bagi Aman, berjualan nasi di pagi ramadan merupakan berkah tersendiri. “Karena ditempat lain tidak ada, jadi banyak non muslim kesini, tapi tetap ikut aturan, jam 9 pagi, kami sudah tutup,” katanya.
Sebagai Ibukota Propinsi, yang merupakan daerah yang menerapkan syariat Islam, Banda Aceh memang menjadi etalase dan referensi bagi pendatang yang ingin berlibur, menikmati suasana Ramadan di Aceh.
” Toleransi bermasyarakat yang tinggi menjadi hal utama kenyamanan dan keamanan di Aceh,” ujar PJ Walikota Banda Aceh, Bakrie Siddik, usai menghadiri pembagian sembako Ramadhan bagi muslim duafa di Banda Aceh yang diselenggarakan oleh keluarga besar masyarakat Tionghoa di Banda Aceh, Senin (3/4/2023).
Aceh Meutalo Wareh, Gaseh Meugaseh, Bila Meubila, prinsip ini yang diusung Kota Banda Aceh, sebut Pj Walikota. ” Artinya Masyarakat Aceh itu bersaudara, saling mengasihi dan saling menjaga serta saling bela” ujar Bakri Siddik. (Yan)