Banda Aceh Belum Serius Terapkan Pendidikan Inklusi

Saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah bertaraf internasional, dengan gedung-gedung bagus, fasilitas lengkap bak hotel di Banda Aceh. Namun, sayangnya pemerintah belum serius menerapkan pendidikan inklusi.

Padahal pendidikan inklusi  dapat mewujudkan pendidikan yang menghargai keanekaragaman serta menghapus praktek diskriminatif dalam dunia pendidikan. Memberikan hak yang sama kepada semua orang tanpa ada membedakan karena faktor fisik maupun lainnya.

Konsep pendidikan inklusi dapat menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera untuk semua orang. Seperti tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 92 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif yang mendefinisikan sistem pendidikan yang sama pada semua pihak, terlepas dari kondisi fisik, mental maupun intelektualitas.

Berdasarkan jurnal yang dituliskan Muhammad Haekal dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry pada 2021, ada tiga tahapan dalam pendesainan pendidikan inklusi yang baik menurut Index for Inclusion. Yang pertama menciptakan budaya inklusi itu sendiri dan ini harus benar-benar dipahami dengan baik, dihormati dan diterapkan oleh staf, siswa, pemangku kebijakan serta orang tua atau pengasuh.

Dalam jurnal tersebut, dosen UIN Ar-Raniry ini menekankan kebijakan harus benar-benar berpihak pada pendidikan inklusif. Karena bila masih terdapat mindset, misalnya lulusan berkebutuhan khusus ditolak melamar pekerjaan hanya karena kondisi fisik, rencana tersebut sulit tercapai.

Oleh karena itu,  dengan  menerapkan  budaya  inklusi  sebagai  dasar  dari  pendidikan inklusi,  orang-orang  akan  memahami  makna, praktik,  dan  manfaat  dari inklusi bagi seluruh masyarakat sebelum mereka menjalankan kebijakan atau implementasi nyata dari sistem tersebut.

Tahap selanjutnya adalah  menghasilkan  kebijakan inklusi. Artinya, kebijakan  harus  diserap oleh  rencana  sekolah  dan juga  memotivasi  siswa dan staf untuk secara kolaboratif berpartisipasi dalam agenda pendidikan inklusi.

Pada tahap  ini,  para  pemangku  kebijakan  didorong  untuk  memenuhi  semua kebutuhan  siswa  berkebutuhan  khusus  dan  reguler,  serta  berupaya mengurangi  hambatan.  Staf,  orang  tua/wali,  dan  masyarakat  sebagai komunitas  yang  besar  juga  mesti  mendukung  rencana  tersebut  dengan langsung berkolaborasi dalam proses penerapan pendidikan inklusi.

Untuk  menghasilkan  kebijakan  yang  inklusi dilakukan  melalui tahapan:  Pertama,  mengembangkan  sekolah  untuk  semua  dengan mengelola enam indikator: 1) menerapkan metodologi dalam merekrut dan mempromosikan  staf  di  sekolah;  2)  membantu  semua  staf  baru  dalam memahami  nilai-nilai  sekolah inklusif;  3)  sekolah menerima dengan  tulus siswa dan beragam kondisinya; 4) mendirikan bangunan sekolah yang dapat diakses dengan mudah  oleh  setiap siswa; 5)  membantu  semua siswa  baru untuk  beradaptasi  di  sekolah  inklusif,  dan  6)  mengatur  kelompok pembelajaran  untuk  mendukung  setiap  siswa. 

Kedua,  mengorganisir dukungan  untuk  keragaman siswa  dengan  memerhatikan  delapan indikator: 1) mengkoordinasikan  semua jenis dukungan; 2) membantu staf untuk mendukung kebutuhan siswa; 3) kebijakan pendidikan luar biasa memiliki arti yang sama dengan kebijakan inklusi; 4) tata cara Pendidikan Luar Biasa diterapkan untuk meminimalkan hambatan belajar dan partisipasi di kalangan siswa; 5) menghubungkan kebijakan pembimbingan dan perilaku dengan pengembangan kurikulum dan kebijakan pendukung pembelajaran; 6) mengurangi tekanan eksklusif; 7) mengurangi hambatan dalam hal partisipasi atau kehadiran siswa; 8) meminimalisasi perundungan.

Tahap terakhir yang utama adalah mengembangkan praktik inklusif berdasarkan budaya dan kebijakannya. Hal ini membutuhkan partisipasi setiap masyarakat untuk memberikan dukungan belajar dan penyediaan ruang yang besar agar inklusif menjadi wujud dalam semua aspek kehidupan sosial.

Intervensi kebijakan dari pemerintah menjadi peran penting untuk mewujudkan pendidikan inklusif di suatu daerah. Dengan adanya kebijakan yang tegas dari pemerintah, semua wajib menjalankannya, sehingga semua warga negara mendapatkan hak-hak dasar untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun sayangnya, Kota Banda Aceh yang mendapatkan penghargaan kota ramah anak belum memiliki regulasi tentang pendidikan inklusif hingga sekarang. Padahal ini amanah Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Dr. Musriadi menyebutkan sudah saatnya sistem pendidikan di Banda Aceh bersifat inklusif tanpa membedakan kondisi dan keterbatasan peserta didik. Mereka juga punya hak yang sama dalam mengenyam pendidikan baik dari tingkat TK hingga perguruan tinggi.

November 2021 mantan Gubernur Aceh Nova Iriansyah mendukung program pendidikan inklusif yang diterapkan di beberapa sekolah yang ada di Aceh, salah satunya Banda Aceh. Kendati demikian, menurut Dr. Musriadi, pemerintah maupun dinas terkait masih kurang memenuhi pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

“Tanggung jawab pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini tidak dapat sembarangan diberikan kepada guru umum, untuk meneguhkan komitmen Kota Banda Aceh sebagai kota layak anak yang hakiki, maka perlu adanya regulasi yang menjamin pendidikan inklusif,” kata Dr. Musriadi kepada digdata.id.

Untuk menjamin terciptanya pendidikan inklusif, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) meminta Pemerintah Kota Banda Aceh maupun Pemerintah Aceh untuk segera melahirkan qanun khusus sebagai payung hukum pendidikan inklusif di sekolah negeri untuk mengakomodasi peserta didik yang berkebutuhan khusus.

“Kita mendorong lahirnya regulasi, apakah qanun Aceh atau Qanun Kab/Kota untuk mengatur secara komprehensif mengenai pendidikan inklusif,” pintanya.

Menurutnya, dengan adanya aturan khusus tersebut dapat menjamin peserta didik berkebutuhan khusus memiliki kesempatan dan hak yang sama, baik sebagai penyelenggara pendidikan, pendidik, tenaga kependidikan, maupun peserta didik.

Dalam penyelenggaraannya, tambah Musriadi, proses pembelajaran inklusif di sekolah membutuhkan penanganan serius dari pihak terkait, terutama orang tua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Ini bertujuan agar anak-anak yang berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah reguler dan dapat hidup seperti anak-anak kebanyakan lainnya.

Namun yang lebih penting adalah penyediaan guru pendamping khusus di sekolah-sekolah tersebut, dan fasilitas yang dapat membantu proses belajar mengajar bagi anak-anak istimewa tersebut. Seperti yang tertuang dalam peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.

Sekretaris Fraksi PAN DPRK Banda Aceh ini juga mendorong lahirnya qanun pendidikan inklusif yang memuat penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan baik. Selain itu mendorong Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Aceh melahirkan program studi pendidikan inklusi.

“Yang lebih penting adalah penyediaan guru pendamping khusus di sekolah-sekolah tersebut,” ungkap Musriadi.

Dia juga mendorong lahirnya qanun pendidikan inklusif yang memuat penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan baik. Hal tersebut juga dapat meningkatkan toleransi dan rasa memiliki di antara peserta didik serta merupakan sistem yang efektif untuk melawan praktik diskriminasi

Termasuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Aceh melahirkan program studi pendidikan inklusi. Karena pemerintah belum memberikan sosialisasi yang komprehensif mengenai pendidikan inklusif. 

Oleh karena itu, semua pihak, baik dari pemerintah, kepala sekolah, guru, orang tua, siswa, pemilik bisnis, dan semua anggota masyarakat mesti memahami inklusif dan peran mereka dalam gerakan ini.[acl]

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.