Budaya dan Kebiasaan Merokok, Masihkah Harus Tetap Mengakar di Aceh?

Oleh : Hanifah Hasnur, S.Pd., SKM., MKM. Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhamddiyah Aceh

Indonesia saat ini sedang bergulat dengan permasalahan penting mengenai tingginya prevalensi perokok anak dan remaja. Laporan menunjukkan bahwa 78% perokok di Indonesia mulai merokok sebelum usia 19 tahun, dan sekitar 8 dari 10 anak di bawah 15 tahun yang merokok telah berusaha untuk berhenti merokok namun tidak berhasil.

Normalisasi perilaku merokok, terutama ketika orang tua memperlihatkan “kebiasaan merokok” di depan anak, merupakan poin kritis yang memerlukan pemahaman luas.

Penting bagi kita semua untuk merenungkan dampak buruk dari kebiasaan merokok. Meskipun kebiasaan-kebiasaan ini sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, upaya bersama harus dilakukan untuk mempromosikan norma-norma budaya positif dan menghilangkan norma-norma budaya negatif.

Tentu saja, melakukan perubahan perilaku ini tidak semudah menekan tombol. Diperlukan upaya promosi kesehatan yang berkelanjutan untuk terus menekankan kebiasaan tidak baik ini.

Peniadaan “kultur dan kebiasaan buruk”

Kecanduan nikotin yang terkandung dalam satu batang rokok merupakan ancaman besar bagi kesejahteraan generasi muda kita. Data menunjukkan bahwa anak-anak yang orang tuanya merokok mempunyai risiko lebih tinggi untuk mulai merokok pada usia dini.

Upaya untuk mengatasi dampak buruk transfer kebiasaan dan kultur antargenerasi ini perlu dipikirkan. Sejalan dengan itu, normalisasi kebiasaan merokok di Indonesia berkontribusi signifikan dalam melanggengkan kebiasaan merokok ini di kalangan masyarakat, sehingga memerlukan pendekatan komprehensif untuk mengatasi sikap dan persepsi masyarakat dalam mengatasi kebiasaan merokok.

Maka, pentingnya membangun komunitas yang inklusif dan berpusat pada kesehatan untuk menghentikan kebiasaan buruk ini. Pendekatan ini memerlukan penciptaan lingkungan yang menawarkan ruang yang aman dan terpelihara bagi individu, akses terhadap informasi kesehatan yang komprehensif, keterampilan hidup, dan prospek pendidikan untuk memberdayakan mereka dalam membuat pilihan yang terinformasi dan sadar akan kesehatan.

Sangat penting untuk menyadari bahwa masyarakat kita hanya dapat mewujudkan potensi kesehatan mereka sepenuhnya ketika mereka didukung kondisi lingkungan yang optimal guna mengatasi berbagai faktor yang mempengaruhi kebiasaan buruk mereka secara keseluruhan.

Bagaimana dengan Kebiasan Merokok di Nanggroe Aceh Darussalam?

Kondisi Aceh saat ini sangat meresahkan, sebesar 27,9% remaja di atas usia sepuluh tahun di Aceh diketahui sudah merokok.  Hal ini menandakan adanya masalah sosial yang mengakar terkait kebiasaan merokok di kalangan remaja bahkan orang tua.

Kondisi ini menjadi semakin meresahakan, ketika menilik jumlah rata-rata mengkonsumsi rokok setiap hari sangat mengkhawatirkan, dan saat ini berada pada angka 19 batang per hari rata-rata, melebihi rata-rata nasional yang jumlahnya sebesar 12 batang per hari. Angka ini merupakan pengingat akan betapa seriusnya masalah rokok ini di Aceh.

Semoga ini dapat menjadi peringatan dan sebagai kenyataan pahit yang harus diterima oleh masyarakat Aceh. Tanpa upaya yang optimal dan saling bahu membahu mengatasi dan menghilangkan kebiasaan buruk ini, terdapat risiko bahwa jumlah ini akan semakin meningkat di Aceh, dan akan menyebabkan dampak yang lebih merugikan terhadap kesehatan masyarakat kita.

Menurut hemat penulis, penerapan aturan Syariat Islam di Aceh juga dapat mendukung penurunan prevalensi perokok di kalangan remaja dan anak-anak di Serambi Mekkah. Memahami dan menerapkan syariat Islam secara kaffah di Aceh penting dikaitkan dalam merancang intervensi yang menekankan kepada pendekatan shariah, hukum haram atau makruh  yang tidak hanya sekedar diketahui namun dimplementasikan guna memerangi kecanduan rokok dan menciptakan masa depan yang lebih sehat bagi remaja dan anak-anak Aceh, menjadi penting untuk dioptimalkan pelaksanaannya.

Kawasan Tanpa Rokok  (KTR) di Aceh

Pada survei komprehensif KTR yang dilakukan di Kota Banda Aceh tahun 2022 yang lalu, tim dari MTCC Unmuha menemukan keberadaan puntung rokok tidak hanya di tempat umum namun juga di area sensitif seperti sekolah dan Rumah Sakit. Penemuan ini menyoroti perlunya penerapan lebih intensif Kawasan Tanpa Rokok di Aceh. Penting untuk menyadari betapa tidak mudah untuk memaksimalkan kebijakan KTR ini.

keberadaan kebijakan hanya menjamin hasil yang optimal jika perilaku dan implementasinya efektif. Oleh karena itu, penetapan Kawasan Tanpa Rokok mungkin tidak menghilangkan prevalensi merokok di kalangan masyarakat Aceh, namun hal ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penurunan angka merokok. Selain itu, penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap anak-anak dan remaja yang masih mengembangkan perilaku serta menilai masa depan dan kesehatan mereka secara keseluruhan.

Tidak terlaksananya KTR ini tentu disebabkan oleh berbagai aspek, antara lain periklanan, pengaruh budaya, kebiasaan merokok, dan penerapan kebijakan KTR itu. Untuk mengatasi aspek-aspek ini memerlukan upaya bersama dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari lembaga pemerintah hingga lembaga pelaksana dan masyarakat luas.

Para pemuda ini mewakili masa depan Aceh dan akan memainkan peran penting dalam pembangunannya. Oleh karena itu, membangun lingkungan yang mendukung dan mendorong norma-norma budaya positif serta kebiasaan-kebiasaan yang melarang merokok dan mengutamakan kesehatan dan kesejahteraan sangatlah penting. *****

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.