Sejak medio Februari lalu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengendus ada praktek ilegal mengalir untuk ongkos politik para kontestan pemilu. Transaksi keuangan mencurigakan jelang Pemilu 2024 justru meningkat signifikan, bahkan angkanya naik 100 persen pada semester II-2023.
Transaksi mencurigakan menjelang Pemilu 2024 disinyalir bersumber, antara lain, dari kejahatan di bidang pertambangan, lingkungan hidup, dan judi.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan, pihaknya pun telah melaporkan hasil analisis terkait aliran dana gelap ini ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kejadiannya baik pada pemilihan level kepala daerah hingga calon legislatif.
“Kita menemukan ada beberapa indikasi ke situ, dan faktanya memang ada. Nah itu kita koordinasikan terus dengan teman-teman dari KPU, Bawaslu,” ucap Ivan saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Kendati begitu, Ivan enggan menyebutkan besaran dana yang mengalir dalam dua kali pemilu pada 2019 lalu dan 2024 mendatang. PPATK hanya menyebutkan nilainya dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) tersebut mencapai triliunan rupiah.
Dana yang mengalir pada pemilu tersebut tidak hanya dari tambang ilegal, tetapi juga berasal pencurian ikan ilegal, pembalakan liar dan sejumlah kejahatan lingkungan hidup lainnya. Dana tersebut kemudian diindikasikan mengalir kepada politikus secara personal.
”Jumlah agregatnya, kami enggak bisa sampaikan di sini. Pokoknya besar, ya. Hasil pidana asalnya saja triliunan, karena terkait dengan banyak tindak pidana, kan, terkait dengan sumber daya alam, lalu masuk ke orang-orang tertentu yang kami duga sebagai political as person itu, ya ada, banyak juga. Saya tidak bisa sebutkan,” tutur Ivan.
Meskipun PPATK menyebutkan dana TPPU itu mengalir kepada politikus secara personal. Ivan menyebutkan siapa saja yang menerima dana ilegal tersebut tidak bisa disebutkan secara gamblang saat ini. Hanya saja ia kembali menekankan, penelusurannya pencegahan tindak pidana pencucian uang dilakukan sudah dalam dua periode pemilu sebelumnya.
“Ya kita sudah ikutin dari sejak lama karena PPATK sudah sekitar 2 kali periode pemilu ini kita melakukan riset terus setiap pemilu dan kerja sama dengan KPU dan Bawaslu,” kata Ivan.
Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil, mengungkap selama ini aliran dana tambang ilegal di kampanye pemilu cenderung dibiarkan. Buktinya operasi tambang ilegal marak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Data Kementerian ESDM menyebutkan terdapat sekitar 2.700 lokasi tambang ilegal di Indonesia. Sekitar 2.600 di antaranya merupakan pertambangan mineral dan 96 sisanya pertambangan batubara.
Tambang ilegal ini tersebar di 28 provinsi, di antaranya Jawa Timur sebanyak 649 titik, Sumatera Selatan 562 titik, Jawa Barat 300 titik, Jambi 178 titik, Nusa Tenggara Timur 159 titik, Banten 148 titik, Kalimantan Barat 84 titik, Sulawesi Tengah 12 titik, dan Kalimantan Timur sebanyak 168 titik.
Keberadaan tambang ilegal juga terdapat di Aceh yang luasnya berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh hingga Agustus 2023 seluas 3.500 hektar. Ada terjadi disparitas angka dibandingkan data milik Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh sebesar 49,13 persen – yang hanya seluas 1.719,65 hektar.
Keberadaan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Aceh tersebar di tujuh kabupaten, yaitu di Nagan Raya, Aceh Barat, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Tengah, Aceh Besar dan Aceh Selatan.Semua daerah tersebut hingga sekarang masih beroperasi. Mirisnya hingga sekarang belum ada penegakan hukum yang tuntas.
“Maraknya operasi tambang ilegal, hingga dugaan mengalir ke partai politik dan kontestan Pemilu 2024 sesungguhnya disebabkan oleh absennya penegakan hukum,” ujar Jamil. Penegakan hukum yang berjalan di tempat itu dipicu oleh tindakan aparat penegak hukum yang justru menjadi salah satu pemain penting di balik tambang ilegal.
Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menyebutkan Pasal 339 UU No 7 tahun 2017 Tentang Pemilu melarang partai politik menerima dana hasil tindak pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Frasa ‘kekuatan hukum tetap’ ini berarti penindakan Pasal 339 UU Pemilu membutuhkan proses penindakan pidana.
“Temuan PPATK ini clear sekali bagi penegak hukum. Tinggal bawa ke pengadilan dan lakukan dengan cepat karena perkara TPPU itu terdakwa yang harus membuktikan dan tak perlu mencari tindak pidana asal,” ucap dia.
Makanya tindak lanjut penegak hukum, baik KPK, polisi, maupun jaksa, sangat penting untuk mencegat dugaan tindak pidana pencucian uang dalam pemilu, termasuk dari hasil tambang ilegal. Kecepatan penindakan akan menjadi bekal KPU dan Bawaslu menindaklanjuti Pasal 339 UU Pemilu.