Asal Linge Awal Serule, sebuah pepatah yang sudah sangat lama melekat dalam diri orang Gayo. Ungkapan tersebut diyakini sebagai asal usulnya orang Gayo yang berasal dari Linge dan berawal dari Serule dan hal tersebut diyakini oleh masyarakat Gayo pada umumnya, bahwa mereka berasal dari Linge, nyakni kerajaan tertua yang berada di dataran tinggi Aceh.
Kalimat itu tertulis jelas di baliho yang menjadi latar panggung utama Festival Linge dan baju para panitia hajatan rakyat Linge tersebut. Festival yang mengusung tema Asal Linge Awal Serule tersebut di pusatkan di di objek Museum Umah Pintu Ruang yang menjadi salah satu bukti peninggalan masa Kerajaan Linge yang terletak di Kampung Linge, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah dan pertama sekali diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat dari beberapa desa yang ada di kecamatan Linge
Festival ini berlangsung selama tiga hari dari 13 Juli hingga 16 Juli 2024 yang dihadiri oleh PJ Bupati Aceh Tengah dan dibuka dengan penampilan tari Guel, yang merupakan salah satu tradisi budaya Gayo ketika menyambut tamu.

Kegiatan ini bertujuan untuk mengenang, merayakan, dan melestarikan budaya serta kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat Linge. Linge memiliki makna sejarah yang berakar dari Kerajaan Linge yang memainkan peran penting dalam sejarah masyarakat Aceh dan Gayo. Kerajaan ini diperkirakan berdiri sekitar abad ke-11.
Kampung Linge terletak di Kecamatan Linge dengan jarak tempu 70 kilometer atau setara dengan waktu tempuh tiga jam dari Ibukota Aceh Tengah, Takengon. Kampung yang dihuni kurang lebih 380 penduduk ini berada di jajaran pegunungan bukit barisan, sehingga membuatnya terisolir dan cukup sulit untuk diakses.
Abdussalam (65) Petua (Tokoh masyarakat) Desa Linge pagi itu, tampak sedang bersiap-siap menuju kerumah pitu ruang untuk menghadiri parhelatan masyarakat linge. Ia memakai kemeja hitam dengan motif Kerawang Gayo “Hari ini saya sudah seperti seorang Bupati kan? Nanti saya yang akan buka acaranya” Gurau Abdussalam dengan wajah sumringah ketika hendak keluar dari rumahnya.

Tak seperti biasanya, pada hari itu Linge tampak ramai didatangi oleh wisatawan hingga pejabat pemerintahan. Mereka antusias beramai-ramai datang ke Umah Pitu Ruang, komplek rumah adat Gayo untuk memeriahkan Festival Nenggeri Linge yang perdana digelar di kampung bersejarah itu.
Festival kebudayaan Linge digelar sebagai bentuk semangat masyarakat dalam mempertahankan eksistensi budaya dan kekayaan alam yang ada di Linge, berbagai hasil bumi dan hasil olahan dari hasil hutan bukan kayu di Kawasan Ekosistem Lauser dipamerkan di acara tersebut.
Sebagai Petue (Tokoh masyarakat) Linge, Abdussalam berharap acara kebudayaan itu dapat mempromosikan kebudayaan dan kekayaan alam Linge lebih luas.
“Di Linge masih banyak warisan budaya yang masih kami pertahakan” ujarnya saat mengisi rangkaian acara festival.
Penjabat (Pj) Bupati Aceh Tengah, T. Mirzuan yang turut hadir membuka acara mengatakan Festival Nenggeri Linge menjadi momen penting untuk merayakan dan melestarikan budaya dan kekayaan alam Linge. Sehingga dirinya berharap, masyarakat mempertahankan warisan budaya Linge agar tidak hilang karena perkembangan zaman.
“Karena Linge adalah cikal-bakal orang Gayo, oleh sebab itu harus kita lestarikan,” kata Zainuddin.
Meski berada jauh dari pusat kota Aceh Tengah, dan berada didataran tinggi Gayo yang di apit oleh pegunungan dan perbukitan, tanah Linge begitu kaya akan sumber daya alamnya, mulai dari Kapulaga, kemiri, lada, cengkeh dan Serai yang merupakan kekayaan rempah-rempah yang begitu melimpah dimiliki masyarakat Linge.
Hutan lebat dan sungai yang mengaliri persawahan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat Linge memiliki hukum adat yang mengatur kehidupan mereka di sana. Hukuman akan diberikan bagi mereka yang melanggar.
“Aturan adat ada, kalau masyarakat melanggar maka harus siap menerima sanksi adat, dan hukum adatnya tidak hanya mengatur asyarakat sajaa tetapi juga tentang hutan.”cerita Abdullah (65) selaku tokoh masyaraakat Linge atau Petue.
Untuk pengamanan hutan di bentuk Penghulu Huteun (Panglima Hutan), bagian ternak Penghulu Wer, bagian sungai dan ikan ada Penghulu Sungai.
Kalau masyarakat mau buka lahan baru di kawasan hutan, maka harus menanyakan ke Penghulu Huteun. Nantinya Penghulu Huteun akan menentukan apakah hutan tersebut bisa dibuka untuk lahan pertanian dengan berbagai macam pertimbangan. Apabila tidak bisa, kata Abdulsalam, maka Penghulu Huteun langsung melarang area tersebut untuk dibuka.
“Kalau tidak mau dilarang, maka orang itu harus pindah dari desa karena tidak mau mengikuti aturan yang dibuat oleh masyarakat,”Tutup Abdussalam.
Dalam Festival Linge ini juga menampilkan kkembali permainan masyarakat yang sudah mulai di tinggalkan, seperti permainan menangkap batu bagi anak-anak perempuan, menangkap ikan di sungai bagi anak laki-laki dan juga ada perlombaan didong yang di ikuti perwakilan desa di kecamatan Linge dan Aceh Tengah.
Masyarakat Linge juga berkomitmen menjaga kelestarian alam dan lingkungan Linge dari segala bentuk pengrusakan yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat termasuk menolak tambang emas yang menyasar Linge. Ditambah lagi, mereka berkomitmen mengelola hutan desa secara adil dan berkelanjutan. (Fitri)