Mungkin bagi generasi muda Aceh yang lahir diatas 2005, tidak akan bisa membayangkan bagaimana sulit dan menyedihkannya hidup dimasa konflik. Tidak akan pernah merasakan todongan moncong senjata atau dibariskan di jalanan saat razia pasukan keamanan. Yang ada hanya lampu-lampu semarak di cafe-cafe yang dipenuhi penikmat kopi mulai dari pagi hingga malam.
15 Agustus, 17 tahun yang lalu, ribuan masyarakat Aceh tumpah ruah memenuhi halaman mesjid Baiturrahman. Di bawah tenda yang didirikan dihalaman mesjid, puluhan televisi berukuran besar di letakkan di hadapan masyarakat yang duduk bersimpuh sambil mengikuti proses penandatangana damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Republik Indonesia.
Di belahan bumi lain, di Helsinki, Finlandia, para perwakilan GAM dan RI berhadap-hadapan disaksikan oleh pimpinan Henry Dunant Centre, Martti Oiva Kalevi Ahtisaari yang menjadi fasilitator pertemuan-pertemuan dan negosiasi antara pemerintah RI dan GAM, serta mediator yang membantu pemerintah RI dan GAM mencari solusi-solusi penyelesaian konflik di Aceh.
Bersamaan dengan penandatanganan nota kesepahaman bersama di Finlandia, ribuan orang yang sedang menyaksikan melalui televisi bersorak-sorak sambil berpelukan. Bahkan tak sedikit yang meneteskan air mata. Wajah-wajah ceria dan seperti kehilangan beban konflik yang selama ini menekan pundak mereka.
Perjalanan konflik yang penuh dengan darah dan air mata seolah-olah terlupakan sejenak dalam euforia damai yang ditanda tangani bersama oleh kedua belah pihak. Tak ada kata yang menyangkal bahwa moment tersebut merupakan titik awal hidup baru bagi masyarakat Aceh yang sudah lelah dengan bau darah dan trauma konflik bersenjata selama 31 tahun lebih, semenjak Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1974.
Konflik di Aceh merupakan salah satu konflik yang paling lama dan paling buruk terjadi dalam sejarah Indonesia. Konflik yang dipicu oleh masalah ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah, identitas yang menyangkut dengan struktural, politik, ekonomi/sosial dan budaya.
Perdamaian tahun 2005 dicapai setelah banyak proses dan usaha-usaha perdamaian antara dua belah pihak yang beberapa diantaranya mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan yang dibungkus dengan tidak adanya rasa percaya antara pihak yang bertikai. Tercatat ada usaha perdamaian dengan nama “Jeda Kemanusian” tahun 2000. Namun usaha ini mengalami jalan buntu.
Usaha damai selanjutnya dikenal dengan “Cessation of Hostilities Agreement” (COHA) (“Kesepakatan Penghentian Permusuhan”) yang hanya berlangsung tak lama. Komite Keamanan Gabungan (JSC) didirikan di bawah COHA untuk mengawasi pelaksanaannya proses perdamaian.
Namun COHA berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia menyatakan “darurat militer” di Aceh dan meluncurkan operasi militer secara besar-besaran untuk menghancurkan GAM selamanya. Saat itu semua negosiator GAM ditangkap dan diadili karena dianggap melawan pemerintah sah RI. Perang terbuka terjadi di wilayah-wilayah pedesaan mengakibatkan ribuan warga harus mengungsi.
Darurat militer yang diluncurkan menimbulkan korban jiwa, trauma dan kekacauan hampir disemua sendi dan sektor kehidupan masyarakat. Mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, politik, sosial/budaya dan krisis kemanusian yang demikian terasa.
Namun, Tsunami 2004 yang meluluh lantakkan Aceh menjadi titik awal tercapainya perdamaian Aceh. Bencana yang menjadi pusat kesedihan yang maha dasyat sekaligus menjadi anugerah yang mendatangkan damai Aceh. Entah harus marah atau bersyukur atas bencana yang telah terjadi. Yang pasti, tsunami menjadi alasan utama perdamaian Aceh yang bisa dinikmati saat ini.
Ibarat usia seorang anak manusia, 17 tahun adalah usia memasuki masa akil baligh, dari usia remaja menuju dewasa. Masa pertumbuhan yang harus terus dipenuhi dengan perubahan-perubahan yang akan membentuk kedewasaan yang sempurna. Selama 17 tahun perjalanan damai Aceh, begitu banyak perubahan yang terjadi. Perubahan yang bersifat positif maupun perubahan bersifat negatif.
Mungkin bagi generasi muda Aceh yang lahir diatas 2005, trauma masa konflik tidak akan pernah singgah dalam fikiran. Mereka tidak akan bisa membayangkan bagaimana sulit dan meyedihkannya hidup dimasa konflik. Tidak akan pernah merasakan todongan moncong senjata atau dibariskan di jalanan saat razia pasukan keamanan. Yang ada hanya lampu-lampu semarak di cafe-cafe yang dipenuhi penikmat kopi mulai dari pagi hingga malam.
Jasa para syuhada seakan tenggelam ditengah hirup-pikuk diskusi, aroma kopi dan asap rokok yang menguap hilang terbawa hembusan angin. Ditinggalkan dan dilupakan oleh generasi penerus yang seharusnya menjadi masa depan Aceh yang digadang-gadang sebagai “Bansa Teulebeh Ateuh Rhung Donya”
Namun apakah mereka sepenuhnya salah? Belum tentu. Generasi muda yang ada saat ini adalah gambaran nyata dari pendahulu-pendahulu mereka yang abai terhadap situasi dan kondisi yang terkesan stagnan. Hampir 3 periode penggantian kepala pemerintahan lokal, yang juga dipegang oleh orang lokal yang “asoe lhok”, ternyata tidak menjamin Aceh lebih baik dan bisa mengejar ketinggalan selama 31 tahun buah konflik.
Semua sibuk memikirkan kelompok masing-masing tanpa mau berfikir ke mana Aceh ini akan dibawa setelah 17 tahun damai. Terlena dengan dana otsus yang sebentar lagi habis. Tidak ada exit strategi terkait perkembangan Aceh dimasa hadapan. Agar bisa berdiri dan sejajar dengan provinsi lain yang bukan “bansa teulebeh”
Kemungkinan sejarah akan mencatat bahwa sejarah konflik Aceh yang berdarah-darah tidak menjadi pelajaran sejarah bagi generasi muda. Kemungkinan hanya sebagai cerita dongeng atau legenda yang disampirkan dalam lirik-lirik lagu pengantar tidur bayi-bayi yang baru lahir. Begitulah seterusnya sampai nanti cerita itu hilang ditelan hembusan angin barat dari lautan hindia.
Catatan ini ditulis sebagai refleksi 17 tahun perdamaian Aceh dilengkapi dengan foto-foto yang menggambarkan konflik Aceh dari sudut pandang jurnalis penyitas konflik.
Foto dan Teks: Hotli Simanjuntak/digdata.ID



























