Indonesia mengalami kekurangan 30 ribu lebih dokter spesialis, berdasar perhitungan target rasio 0,28 : 1.000. Mirisnya, untuk menambah jumlah tersebut membutuhkan waktu 10 tahun lebih.
Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI, drg Arianti Anaya, MKM menyebutkan, untuk meningkatkan jumlah dokter spesialis di Indonesia membutuhkan waktu 10 tahun lebih.
Pemenuhan ini, sebutnya lagi dengan asumsi jumlah penyelenggara prodi dokter spesialis sebanyak 21 dari 92 fakultas kedokteran dengan menghasilkan lulusan spesialis sekitar 2.700 tiap tahun.
Persoalan lain yang sedang dihadapi Indonesia, sebutnya, sebaran dokter spesialis pun belum merata, karena 59 persen masih berada di Pulau Jawa.
“Sementara wilayah Indonesia bagian timur jumlah dokter spesialis masih terbatas,” drg Arianti Anaya
pada Webinar Urgensi Pendidikan Terintegrasi untuk Pemerataan Pelayanan Kesehatan yang diselenggarakan PKMK-FKKMK UGM, Sabtu (8/4/2023).
Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpF(K)., SH., LLM dari Fakultas Kedokteran UI menilai sulitnya seleksi dan proses Program Pendidikan Dokter Spesialis juga menjadi hambatan bagi dokter yang ingin meneruskan pendidikannya.
“Negara harus bisa melihat pentingnya dokter spesialis saat ini bagi masyarakat. Sama halnya dengan produksi tenaga militer, perlu ada penanganan berbeda dibandingkan pendidikan lain karena ini terkait langsung dengan keselamatan masyarakat dan bangsa,” tutur Herkutanto.
Dr. dr. Setyo Widi Nugroho, Sp. BS (K), Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), mengatakan untuk bisa mendorong produksi tenaga medis bukan perkara mudah. Karena bagaimanapun terdapat proses panjang untuk menghasilkan tenaga medis yang berkualitas. Adanya peningkatan produksi, tentu tidak mengesampingkan aspek kredibilitas.
“Kami terinspirasi dari Health Education of England (HEE), bahwa untuk melakukan suatu produksi, kita harus meyakinkan bahwa jumlah tenaga kerja harus tepat jumlahnya, tepat keterampilannya, dan memberikan pelayanan yang baik, serta mampu beradaptasi dengan teknologi,” ungkap Setyo Widi.
Berdasarkan masalah tersebut maka dalam pandangan , Prof. Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K), representasi Pokjanas Academic Health System, maka Rancangan Undang-Undang Omnibus Law perlu dipertimbangkan kembali dampaknya terkait penyelesaian problematika yang ada.
Oleh karena itu, dalam policy brief yang dirancang, terdapat Academic Health System yang berperan penting mendorong produksi tenaga kesehatan.
“Kami berharap, fakultas kedokteran yang terjalin dalam AHS dapat membantu fakultas kedokteran lain yang belum memiliki spesialisasi tertentu karena berbagai keterbatasan. Dengan begitu, kami harap produksi tenaga kerja, khususnya dokter spesialis ini dapat meningkat,” tutur Prof. Ratna.[acl]