Aroma gulai kari mudah ditemui di Kota Banda Aceh, utamanya di kedai-kedai yang menjual kari daging sapi dan kambing. Harum yang menggugah selera ini tak lepas dari biji rempah yang satu ini, yakni kapulaga.
Hampir semua gulai Aceh yang berbahan daging ayam, daging itik, daging sapi dan daging kambing, menggunakan biji rempah ini.
Kapulaga merupakan jenis rempah yang dihasilkan dari biji beberapa tanaman dari genera Elettaria dan Amomum dalam keluarga Zingiberaceae (keluarga jahe jahean).
Kedua genera ini adalah tanaman asli Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Nepal dan Pakistan.
Selain untuk masakan, tanaman ini juga sering menjadi campuran jamu atau obat obatan herbal tradisional. Tak heran jika rempah dengan bentuk lonjong dan berbentuk bintang ini memiliki nilai ekonomis tinggi dan diburu banyak pedagang rempah.
Di Aceh, Kapulaga (Amomum compactum) merupakan komuditi pertanian yang tersentra di Kecamatan Linge Aceh tengah. Dari 26 desa yang ada di kecamatan Linge, beberapa desa membudidayakan tanaman rempah ini.
Budidaya kapulaga di Kecamatan Linge ini sudah dimulai sejak 15 Tahun lalu. Dan menjadi pendongkrak perekonomian warga Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah.
Harga kapulaga cukup menggiurkan dan fluktuasinya dikisaran Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu/kilogramnya. Bahkan pada masa pandemi covid -19 ( 2018 – 2021) harga kapulaga mencapai Rp 300 ribu / perkilo.
“Warga Linge sudah mengembangkan tanaman jenis rempah-rempah ini sejak 15 tahun yang lalu, harga jualnya dulu sangat tinggi dan sekarang memang merosot” kata Abdul Salam petani Kapulaga desa Linge.
Untuk Desa Linge, Kecamatan Linge sendiri, budidaya kapulaga baru dua tahun terakhir ini dibudidayakan oleh warga.
” Pada masa pandemi harga kapulaga sangat tinggi mencapai Rp 300 ribu/kg, tapi sekarang harga jual jauh merosot, harga jual ke kota Takengon mencapai Rp 70 ribu/ kg. Sedangkan harga jual ke pengepul hanya Rp 30.000 – Rp 35.000 perkilogramnya jelas Abdul Salam.
Abdul Salam menceritakan, bagaimana awalnya tanaman Kapulaga Jawa masuk ke Linge dan dianggap asing oleh warga.
Waktu itu hanya beberapa kepala keluarga (KK) saja yang mau menanamnya. Lambat-laun melihat perawatan kapulaga yang mudah dan harga yang cukup menggiurkan, membuat hampir seluruh warga menanamnya.
Selain Abdul Salam, Dewi, seorang ibu rumah tangga yang juga petani di desa Linge, mengatakan, tanaman yang dipilihnya adalah Kapulaga Jawa bentuknya bulat berwarna merah, bukan Kapulaga India yang berbentuk agak lonjong dan berwarna lebih pucat.
“Sekarang hampir semua warga Linge menanam kapulaga di kebun dan perkarangan rumah. Ekonomi warga sangat terbantu dengan adanya kapulaga ini, karena setahun bisa panen 3 kali dan perawatanya gampang tanpa perlu dipupuk dan jarang diserang hama”, ujar ibu rumah tangga yang juga istri sekdes desa Linge Kecamatan Linge, Aceh Tengah.
Lambat-laun melihat perawatan kapulaga yang mudah dan harga yang cukup menggiurkan, membuat hampir seluruh warga menanamnya, karena hasil yang mudah didapat dan perawatan yang juga murah.
Semoga aroma kapulaga ini bisa terus meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian warga Desa Linge. (Yan)