Kearifan Lokal Kunci Harmonis Interaksi Manusia dengan Satwa Liar

Interaksi negatif antara manusia dengan satwa liar sering menjadi problem tersendiri bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Salah satu kabupaten di Aceh yang kasus interaksi negatif antara satwa liar dan manusia tergolong tinggi adalah Kabupaten Aceh Selatan.

Keluhan masyarakat di daerah yang sebagian wilayahnya masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser ini adalah munculnya harimau dan memangsa ternak warga seperti lembu atau kambing.

Kondisi tersebut membuat warga Gampong Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan berinisiatif membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat Rimueng Aulia, sebagai upaya meminimalisir interaksi negatif dengan satwa liar.

Ketua KSM Rimeung Aulia, Masrita, menjelaskan, inisiatif membentuk kelompok swadaya masyarakat ini muncul setelah salah satu warga Panton Luas dimangsa harimau pada tahun 2010 silam. Setelah dibentuk sejak 2016, KSM ini pun resmi berbadan hukum sejak 2019.

ketua KSM Rimueng Aulia Masrita sedang menceritakan asalmula terbentuk KSM kepada tamu yang berkunjung ke kampung Panton Luas

Masrita menjelaskan, berdasarkan analisis yang mereka lakukan, salah satu yang memicu terjadinya interaksi negatif dengan satwa liar karena adanya tradisi atau kearifan lokal yang mulai lekang dari masyarakat. Ada pantangan-pantangan tertentu yang mulai tidak dilakukan lagi ketika mereka masuk ke dalam hutan.

“Dulu kami di sini hidup berdampingan dengan satwa liar, khususnya harimau. Dalam artian, tidak pernah terjadi gangguan, harimaunya sendiri, masyarakatnya sendiri. Harimaunya pun tidak pernah turun ke perkampungan,” kata Masrita, saat menerima sejumlah jurnalis di Sekretariat Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar KSM Rimueng Mulia di Gampong Panton Luas, Tapaktuan, Jumat sore, 8 Desember 2023.

Kini masyarakat setempat mulai menghidupkan kembali kearifan lokal tersebut setelah memahami bahwa nilai-nilai kearifan yang tercerabut ternyata berdampak besar terhadap keberlangsungan hidup mereka. Di antaranya dengan mengaktifkan kembali tradisi tolak bala yang rutin dilakukan setiap tahun pada hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam penanggalan Islam.

Saat tolak bala berlangsung, biasanya masyarakat akan melakukan “kenduri” terhadap si Raja Hutan dengan memberikan makanan tertentu disertai dengan doa-doa dan harapan supaya mereka tidak mengganggu manusia.

“Selain di bulan Safar terkadang kita lakukan juga menjelang Lebaran,” katanya.

Adapun pantangan-pantangan yang tak boleh dilakukan saat pergi ke hutan misalnya pergi sendirian dan tidak boleh memiliki niat buruk. Yang lainnya, dilarang meletakkan pakaian yang berkeringat di tanggul kayu. Karena ketika baju tersebut ditiup oleh angin akan menerbangkan bau keringat dan tampak seperti mangsa.(Yan)

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.