Matahari belum tinggi. Setumpuk rotan terlihat nyaris menggunung di halaman rumah tipe 36 yang berada di Gampong (desa) Lamgaboh, Lhoknga, Aceh Besar. Rumah-rumah di sini, sebagian besar memang sama, mulai dari warna hingga bentuk.
Pasalnya ini adalah rumah bantuan yang dibangun negara-negara donor bagi korban selamat dari tragedi tsunami Aceh, 2004 lalu.
Sari Purnama (50) si penghuni rumah, terlihat memilah dan memilih rotan-rotan yang baru saja tiba di rumahnya. “Rotannya masih basah, ini rotan lokal dari hutan di sekitar gunung di Lhoknga dan Leupung, jadi harus dijemur dulu agar kering dan kulitnya bisa dikupas,” kata Sari saat ditemui Kompas.com di tempat kerjanya, 15/5/2024 lalu.
Kadang, Sari juga membeli bahan baku rotan dari Sumatera Utara. “Harganya lebih mahal, 50.000 perkilogram tapi sudah kering dan sudah dikupas,” beber dia.
Sudah lebih dari 12 tahun Sari menjadi pengrajin anyaman rotan di Gampong Lamgaboh, sejak ia menikah dengan suaminya Azwar. Ia belajar menganyam dari keluarga Azwar, terutama ibu mertuanya. Sementara Sari sendiri berasal dari Kabupaten Aceh Singkil, yang tak pernah sama sekali mengenal rotan.
“Kebanyakan keluarga di sini bekerja sebagai penganyam rotan dan menjual hasil produksi mereka sendiri di kedai-kedai di pinggir jalan, ada yang menyewa kedai ada juga yang punya sendiri,” ucap dia.
Setelah menjemur rotan, Sari melanjutkan menganyam piring rotan. Saat itu, Sari harus menyelesaikan 40 unit piring rotan pesanan pengusaha kuliner ayam penyet di Kabupaten Nagan Raya. “Alhamdulillah ada orderan, ” senyum Sari mengembang.
Bagi Sari, hasil dari menganyam rotan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, apalagi di zaman serba sulit seperti ini. Jika hanya mengandalkan pendapatan suami yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan membikin taman, pastilah tidak mencukupi.
Azwar (50) sang suami sehari-hari hanya bekerja sebagai buruh bangunan yang khusus membangun taman rumah atau kantor. Jika ada orderan, barulah ada kerjaan.
Ada banyak bentuk kerajinan anyaman rotan yang sudah dibuat Sari, seperti tudung saji, tatakan makanan, sange, keranjang baju, caping, serta aneka produk kerajinan rotan lainnya.
Rotan yang lazim digunakan adalah rotan Slimit (Calamaos Melanoloma Mart) yang banyak ditemukan di kawasan pegunungan Aceh Besar dan biasa dibeli Rp 15.000-16.000 perkilogram.
Dalam sehari, Sari mampu menganyam belasan tatakan maupun keranjang kecil. Sedangkan tudung saji dan bentuk furnitur berukuran besar membutuhkan waktu hingga satu bulan pengerjaan karena dilakukan manual. Hasil kerajinan rotan dijual dari Rp 10.000 hingga Rp 500.000, tergantung jenis dan ukuran anyaman rotan.
Selain Sari, ada juga Ferdiyanti (53). Ia juga mengandalkan pendapatan keluarga dari menganyam rotan. Bahkan ia sudah berkecimpung lebih awal dibanding Sari. Sebelumnya Yanti pernah menjadi sopir angkutan umum rute Lhoknga-Pasar Aceh, untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Gampong Lamgaboh, yang berada di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, lokasinya tidaklah terlalu jauh dari pusat Kota Banda Aceh. Hanya berjarak kurang dari 12 kilometer.
Geuchik (Kepala Desa) Lamgaboh, Mahdan Syamsuddin mengatakan, usaha kerajinan rotan ini sudah dilakoni warga seja 1970. Apalagi bahan baku rotan tersedia di hutan sekitar desa. Namun seiring berjalannya waktu, hutan sekitar Lhoknga, kian tergerus menjadi permukiman.
“Sekarang bahan baku diperoleh dari hutan di kecamatan tetangga yakni Kecamatan Leupung dan Lhoong, ada warga yang sehari-hari mencari rotan dan kemudian menjualnya kepada pengrajin, ” jelas Keuchik Mahdan.
Sayangnya, potensi rotan saat ini semakin menipis. Penyebabnya banyak lahan hutan yang dialihfungsikan menjadi kebun. Dari catatan desa, sebanyak 30 persen dari 773 jiwa warga Gampong Lamgaboh berprofesi sebagai pengrajin anyaman rotan dan didominasi oleh perempuan. “Usaha yang mereka lakoni semua berdasarkan modal mandiri, belum ada pendampingan permodalan secara khusus,” ungkap Keuchik Mahdan.
Sebenarnya, sebut Mahdan, pemerintahan desa memiliki kesepakatan dengan 3 desa sekitar untuk mengelola usaha rotan warga pada Badan Usaha Milik desa (Bumdes). Namun upaya pengelolaan ini belum berjalan, bahkan tidak berjalan. Alasannya karena banyaknya kesepakatan yang tidak disepakati bersama, sehingga masing-masing warga menjalankan sendiri usaha mereka.
“Kalau dari pemerintah kabupaten atau pihak swasta sering memberi pelatihan-pelatihan saja kepada mereka, atau menyarankan mengajukan peminjaman modal ke perbankan,” kata Mahdan.
Untuk menarik pelanggan, perajin rotan juga mulai menciptakan inovasi produk rotan yang kini merambah ke hiasan dan dekorasi rumah tangga, bahkan cafe dan kantor. Seperti mebel hiasan dinding, cermin, vas bunga, penutup lampu, tas, serta aksesoris lain yang bisa mempercantik dekorasi rumah yang ramah lingkungan.
Di tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat, kerajinan tangan tradisional ini masih memiliki tempat khusus dalam dunia desain interior. (Yan)
Sumber : Kompas.com