Home Berita Mualem Tolong Kami, Tanah Kami Diserobot
BeritaHeadline

Mualem Tolong Kami, Tanah Kami Diserobot

Share
Exif_JPEG_420
Share

“Mualem tolong kami, tanah kami diserobot sama PT DPL” teriak puluhan warga sembari mengacungkan dua jari usai memasang spanduk lahan yang dikuasai perusahaan sawit PT Dua Perkasa (PT DPL) sedang dalam sengketa. Warga berharap kepada Mualem, sapaan akrap Calon Gubernur (Cagub) nomor urut 2 yang mendapatkan suara terbanyak sementara, agar membantu menyelesaikan sengketa lahan tersebut.

Dengan menggunakan sepeda motor dan dua mibil pick-up, puluhan warga masuk ke lahan yang sedang bersengketa hukum itu untuk memasang spanduk pada Sabtu, 30 November 2024. Spanduk hanya dipasang pada titik-titik lahan milik warga sebanyak 10 spanduk pada 10 titik.

Alasan warga memasang spanduk tersebut, karena lahan itu dalam sengketa berdasarkan gugatan yang dilayangkan pada Jumat 22 November 2024 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh dengan nomor perkara No.45/G/2024/PTUN.BNA. Gugatan ini didaftarkan bersama Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) dan MRM & Associates Law Firm selaku kuasa hukum.

Seorang warga sedang istirahat dan makan siang setelah memasang spanduk di lahan sengketa antara warga dengan PT DPL, Sabtu 30 November 2024.

Koordinator Warga, Rusli Ali alias Yahwa mengatakan, gugatan ini dilakukan sebagai langkah untuk mendapatkan keadilan agar mendapatkan kembali hak tanah mereka yang diduga diambil dan dikuasai oleh PT DPL.

Adapun bunyi spanduk tersebut “Lahan Ini dalam Sengketa Hukum Nomor Perkara 45/G/2024/PTUN.BNA.  Masyarakat Bersama Forbina Menggugat Gubernur Aceh Atas Izin Usaha Perkebunan No.P2TSP.525/4828/2007 PT Dua Perkasa Lestari:.

Yahwa menjelaskan, warga sudah berjuang untuk mendapatkan hak atas tanah milik mereka sudah berlangsung sejak 2012 lalu. Namun sudah 12 tahun lebih belum membuahkan hasil. Lahan yang seharusnya milik mereka tidak dapat dikuasai untuk digarap. Padahal lahan tersebut sudah dikuasai oleh warga sejak sebelum perusahaan sawit tersebut mendapatkan izin HGU.

Puluhan warga foto bersama setelah memasang spanduk tentang sengketa lahan di PT DPL, Sabtu 30 November 2024.

Warga cukup menaruh harapan – keterpilihan eks panglima Gerakan Aceh Mereka (GAM) menjadi Gubernur Aceh (suara terbanyak sementara) – bisa mempercepat proses untuk mendapatkan hak atas tanah mereka. Warga hanya menuntut lahannya dikembalikan yang sekarang masih dikuasai oleh PT DPL melalui perizinan Hak Guna Usaha (HGU).

Warga yang tergabung dalam 28 kelompok tersebut dengan jumlah sekitar 250 orang lebih berharap, Mualem yang mendapatkan suara terbanyak sementara agar tutun tangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Tak hanya itu, mereka juga meminta kepada Calon Bupati (Cabup) Abdya, Safaruddin yang juga mendapat suara terbanyak agar setelah dilantik nantinya memprioritaskan menyelesaikan sengketa lahan tersebut.

“Kami meminta kepada Mualem (sapaan akrap Muzakir Manaf) dan Safaruddin agar membantu kami untuk menyelesaikan sengketa lahan dengan PT DPL, kami ini semua pendukung Mualem dan Safaruddin dalam pemilu, jadi mohon bantu kami,” pinta Yahwa, Sabtu (30/11/2024).

Puluhan warga sedang istirahat dan makan siang setelah memasang spanduk di lahan sengketa antara warga dengan PT DPL, Sabtu 30 November 2024.

Kata Yahwa, warga memiliki bukti kuat dengan surat-surat tanah yang dimilikinya. Sekarang semua bukti itu sudah terkumpul semua. “Kami punya bukti kuat dengan surat-surat tanah masa lalu, sekarang bukti itu sudah kami kumpulkan untuk menghadapi gugatan di PTUN Banda Aceh,” tegasnya.

Yahwa menyebutkan, gugatan yang dilayangkan ini bagian untuk mendapatkan kembali lahan perkebunan yang dikuasai oleh PT DPL. Lahan milik warga dengan alat bukti yang ada, luasnya sekitar 800 hektar dari 2.600 hektar lahan yang menjadi konsesi PT DPL. “Jadi kami hanya ingin milik kami itu dikembalikan, selebihnya silakan PT DPL kuasai,” tegasnya.

Pemasangan spanduk tersebut dilakukan pada Sabtu 30 November 2024 didampingi langsung oleh kuasa hukum sekaligus Direktur Eksekutif Forbina Muhammad Nur, SH. Selama pemasangan spanduk berjalan lancar. Puluhan warga menggunakan sepeda motor dan dua mobil pick-up masuk ke lokasi lahan sengketa tersebut dan memasang spanduk serta berfoto bersama.

Warga sedang memasang spanduk tentang sengketa lahan dengan PT DPL, Sabtu 30 November 2024

Hentikan Sementara Aktivitas PT DPL

Direktur Eksekutif Forbina, Muhammad Nur, SH mengatakan, pada tahun 2007, Gubernur Aceh memberikan izin kepada PT. DPL melalui keputusan nomor P2TSP.525/4828/2007 tanggal 27 Desember 2007 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya, seluas 2.600 hektar. Berdasarkan fakta di lapangan, bahwa izin tersebut berada di lahan yang dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh masyarakat melalui 28 kelompok tani.

“Dampak dari izin tersebut, kelompok tani hilang wilayah kelola, dan tidak dapat diusahakan/dimanfaatkan lagi untuk sumber perekonomian, karena pihak perusahaan terus memperluas lahan untuk penanaman kelapa sawit,” kata Muhammad Nur.

Padahal kelompok tani tersebut sebelumnya menjadi subjek dari program pemerintah pusat memberdayakan ekonomi mantan kombatan GAM dan korban konflik, melalui pembagian 63.000 bibit di lahan 2.600 Ha. Kemudian pada lahan tersebut diterbitkan izin oleh Gubernur Aceh kepada PT. DPL, sehingga apa yang diprogramkan oleh Presiden SBY ketika itu tidak berjalan maksimal.

Selain persoalan lahan, hasil kajian Forbina juga menemukan bahwa izin yang diberikan cacat prosedural dan cacat hukum, karena lokasi yang ditetapkan tidak sesuai dengan objek di lapangan. Selain dua persoalan tersebut, masih banyak temuan lain yang menjadi dalil memperkuat gugatan ini.

Lahan milik PT DPL yang sedang bersengketa di PTUN Banda Aceh yang digugat oleh warga Kecamatan Babahrot, Kabupaten Abdya.

“Nanti kita akan bongkar semua di pengadilan atas cacat prosedural dan cacat hukum tersebut, terlebih warga memiliki bukti kuat dengan surat tanah yang warga miliki,” jelas Muhammad Nur.

Kata Muhammad Nur, apa yang dilakukan oleh Gubernur Aceh melalui pemberian izin kepada PT. DPL yang cacat hukum dapat dianggap sebagai perbuatan perampasan tanah rakyat demi kepentingan investasi. Seharusnya, ditengah krisis lapangan pekerjaan, kemiskinan, paska konflik dan bencana, Gubernur Aceh melindungi hak – hak masyarakat, bukan justru dengan kebijakan ambisiusnya menghilangkan wilayah kelola masyarakat.

Forbina bersama tim pengacara berharap kepada pihak PT. DPL untuk menghormati proses hukum dan menghentikan segala aktifitas di lapangan selama proses hukum ini berlangsung. Begitu juga halnya Gubernur Aceh untuk mempertanggungjawabkan di muka hukum atas penerbitan kebijakan yang dapat merugikan masyarakat banyak.[acl]

Share
Related Articles
BeritaHeadline

Aceh Masuk 10 Besar Provinsi dengan Deforestasi Tertinggi di 2024

Deforestasi di Indonesia meningkat 2 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Aceh...

BeritaHeadlineJurnalisme Data

Keruk Emas di Benteng Ekologi (3)

Peta angkasa menunjukkan, Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) merambah Kawasan Ekosistem Leuser...

Sebanyak 77 imigran etnis Rohingya menggunakan sebuah kapal motor kayu kembali diketahui terdampar di Pantai Leuge, Kecamatan Pereulak, Kabupaten Aceh Timur, Rabu (29/01/2025)
BeritaHeadlineNews

Imigran Etnis Rohingya Kembali Terdampar di Aceh Timur

Sebanyak 77 imigran etnis Rohingya menggunakan sebuah kapal motor kayu kembali diketahui...

Pertunjukkan Barongsai memeriahkan Tahun Baru Imlek 2025 di Banda Aceh.
BeritaHeadlineNews

Barongsai Imlek, Sedot Perhatian Warga Banda Aceh

Atraksi barongsai digelar dalam rangka memeriahkan tahun baru Imlek 2576 Kongzili di...