Dihubungi melalui saluran telpon, Murtala, seorang korban tragedi Simpang KKA, 3 Mei 1999, mengakui pernyataan presiden Joko Widodo yang mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia, sebagai angin segar bagi para korban pelanggaran HAM berat, terutama di Aceh, namun ia juga tidak memungkiri, masih ada keping keraguan, kalau pernyataan tersebut hanya angina surga saja. Murtala menyebut, pernyataan tersebut harus segera ditindak lanjuti dengan tindakan kongkrit.
Pria yang juga ditunjuk sebagai Ketua Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA ini, mengatakan tindak lanjut yang dimaksud seperti segera memperhatikan kondisi korban dan keluarga korban terutama pemulihan kondisi psikologis, luka fisik dan perbaikan kondisi ekonomi.
“Selain itu yang tak kalah pentingnya juga adalah bagaimana pemerintah juga memberikan perintah kepada Kejaksaan Agung, agar bisa menyelenggarakan pengadilan Adhoc, demi memenuhi rasa keadilan bagi para korban dan keluarga korban,” jelas Murtala.
Tanpa sebab apapun, Murtala, pada 24 tahun lalu, tepatnya 3 Mei 1999, menjadi korban pelanggaran HAM berupa pemukulan dan penyiksaan yang dilakukan oleh Tentara, yang menyebabkan kerusakan pada fisiknya dan membuat ia tidak bisa beraktifitas secara normal, hingga saat ini.
“Saat itu, saya menderita koma selama tiga hari, lalu dirawat empat hari di RS, kemudian saya dirawat dengan rawatan tradisional disebuah tempat persembunyian, karena diisukan setiap korban yang diketahui masih hidup akan dibantai, jadi saya dikelaurkan dari RS dan disembunyikan oleh keluarga, saat itu,” ungkap Murtala.
Murtala berharap, pemerintah serius memberi perhatian pada semua korban dan keluarga korban tindak pelanggaran HAM di Indonesia, terutama pemulihan ekonomi bagi korban dan keluarga korban.
Koalisi NGO HAM Aceh memberi apresiasi kepada Presiden Joko Widodo yang telah menyatakan pengakuan negara terhadap terjadinya peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HA) berat di Indonesia.
Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Khairil, mengatakan ini merupakan bagian dari perjuangan panjang korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk mendapat pengakuan oleh Negara terkait peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi masa lalu.
“Karena ini menjadi sebuah langkah baik, maka, pemerintah harus melakukan upaya pemulihan korban dan keluarga korban secara masif, baik secara psikologis, aupun secara ekonomi,” ujar Khairil, Kamis (12/1/2023).
Saat ini, sebut Khairil, Koalisi NGO HAM bersama masyarakat korban sedang membangun mekanisme reparasi untuk korban pelanggaran HAM yang berkeadilan dan konprehensif.
“Sistem dan pola yang disusun ini nantinya harus menjadi dokumen yang dapat membahani RPJMN dan RPJMA dan atas pernyataan presiden, untuk melakukan pemulihan,” katanya.
Senada itu, kata Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, menegaskan agar pernyataan Presiden Joko Widodo bukan merupakan komoditi politik di penghujung masa pemerintahan.
“Jika berulang kali negara menjanjikan pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM tanpa langkah-langkah konkret, terlebih pernyataan kali ini disampaikan di penghujung masa pemerintahan Presiden Jokowi, patut kita duga ini cuma dagangan politik semata,” sebut Azharul Husna.
Bagi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, pengakuan tersebut sama sekali tidak cukup menandakan bahwa negara benar-benar telah meminta maaf atas sejumlah tragedi itu.
“ Sebagai wujud pertanggung jawabannya, negara seharusnya meminta maaf secara formal kepada para korban pelanggaran HAM berat tersebut,” kata Azharul Husna.
Pengakuan negara ini juga harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan pemenuhan hak-hak korban secara keseluruhan, mulai dari hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan hingga ketidakberulangan.
Diberitakan sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menggelar konferensi pers terkait pernyataan resmi negara atas 12 kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia. Dalam pidatonya, Jokowi menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Untuk pertama kalinya, negara secara terbuka dan resmi menyatakan pengakuan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat tersebut, yakni peristiwa 1965-1966 (peristiwa 65), peristiwa penembakan misterius 1982-1985 (kasus Petrus), peristiwa Talangsari di Lampung 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa kurun 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Wasior di Papua pada 2001-2002, dan peristiwa Wamena di Papua pada 2003.
Tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh juga termasuk di dalamnya, yakni peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (Aceh pada 1989), peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada tahun 2003, dan peristiwa Simpang KKA di Aceh pada 1999. (Yan)