PLTU Nagan Raya Dan Kebijakan Co-firing Biomassa

Kebijakan co-firing, pengurangan penggunaan batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berpotensi memicu banyak persoalan baru, seperti deforestasi hingga bakal terjadi konflik agrarian baru serta bukan solusi ampuh kurangi emisi dan polusi udara dari PLTU batu bara.

PLTU Nagan Raya dilihat dari ketinggian. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id

Cofiring adalah proses pembakaran campuran bahan bakar fosil dengan bahan bakar EBT, seperti biomassa, biogas, atau hidrogen. Program ini dilakukan dengan mencampur biomassa, seperti serbuk gergaji, sekam padi, dan cangkang sawit, dengan batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)

Cerobong pembuangan sisa pembakaran untuk menghasilkan uap pemutar turbin. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id

Laporan penelidian berjudul “Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia” yang diluncurkan pada 18 Juli 2023. Ini merupakan hasil penelitian dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), disebutkan peningkatan porsi co-firing hingga 20 persen hanya berdampak kecil terhadap pengurangan emisi dan polusi udara dari PLTU batu bara.

Proses pemindahan batu bara sebagai bahan bakar menuju ruang pembakaran di PLTU Nagan Raya. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id

Jika campuran biomassa ditarget 10 persen dalam co-firing PLTU batu bara, polusi udara berbahaya hanya turun sedikit. Contohnya, partikel debu turun 9 persen, nitrogen oksida turun 7 persen, dan sulfur dioksida turun 10 persen.

Petugas kebersihan membersihkan instalasi uap yang tertutup debu sisa pembakaran batu bara. Foto: Hotli
Simanjuntak/digdata.id
Petugas kebersihan membersihkan instalasi uap yang tertutup debu sisa pembakaran batu bara. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id

“Efek pada emisi diturunkan dari banyak himpunan data yang terdiri dari ratusan pabrik pembakaran, membuatnya mewakili efek agregat, bahkan dengan mempertimbangkan variasi antara masing-masing pembangkit,” tulis para peneliti dalam laporan tersebut dikutip dari kompas.com.

Kendati penelitian menunjukkan bahwa co-firing bukan solusi mengurangi emisi, pemerintah Indonesia tetap bersikukuh menjalan rencana tersebut. Berbagai kemudahan perizinan dari sektor kehutanan diberikan oleh pemerintah, terutama bagi pemilik konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) diubah menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE).

Instalasi penghasil uap yang menggerakan turbin. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id
Petugas kebersihan membersihkan instalasi uap yang tertutup debu sisa pembakaran batu bara. Foto: Hotli
Simanjuntak/digdata.id
Gudang penyimpanan batu bara sebagai bahan bakar utama PLTU Nagan Raya. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id
Instalasi distribusi listrik tegangan tinggi yang dihasilkan oleh PLTU Nagan Raya. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id
Operasional PLTU Nagan Raya dipantau melalui ruang kontrol utama. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id
PLTU Nagan Raya salah satu pembangkit listrik tenaga uap yang menjadi salah satu pemasok energi listrik bagi PLN. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id
Proses pembersihan areal PLTU dari debu sisa pembakaran batu bara di kawasan PLTU Nagan Raya. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id
Instalasi penggerak turbin generator listrik PLTU Nagan Raya. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id
Salah satu turbin atau generator pembangkit tenaga listrik di PLTU Nagan Raya. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id
PLTU Nagan Raya salah satu instalasi pembangkit listrik yang dengan mengandalkan batu bara sebagai bahan bakar utama. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id

Ulasan lebih lengkap silahkan baca: Co-firing Biomassa Picu Masalah Baru di Indonesia

Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.