Kebijakan co-firing, pengurangan penggunaan batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berpotensi memicu banyak persoalan baru, seperti deforestasi hingga bakal terjadi konflik agrarian baru serta bukan solusi ampuh kurangi emisi dan polusi udara dari PLTU batu bara.
Cofiring adalah proses pembakaran campuran bahan bakar fosil dengan bahan bakar EBT, seperti biomassa, biogas, atau hidrogen. Program ini dilakukan dengan mencampur biomassa, seperti serbuk gergaji, sekam padi, dan cangkang sawit, dengan batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)
Laporan penelidian berjudul “Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia” yang diluncurkan pada 18 Juli 2023. Ini merupakan hasil penelitian dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), disebutkan peningkatan porsi co-firing hingga 20 persen hanya berdampak kecil terhadap pengurangan emisi dan polusi udara dari PLTU batu bara.
Jika campuran biomassa ditarget 10 persen dalam co-firing PLTU batu bara, polusi udara berbahaya hanya turun sedikit. Contohnya, partikel debu turun 9 persen, nitrogen oksida turun 7 persen, dan sulfur dioksida turun 10 persen.
“Efek pada emisi diturunkan dari banyak himpunan data yang terdiri dari ratusan pabrik pembakaran, membuatnya mewakili efek agregat, bahkan dengan mempertimbangkan variasi antara masing-masing pembangkit,” tulis para peneliti dalam laporan tersebut dikutip dari kompas.com.
Kendati penelitian menunjukkan bahwa co-firing bukan solusi mengurangi emisi, pemerintah Indonesia tetap bersikukuh menjalan rencana tersebut. Berbagai kemudahan perizinan dari sektor kehutanan diberikan oleh pemerintah, terutama bagi pemilik konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) diubah menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE).
Ulasan lebih lengkap silahkan baca: Co-firing Biomassa Picu Masalah Baru di Indonesia
Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.id