Rumah Tangga di Aceh Sangat Bergantung dengan Air Kemasan 

Sebuah fakta menunjukkan mayoritas penduduk Aceh mengandalkan air kemasan sebagai sumber utama air minum. Padahal air kemasan dinilai tidak berkelanjutan atau sustainable dan mengancam terjadi krisis air bila dieksploitasi berlebihan.

Menurut publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), 43,52 persen rumah tangga di Aceh mengandalkan air minum kemasan pada 2023. Artinya sekitar 3,2 juta dari 5,5 juta lebih penduduk mengkonsumsi air kemasan dalam rumah tangga.

Itu artinya, sekitar 4 dari 10 rumah tangga di Aceh mengandalkan air isi ulang atau kemasan sebagai air minum untuk dikonsumsi setiap hari. Tingginya ketergantungan dengan air kemasan tersebar tidak hanya di perkotaan juga di perdesaan.

Menurut SNI (Standar Nasional Indonesia), definisi air minum dalam kemasan (AMDK) adalah air yang telah diolah dengan perlakuan khusus dan dikemas dalam botol atau kemasan lain dan memenuhi persyaratan air minum.

Air isi ulang dan air kemasan dinilai bukanlah air yang berkelanjutan atau sustainable. Adanya perusahaan air kemasan yang memanfaatkan air secara besar-besaran telah berdampak buruk terhadap ekosistem air.

Monopoli pemanfaatan air oleh seseorang atau kelompok, terutama untuk kepentingan komersial secara ekstraktif, menjadi bumerang ketersediaan air bersih untuk masyarakat. Akses air semakin sulit, masyarakat terpaksa harus membeli air bersih untuk kehidupan sehari-hari, terutama air minum. 

“Ekstraksi sumber daya untuk air minum kemasan secara besar-besaran oleh perusahaan air kemasan telah berdampak buruk terhadap ekosistem air di Aceh, berdampak juga semakin sulit masyarakat mendapatkan air bersih,” kata Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Muhammad Nasir. 

Menurut BPS, dikatakan layak jika rumah tangga memiliki sumber air minum utama yang sumber terlindungi, yaitu berupa leding, sumur terlindungi, sumur bor/pompa, dan mata air terlindungi. 

Data BPS menunjukkan, rumah tangga di Aceh yang menggunakan sumber air minum dari sumur terlindungi tergolong rendah, yaitu hanya 24,58 persen. Sumur terlindungi adalah  air yang berasal dari dalam tanah yang digali dan lingkar sumur tersebut dilindungi oleh tembok paling sedikit 0,8 meter di atas tanah dan 3 meter ke bawah tanah, serta ada lantai semen sejauh 1 meter dari lingkar sumur.

Kendati demikian, BPS menyebutkan bagi rumah tangga yang menggunakan sumber air minum berupa air kemasan, maka rumah tangga dikategorikan memiliki akses air minum layak jika sumber air untuk mandi/cuci berasal dari leding, sumur bor/pompa, sumur terlindungi, mata air terlindungi, dan air hujan.

Sementara rumah tangga yang memanfaatkan air minum dari sumber terlindungi, seperti air pompa/sumur bor, mata air terlindungi, air leding termasuk air hujan masih di bawah 10 persen. Air pompa misalnya hanya 9,19 persen rumah tangga di Aceh yang menggunakan sumber tersebut. Lalu mata air terlindungi hanya 8,06 persen dan air leding 7,79 persen. 

 

Kendati demikian, rumah tangga yang memanfaatkan air minum dari sumber sumur tak terlindungi hanya 2,86, air permukaan 2,8 persen dan mata air tidak terlindungi 1,2 persen. “Bila negara atau pemerintah tidak segera memproteksi atau memperbaikinya, tidak tertutup kemungkinan yang konsumsi air dari sumber tak terlindungi bisa meningkat,” tegas Nasir Buloh, sapaan akrab Muhammad Nasir.[acl]

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.