Sampah Plastik yang Tak Terkendali

Peraturan Wali Kota (Perwal) tentang sampah plastik berbayar belum mampu menghentikan laju pertumbuhannya. Bukan malah mengalami penurunan, justru meningkat penggunaanya pada 2021 dibandingkan dua tahun sebelumnya. 

Padahal Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 111 Tahun 2020 tentang pembatasan penggunaan kantong plastik di supermarket, swalayan dan mall dibuat oleh Pemerintah Kota Banda Aceh untuk menekan angka penggunaan plastik saat berbelanja.

Dalam aturan tersebut, konsumen diberikan beberapa alternatif penggunaan kantong untuk belanjaan. Seperti menggunakan kantor yang bisa didaur ulang atau membawa kantong sendiri dari rumah dari bahan yang bukan plastik.

Bila konsumen masih tetap memilih menggunakan kantong plastik, pelaku usaha baik di supermarket, swalayan hingga mall diwajibkan untuk membayar. Harganya seperti di Suzuya Mal sebesar Rp 500 per kantong plastik.

Akan tetapi Perwal ini di Banda Aceh ternyata belum mampu mengendalikan pertumbuhan sampah plastik. Justru meningkat pada 2021 sebesar 2,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Hal ini berdasarkan  data terbuka dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) yang dianalisis oleh digdata.id, jumlah sampah yang terkumpul 2019 sebanyak 87.088 ton lebih, di antaranya 6.80 persen atau setara dengan 6.096 ton merupakan sampah plastik. 

Pada 2020, jumlah timbulan sampah mengalami peningkatan menjadi 88.800 ton lebih, dari jumlah itu sampah plastik  masih 6.80 persen atau hanya 6.216 ton.

Akan tetapi pada 2021 jumlah sampah plastik yang terkumpul mengalami peningkatan menjadi 16.60 persen atau setara dengan 6.354 ton dari total sampah yaitu 90.765 ton lebih. Artinya mengalami kenaikan sampah plastik sebesar 2,17 persen.

Pandemi Ikut Berkontribusi

Pandemi Covid-19 yang mewajibkan warga berdiam di rumah untuk memutuskan rantai penyebaran virus corona, ikut berkontribusi meningkatnya penggunaan sampah plastik di Indonesia, termasuk di Banda Aceh.

Warga yang berdiam diri di rumah kemudian memilih untuk berbelanja secara daring, menjadi salah satu faktor meningkatnya penggunaan sampah plastik. Karena semua pemilik restoran, cafe dan sejumlah usaha lainnya menjual secara take away  atau dibungkus dan dibawa pulang ke rumah.

Tentunya dengan metode penjualan take away penggunaan sampah plastik tak dapat dihindari. Terutama pelaku usaha sektor kuliner, maupun usaha lainnya. Mereka terpaksa harus menggunakan plastik saat konsumen berbelanja.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan, sampah plastik mengalami peningkatan akibat adanya pembatasan sosial selama pagebluk Covid-19. Karena sebagian besar masyarakat berbelanja secara daring yang pengemasannya menggunakan plastik.

Penelitian ini dilakukan LIPI  di kawasan Jabodetabek yang dilakukan melalui survei online pada tanggal 20 April-5 Mei 2020. Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas warga Jabodetabek melakukan belanja online cenderung meningkat. Dari yang sebelumnya hanya 1 hingga 5 kali dalam satu bulan, menjadi 1 hingga 10 kali selama PSBB/WFH.

Kondisi serupa juga tidak jauh berbeda saat PSBB diberlakukan di Banda Aceh. Saat kasus Covid-19 meningkat tajam, seluruh warung kopi dan pusat perbelanjaan lainnya diminta untuk melakukan penjualan dengan metode take away atau tidak makan ditempat.

Begitu pula dengan penggunaan layanan delivery makanan lewat jasa transportasi online. Padahal, 96 persen paket dibungkus dengan plastik yang tebal dan ditambah dengan bubble wrap. 

Selotip, bungkus plastik, dan bubble wrap merupakan pembungkus berbahan plastik yang paling sering ditemukan. Bahkan di kawasan Jabodetabek, jumlah sampah plastik dari bungkus paket mengungguli jumlah sampah plastik dari kemasan yang dibeli.

Proses penimbunan sampah. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

Survei tersebut menemukan bahwa kesadaran masyarakat belum dibarengi dengan aksi nyata untuk pengolahan atau mendaur ulang sampah plastik. Sehingga laju pertumbuhan sampah plastik meningkat, tidak hanya secara nasional, juga terjadi di Kota Banda Aceh.

Ketua Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah, Dr Muhammad Nizar, ST, MT dikutip dalam tulisan opininya menyebutkan, budaya memanfaatkan sampah di kalangan warga di Banda Aceh memang masih rendah.

Dampaknya sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi menumpuk, karena tidak ada pemilihan sejak sampah berada di rumah tangga. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah kota masih bersifat konvensional yaitu mengumpulkan sampah, mengangkut dan membuangnya ke TPA.

Sampah dikumpulkan dari rumah ke rumah ataupun di Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS), kemudian sampah diangkut dengan menggunakan truk ke TPA Kampung Jawa yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota.

Hal ini diperkuat dengan data dari SIPSN Kementerian Lingkungan Hidup, sampah yang berhasil dikelola hanya 0,9 persen dari total sampah yang terkumpul selama tiga tahun terakhir 266.654,94 ton. Sedangkan 99,91 persen sampah, baik organik, non-organik termasuk plastik dikumpulkan ke TPA.

“Untuk pengolahannya memang masih rendah, bisa jadi karena sumber daya manusia dan fasilitas yang belum mencukupi. Perlu segera adanya pengolahan sampah yang maju dan modern di Banda Aceh, sehingga dampaknya seperti bencana alam bisa diminimalisir,” kata Bang Nizar, sapaan akrab-nya.

‘Pekerjaan Rumah’ yang dihadapi Pemerintah Kota Banda Aceh tidak hanya persoalan sampah plastik mengalami peningkatan. Tetapi timbulan sampah juga meningkat selama 2019-2021.

Pada 2019 lalu, total sampah  87 ribu ton lebih, naik menjadi 89 ribu ton pada 2020 dan terus mengalami peningkatan sebanyak 92 ribu  ton pada 2021.

Rata-rata timbulan sampah selama tiga tahun terakhir sebanyak  89 ribu ton. Sedangkan setiap harinya sampah yang terkumpul 243 ton. Sedangkan sumber paling banyak dari sampah rumah tangga mencapai 76,52 persen, yaitu setara dengan  559 ton.

Bang Nizar menyampaikan, mengurangi sampah dari hulu saat ini sangat penting.Mengingat dampak pengelolaannya kurang baik berdampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.

Ia mensimulasikan, bila ada  86.057 ton/bulan sampah yang dihasilkan suatu daerah, maka dapat menghasilkan  emisi karbon sebesar 83.726,6 ton/bulan. 

Emisi karbon dioksida tidak hanya berdampak berkurangnya kualitas udara bersih yang dihirup manusia. Juga berdampak serius  seperti perubahan iklim dan pola cuaca yang tidak stabil.

Seperti akan terjadi kemarau panjang, angin puting beliung. Juga dapat menyebabkan bencana alam terjadi lebih sering, seperti badai, banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang berdampak ketidakstabilan ekonomi. 

Selain itu, jika dibiarkan terus menerus tanpa ada upaya penanggulangan, emisi karbon juga bisa mengakibatkan suhu udara meningkat dan menyebabkan pemanasan global. 

“Jika emisi karbon semakin besar, tentu kualitas udara bersih nanti semakin berkurang bagi warganya,” jelas Nizar.

Sampah botol plastik di kawasan pelabuhan TPI. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

Kesadaran Memilah Sampah Rendah

Kepala Bidang Persampahan DLHK3 Banda Aceh, Asnawi membenarkan sampah plastik 2021 meningkat, yaitu sebesar 16,6 persen. Peningkatan terjadi saat memasuki bulan ramadhan, banyak warga melakukan aktivitas berjualan menggunakan kantong plastik.

Selain itu, dia tak menampik kesadaran warga memilah sampah dari sumber utamanya belum berjalan maksimal. Kendati demikian upaya mengurangi sampah dari hulu sudah mulai dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh, melalui beberapa bank sampah baik yang dikelola mandiri maupun pemerintah. 

Saat ini ada 20 unit bank sampah di sejumlah gampong dan lebih dari 60 unit sarana bank sampah di sekolah, sebutnya sangat  membantu petugas untuk memilah sampah.

Sedangkan Bank Sampah Induk (BSI) seperti tercatat di data SIPSN KLHK hanya terdapat satu unit di Banda Aceh yang diberi nama Bank Sampah Induk Sadar Mandiri. 

Lokasinya berada di Jalan Tgk Dianjong, Gampong Jawa, Kecamatan Kuta Raja yang dikelola oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan koperasi, tepatnya berada di area TPA.

Sampah yang masuk untuk didaur ulang ke BSI selama 2019-2021 sebanyak 42,68 ton. Dari jumlah itu yang berhasil dikelola sebesar 39,81 ton, sisanya  2,87 ton dibuang kembali ke TPA.

Hasil pengolahan sampah di BSI itu, sebut Asnawi dipergunakan untuk kepentingan umum. Seperti pupuk kompos digunakan untuk memelihara taman kota, sehingga tetap tumbuh baik dan indah. 

Kemudian ada juga pengolahan sampah menjadi cairan bahan bakar,  namun hasilnya bukan pada tataran bahan bakar kualitas baik yang bisa digunakan untuk kendaraaan. 

“Ini bahan bakar premium dan solar dengan kadar RON rendah, sehingga tak bisa digunakan untuk kendaraan dan juga bukan untuk bisnis, hanya untuk kepentingan petugas DLHK3 saja, seperti digunakan untuk mesin potong rumput,” jelas Asnawi.

Selain itu, sampah-sampah juga menghasilkan gas yang sudah bisa disalurkan kepada warga sekitar TPA. “Namun masih dengan teknologi yang sederhana yang bisa digunakan untuk memasak,” jelasnya.

Asnawi menyebutkan, rumah tangga menjadi penyumbang sampah terbanyak pertama mencapai 76.50 persen, disusul rumah makan 11,98 persen, lalu pasar sebesar 3,72 persen. “Penanganan dan pengolahan sampah memang menjadi satu program prioritas di Kota Banda Aceh,” tegasnya.

Pemerintah Kota banda Aceh, kata Asnawi saat ini akan terus melakukan berbagai perbaikan untuk penanganan sampah. Terutama di era serba digital dengan perkembangan teknologi canggih, sampah harusnya bisa dimanfaatkan kembali untuk kepentingan warga.

“Kita sedang menuju ke sana, dengan dukungan semua pihak,” ujar Asnawi.

Zero Waste Dapat Selamatkan Lingkungan

Gerakan zero waste menjadi solusi jangka panjang yang lebih efektif daripada membuang sampah ke TPA, karena ini salah satu upaya untuk meminimalisir timbulan sejak dari tempat produksi sampah.

Prinsip yang digunakan dalam konsep zero waste ini tidak hanya 3R (Reduce, Reuse, Recycle), namun juga 4R hingga 5R yaitu Reduce (mengurangi), Ruse (Menggunakan ulang), Recycle (mendaur ulang), Replace (mengganti), dan Replant (Menanam kembali atau reboisasi).

Zero waste juga tidak hanya menihilkan sampah baik organik maupun non organik dari sumbernya, tetapi juga dapat mengurangi polusi udara akibat pembakaran sampah. 

Karena pembakaran sampah selain berdampak buruk pada kesehatan manusia, juga pada lingkungan. Karena bahan-bahan tersebut melepaskan bahan kimia beracun yang mencemari udara.

Alo Dokter melaporkan, asap dari membakar sampah jenis apa pun, baik plastik, kayu, kertas, daun, maupun kaca, melepaskan banyak polutan beracun, yakni karbon monoksida, formaldehida, arsenik, dioksin, furan, dan VOC.

Orang-orang yang berada di sekitar lokasi pembakaran, terutama anak-anak, ibu hamil, lansia, dan orang yang memiliki riwayat penyakit jantung dan paru, berisiko tinggi mengalami gangguan kesehatan akibat menghirup bahan-bahan tersebut. 

Hal ini juga tergantung pada seberapa lama dan seberapa sering mereka terpapar asap hasil pembakaran sampah.

Tak hanya itu, salah satu kekhawatiran terbesar dari pembakaran sampah secara terbuka adalah risiko kesehatan yang timbul akibat paparan dioksin ke udara. Paparan zat ini dalam jangka panjang berisiko menyebabkan: kanker, gangguan hati, gangguan sistem kekebalan tubuh dan gangguan sistem reproduksi.

Selain itu gangguan kesehatan yang muncul bisa beragam, seperti: batuk, mata merah atau berair, hidung terasa perih seperti terbakar, ruam, mual, sakit kepala, serangan asma pada penderita asma.

Selain asap, membakar sampah secara terbuka akan menghasilkan residu abu yang dapat mengandung logam beracun, seperti merkuri, timbal, dan arsen.

Karena tidak menyadari potensi bahaya, beberapa orang mungkin akan menguburkan abu sisa pembakaran di tanah, sehingga bisa terserap oleh tanaman sayuran atau buah yang tumbuh di sekitarnya. Akibatnya, manusia bisa ikut terpapar jika mengonsumsi sayuran dan buah tersebut.

Tak hanya pada tanaman, zat berbahaya ini bahkan bisa terkandung dalam susu, daging, dan telur dari hewan yang terpapar. Makanan ini kemudian bisa mempengaruhi kesehatan manusia, jika dikonsumsi dalam jangka panjang.

Abu sisa pembakaran juga bisa membahayakan anak-anak yang bermain di sekitar area. Mereka bisa saja secara tidak sengaja menelan tanah yang sudah terkontaminasi abu beracun. Bahkan, abu tersebut dapat tetap tinggal dalam waktu yang lama di sekitar lingkungan tempat pembakaran, termasuk di rumah.

Selain itu, bahaya membakar sampah secara terbuka tanpa pengawasan juga bisa menyebabkan kebakaran yang tidak direncanakan.

TPA Kampung Jawa sebagai TPA transit sebelum dikirim ke landfill di Kawasan Blang Bintang, Aceh Besar. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

Tak hanya berbahaya bagi kesehatan, undang-undang nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah melarang pembakaran sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.

Regulasi ini kemudian Pemerintah Kota Banda Aceh mempertegas aturannya dengan mengeluarkan Qanun  Qanun Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sampah. Siapapun yang membuang sampah sembarangan, termasuk dari kendaraan dapat dikenakan sanksi pidana.

Dalam Pasal 40 huruf (a) tegas disebutkan “barang siapa yang membuang sampah tidak pada tempat tempat yang telah tersedia diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda maksimum sebesar Rp10 juta”.

Bahkan ancaman pidana yang tercantum di huruf (b) hukumannya justru lebih berat, yaitu membuang sampah spesifik ke TPA dan media lingkungan lainnya dan mendatangkan sampah dari luar kota tanpa izin diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda maksimum sebesar Rp50 juta.

Termasuk siapapun yang membakar sampah sembarangan juga diancam hukum berat seperti tercantum dalam huruf (c) “barang siapa membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan penjara dan denda maksimum sebesar Rp50 juta”.

Pemerintah Kota Banda Aceh secara regulasi dan aturan lainnya tentang pengelolaan sampah terbilang sudah cukup. Selain ada qanun pengelolaan sampah, juga telah mengesahkan Perwal tentang sampah plastik berbayar.

Kendati demikian, regulasi dinilai tidak cukup tanpa ada implementasi dan konsep pengelolaan sampah secara modern. Karena semakin banyak populasi manusia, secara otomatis sampah di perkotaan juga semakin meningkat.

Untuk menjawab persoalan tersebut, Ketua Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah, Dr Muhammad Nizar, ST, MT dalam tulisan opininya menyebutkan, konsep zero waste atau menihilkan sampah bisa menjadi solusi dalam pengelolaan sampah di Banda Aceh. 

Pengertian nihil bukan berarti tidak ada sampah sama sekali, namun ini lebih mengacu kepada menghilangkan sampah sebanyak mungkin atau less waste. “Harap diingat, zero waste berarti menghilangkan sampah sebanyak mungkin dari awal atau sumbernya,” katanya.

Warga memilah botol plastik untuk di jual dan sebagai bagian dari program pemanfaatan ulang sampah botol plastik. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

Dalam skala kecil, Nizar menilai Pemko Banda Aceh sudah menerapkan konsep zero waste, tapi hal ini belum memadai. Lihat saja masih banyak sampah berserakan di sekitar kota, keterlibatan masyarakat dalam mengelola sampah masih rendah dan di TPA sendiri pengolahan sampah tidak maksimal. 

“Jika zero waste sudah diterapkan dengan konsisten, setidaknya kita tidak melihat lagi sampah berserakan dimana-mana. Timbulan sampah bisa dikurangi hingga 30 persen sesuai target pemerintah di tahun 2025,” katanya.

Kepala Bidang Persampahan Dinas Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota ( DLHK3) Banda Aceh, Asnawi, tak menampik pengelolaan sampah, seperti menjadi kompos dan lainnya masih dalam skala kecil. 

Sehingga hasil produksi dari pengolahan sampah tersebut, kata Asnawi, belum bisa langsung dinikmati oleh warga, seperti pupuk kompos. Tetapi hanya cukup untuk persediaan yang digunakan untuk pemupukan taman-taman di Kota Banda Aceh.

“Di TPA ada proses pembuatan kompos, tapi memang masih dalam skala kecil, belum bisa dimanfaatkan oleh warga, kompos yang dihasilkan masih digunakan untuk taman-taman di Kota Banda Aceh saja,” jelas Asnawi.

Kendati demikian, Asnawi menyebutkan, Pemerintah Kota Banda Aceh berkomitmen untuk penanganan dan pengolahan sampah menjadi program prioritas. Era serba digital dan dengan perkembangan teknologi yang canggih, sampah harusnya bisa dimanfaatkan kembali untuk kepentingan warga, dan ini memerlukan dukungan semua pihak.[acl]

Penulis: Afifuddin Acal/ Yayan Zamzami

Editor  : Afifuddin Acal

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.