Hasil pemantauan Monash University dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menyebutkan Aceh merupakan provinsi dengan tingkat polarisasi tertinggi dari lima provinsi yang dipantau dalam rentang Agustus-November 2024 atau menjelang Pilkada 2024.
Dari 180 ribu percakapan yang dikumpulkan di media sosial, 63,8 persen di antaranya berasal dari Aceh. Persentase tersebut mengemuka dalam diskusi bertema “Ujaran Kebencian dan Polarisasi di Balik Pilkada Aceh 2024” yang digelar AJI Banda Aceh di Sirnagalih Coffee Shop, Sekretariat AJI setempat, Kamis (19/12/2024).
Diskusi itu sendiri merupakan bagian dari kegiatan Kawai Haba Nanggaroe terkait isu Pilkada 2024 di Provinsi Aceh. Hadir sebagai pembicara, yaitu Ika Idris (Co-Director Monash Data & Democracy Research Hub Monash University Indonesia), Teungku Faisal Ali (Ketua PWNU Aceh), Ahmad Mirza Safwandy (Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KIP Aceh), yang dipandu Sekretaris AJI Banda Aceh, Zuhri Noviandi.
“Yang paling tinggi memang adalah polarisasi politik, namun juga masih ada isu-isu agama dan perempuan,” kata Ika Idris. Sedangkan isu agama, secara general, baik antara kandidat muslim dan nonmuslim, (tapi memang juga kandidat muslim) terdapat narasi berlomba-lomba merasa paling saleh. Juga narasi kepada kandidat perempuan dan narasi melawan kotak kosong.
Pada diskusi yang sama, Teungku Faisal Ali menilai ada korelasi antara tingkat kemiskinan dengan meningkatnya ujaran kebencian di Aceh. Menurutnya, kondisi ekonomi masyarakat yang sulit, mendorong tindakan-tindakan negatif, termasuk penyebaran fitnah dan hoaks.
“Masyarakat kita bukan tidak paham masalah agama, tentang regulasi yang melarang ujaran kebencian, tapi karena tuntutan kemiskinan yang membuat mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak lagi memikirkan bahwa itu fitnah, itu ghibah, dan sebagainya,” ujar Teungku Faisal.
“Makanya sangat punya korelasi antara kemiskinan dan meningkatnya ujaran kebencian di Aceh,” lanjutnya.
Ia menawarkan solusi bahwa menghilangkan ujaran kebencian, kemiskinan harus diberantas. Selain itu, terkait isu agama yang dipakai dalam ujaran kebencian dan polarisasi, Teungku Faisal Ali menyebut keawaman dan keterbatasan literasi masyarakat termasuk di antara penyebabnya.
“Isu agama ini sesuatu yang setiap saat terus berkembang, disebarkan, karena salah satu yang membuat itukan karena keawaman dan keterbatasan literasi masyarakat kita untuk melihat sesuatu yang diciptakan oleh orang ahli, sehingga mereka tidak mampu membedakan bahwa ini hoaks ataupun tidak,” kata Teungku Faisal.
Di sisi lain, Ahmad Mirza Safwandy menilai sangat penting untuk merefleksikan kembali dan mengevaluasi sesuatu yang menjadi fenomena sosial pasca-pelaksanaan Pilkada. KIP Aceh mencatat, secara yuridis, fenomena itu terkait dengan sengketa hasil pilkada. Nonyuridis adalah keterbelahan masyarakat dampak dari ujaran kebencian. “Nonyuridis ini terkait dengan fenomena sosial polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat, keterbelahan, faktor-faktor yang merupakan efek daripada ujaran kebencian,” kata Ahmad Mirza Safwandy.
Hal tersebut menjadi refleksi dan evaluasi penting untuk meningkatkan pendidikan politik. “Ini bukan hanya tanggung jawab penyelenggara, KIP, tapi tanggung jawab kita semua, pasangan calon, partai politik, pers, dan kita semuanya,” katanya.
Dalam diskusi tersebut juga mengemuka dugaan penyebab tingginya polarisasi dan ujaran kebencian dalam rentang tahapan Pilkada Aceh 2024. Salah satunya adalah bahwa Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh juga dinilai tidak tegas dalam mengambil sebuah keputusan. (Yan)