Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menetapkan target angka kematian ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2024 sebesar 183 per 100.000 kelahiran hidup. Penurunan angka kematian ibu dan bayi menjadi salah satu program prioritas yang dijalankan Kemenkes.
Pada tahun 2023, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia mencapai 4.129, menurut data dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), sistem pencatatan kematian ibu di Kementerian Kesehatan. AKI per 100 ribu kelahiran hidup pada Januari 2023 berada di kisaran 305. Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan kedua kasus AKI tertinggi di ASEAN.
Penyebab kematian ibu saat hamil dan pasca melahirkan paling umum terjadi di Indonesia adalah perdarahan mencapai 28%, preeklampsia/eklampsia sebanyak 24%, dan kematian akibat terjadinya infeksi mencapai 11%.
Ada dua faktor utama yang menyebabkan angka kematian di Indonesia masih tinggi, yaitu terlambat menegakkan diagnosis dan terlambat untuk merujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki sarana dan prasarana lengkap. Minimnya fasilitas kesehatan di puskesmas yang jauh dari pusat kota menjadi salah satu faktor terjadinya kematian ibu saat melahirkan dan pasca melahirkan.
Hal seperti ini juga kerap terjadi di Aceh, terutama di daerah-daerah pedalaman dan terluar yang jauh dari ibu kota kabupaten/kota juga ibukota provinsi. Sehingga peningkatan kualitas tenaga medis dan pemerataan pelayanan kesehatan harus ditingkatkan terutama fasilitas kesehatan di daerah-daerah yang susah dijangkau.
Pernyataan itu diucapkan Pasangan Muzakir Manaf-Fadhlullah saat debat kandidat calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh November 2024 lalu. Dalam debat tersebut mereka mengatakan jika pihaknya telah merancang visi dan misi yang menjadikan isu kesehatan sebagai prioritas seperti peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pedalaman dan daerah terpencil, juga pelayanan kesehatan untuk perempuan dan anak, terutama ibu melahirkan dan penanganan stunting dan gizi buruk d Aceh.
“Kami pastikan bagaimana pelayanan di pusat kota akan dirasakan oleh seluruhnya. Seperti di Simeulue, Pulau Aceh, dan Sabang, kami akan menyiapkan ambulans untuk mereka dan kami pastikan pelayanan akan sama seperti di pusat kota,”kata Fadlullah yang biasa disapa Dek Fadh.
Selain penyediaan ambulan dan penyediaan fasilitas kesehatan di puskesmas-puskesmas yang ada di seluruh Aceh, pihaknya juga akan memastikan dokter-dokter yang ditempatkan sesuai kepakarannya untuk mengobati masyarakat Aceh, melatih petugas kesehatan di desa-desa secara berkala dan menempatkan ahli gizi juga ahli jiwa di tingkat mukim.
” Jika kami menang nantinya, akan kami prioritaskan anggaran untuk penyediaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan, menyediakan asupan gizi bagi ibu hamil dan anak serta menyediakan konsultasi kesehatan gratis bagi ibu hamil”jelas Fadlullah saat membacakan visi misinya.
Pelayanan Kesehatan di Pulau Terluar Masih Jauh Dari Kata Layak.
Minimnya fasilitas kesehatan masih dirasakan masyarakat Pulau Breueh dan Pulau Nasi, yang terletak di Kabupaten Aceh Besar dan merupakan salah satu pulau terluar di provinsi Aceh, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan memadai mereka harus ke ibukota provinsi dengan mengarungi lautan dan menerjang ombak selama dua jam dengan menggunakan kapal kayu nelayan. begitu juga dengan ibu hamil yang kandungannya memerlukan penanganan serius harus di rujuk ke rumah sakit di Banda Aceh.
Masni (30) salah satu warga disana sempat merasakan susahnya saat melahirkan sehingga harus dirujuk ke Banda Aceh, dengan kondisi cuaca saat itu badai dan gelombang laut tinggi hingga 4 meter sehingga kapal yang ditumpanginya hampir karam.
“ Saat itu kondisi saya mau melahirkan, sesak nafas dan kondisi cuaca di pulau saat itu sangat tidak bersahabat. Tapi sekarang sudah ada ambulan laut namun jarang beroperasi juga”Jelas Masni.
Dia bukan satu-satunya warga yang dirujuk darurat saat akan melahirkan dan sakit sehingga butuh penanganan intensif di rumah sakit di ibukota provinsi.
Saat ini kedua pulau tersebut hanya memiliki satu Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) untuk melayani 17 desa dengan tenaga medis yang sangat minim, begitu juga dengan Bidan, hanya ada 4 orang.
Begitu juga dengan kondisi tempat mereka bekerja, yang hanya memiliki 3 ruangan, dua ruangan perawatan satu ruangan bersalin. Kondisinya saat ini sudah tidak layak digunakan karena atapnya bocor, berulang kali sudah di ajukan perbaikan namun tak terealisasi juga.
Tri Afrinawati (40), salah satu Bidan yang sudah 17 tahun mengabdi di pulau terluar Provinsi Aceh ini. Ia sudah melewati suka duka bertugas di pulau terluar tersebut bahkan sudah berulang kali hampir meregang nyawa di laut saat merujuk pasien kerumah sakit di ibukota Provinsi.
Ia berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan kebutuhan akan fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan obat-obatan juga tenaga medis), jejaring dan fasilitas rujukan di Pulau Aceh guna mengurangi resiko kematian ibu dan Anak.