Dari angkasa, wilayah konsesi Hutan Tanam Industri (HTI) milik PT Aceh Nusa Indrapuri (PT ANI) di Kabupaten Aceh Besar, terlihat ‘compang-camping’. Sejak 2021 hingga 2023, citra satelit Planet Scope menunjukkan adanya deforestasi di dalam area seluas 1.243 hektar. Lahan inilah yang dijadikan sebagai Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk memenuhi kebutuhan biomassa menggantikan 10 persen bahan bakar fosil, pengganti batubara pada Perusahaan Listrik Tenaga Uap (PLTU).
PT ANI sudah beroperasi sejak 31 tahun lalu di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Pada 1993 PT ANI memiliki lahan seluas 111.000 hektar, kemudian berkurang menjadi 97.905 hektar pada 2022. Lahan ini memiliki 27 persen area hutan alam atau seluas 20.689 dan bukan hutan 76.427 hektar. Konsesi ini bahkan sempat dievaluasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 5 Januari 2022, dan perusahaan diberi kewajiban untuk realisasi tanam seluas 500 hektar, karena lahannya terbengkalai.
Namun uniknya, perusahaan yang gagal melakukan re-forestasi dan tidak mampu menahan laju deforestasi, malah kembali diberikan izin, bahkan diusulkan menjadi HTE oleh KLHK. Hutang lama belum diselesaikan, tiba-tiba pemerintah menjadikan perusahaan tersebut menjadi target untuk penyediaan biomassa.
Tidak berlebihan bila sejumlah pemangku adat mukim melayangkan protes sejak 2016 lalu. Para mukim yang berada di sekitar konsesi HTI – telah meminta KLHK untuk mencabut izinnya jauh sebelum wacana transisi energi digaungkan. Menurut pimpinan adat di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie, perusahaan tersebut telah menyebabkan banyak masalah bagi masyarakat, terutama terkait konflik tata batas lahan, bahkan telah mencaplok hutan desa dan mukim.
Mantan Imum Mukim (kepala kemukiman), Gunung Biram, Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, M Hasyim Usman membenarkan, sejak PT ANI menguasai lahan untuk konsesi HTI menciptakan konflik tapal batas – yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Kondisi ini membuat tatanan kehidupan sosial masyarakat terganggu dengan keberadaan perusahaan tersebut.
Yang ia sesalkan, konsesi HTI itu tidak dikelola dengan serius, justru ditelantarkan hingga terjadi perambahan hutan, timbul tambang ilegal dan penguasaan lahan secara tidak sah. Sehingga laju deforestasi tak terbendung.
“Sekarang wilayah kelola PT ANI jadi open access oleh banyak kegiatan ilegal, galian C, illegal logging, bahkan ada lahan perkebunan warga diserobot oleh PT ANI di kawasan Seulimum,” kata Hasyim Usman kepada digdata.id baru-baru ini.
Hal tersebut dibantah oleh PT ANI terkait penyerobotan lahan warga. Yang ada malah lahan milik perusahaan yang dirambah warga, kelompok, bahkan ada instansi yang menggunaan lahan mereka. Rata-rata saat PT sedang vakum hingga tahun 2016.
Menyangkut dengan deforestasi Safwan tak menampik terjadi di lahan PT ANI di Blang Bintang, Aceh Besar. Begitu juga adanya tambang, lahan sawit, villa hingga café yang dilakukan baik kelompok, instansi maupun individu tanpa izin.
“Lahan konsesi kami terus berkurang setiap tahunnya, dari 111 Haktar, kini tersisa 97,905 dan itupun sebagiannya diserobot oleh sejumlah kelompok, instansi juga individu untuk membuka lahan sawit, tambang, perkebunan kurma dan pembangunan vila juga café,” kata Managemen Palnning PT ANI, Muamar Safwan kepada digdata.id.
***
Transisi energi yang direncanakan pemerintah melalui bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan cara co-firing menjadi ancaman serius terhadap hutan Aceh. Terlebih pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan untuk penguasaan lahan, termasuk menggunakan kawasan hutan demi transisi energi yang kebanyakan masyarakat sipil menyebutkan sebagai solusi palsu.
Berdasarkan data terbuka acehdata.digdata.id, deforestasi di Tanah Rencong sejak 2015-2022 mencapai 123,092 hektar, angka ini setara 21 kali luas kota Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh yaitu seluas 6.136 hektar. Jadi hutan yang tersisa saat ini hanya 2,9 juta hektar, padahal sebelumnya hutan Aceh seluas 3,7 juta hektar pada 1990.
Deforestasi yang terjadi telah menyebabkan berbagai dampak, seperti kekeringan, banjir, longsor, hilangnya sumber air bersih, serta kerusakan pada koridor satwa. Dampak ini terutama dirasakan di dua kawasan ekosistem, yaitu Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan Ulu Masen, yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Di dalam ekosistem KEL yang sudah mendapat pengakuan dan perlindungan tinggi dari negara, bahkan diakui oleh UNESCO di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), laju deforestasi masih saja terjadi. Konon lagi ekosistem Ulu Masen yang hanya sebatas klaim dari masyarakat sipil – yang dipelopori oleh Fauna Flora International (FFI) Indonesia, kondisinya cukup kritis.
Hutan Ulu Masen terletak di lima kabupaten di Provinsi Aceh, yaitu Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya. Luasnya sekitar 740 ribu hektar yang mengitari sekitar 2.050 desa di lima kabupaten tersebut. Konsesi HTI milik PT ANI berdampingan langsung dengan ekosistem itu yang masuk dalam 21 mukim di Aceh Besar. Bahkan ada lahan konsesi seluas 2.389 hektar yang berada dalam hutan Ulu Masen.
Ulu Masen merupakan hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan padang rumput, membuatnya kaya keanekaragaman satwa, berbagai jenis burung, mamalia, reptil, amfibi, dan primata terdapat di sana. Dengan kemiringan rata-rata 0-20 derajat atau landai, menjadi tempat favorit gajah dan harimau sumatera, terutama dalam hutan primer untuk interaksi sosial, menghindari musuh, reproduksi, makan, dan istirahat.
Mirisnya, di dalam ekosistem yang kaya dengan keanekaragaman hayati tidak terlindungi ini marak terhadi perambahan hutan dan tambang ilegal, terutama galian c. Diperparah lagi, atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti pembangunan jalan tol Sibanceh – juga telah merusak hutan, bahkan memutuskan koridor satwa.
Laju deforestasi di hutan Ulu Masen sejak 2015-2022 seluas 20.490 hektar lebih akibat perambahan, tambang liar hingga menjadi konsesi PT ANI. Kabupaten Aceh Jaya, daerah yang paling parah kerusakan hutan mencapai 6.829 hektar, lalu Aceh Barat 5.280 hektar, Aceh Besar 3.667 hektar, Pidie 3.094 hektar dan Pidie Jaya 1.619 hektar.
Sementara kemampuan Pemerintah Aceh untuk memulihkan hutan sangat terbatas. Dari 2018-2022, hanya 3.927 hektar hutan yang berhasil direhabilitasi, dengan rata-rata 785 hektar per tahun. Dengan laju reforestasi ini, Aceh butuh 171 tahun untuk memulihkan hutan yang rusak, dengan syarat tidak ada degradasi lebih lanjut mulai 2023.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin mengatakan, hutan Ulu Masen selain habitatnya gajah sumatera dan sumber untuk kebutuhan pertanian, perkebunan dan air bersih warga. Ekosistem ini juga menjadi habitatnya satwa gajah dan harimau.
Konsesi HTI milik PT ANI yang ditelantarkan, tidak hanya memantik deforestasi, tetapi WALHI Aceh mencatat ada 13 kasus konflik gajah sumatera dan 2 konflik harimau sumatera yang terjadi di area tersebut selama 5 tahun terakhir. Bahkan terdapat koridor satwa dalam lahan konsesi HTI. Semakin diperparah dengan pembangunan jalan tol yang beririsan dengan lahan milik perusahaan itu.
Dari sejumlah penelitian, sebut Om Sol sapaan akrab Achmad Shalihin, keberadaan gajah dan harimau sumatera di Aceh, khususnya di hutan Ulu Masen berstatus kritis atau Critically Endangered/CR oleh International Union for Conservation of Nature. “Hutan yang sudah dirusak merupakan kawasan ekosistem esensial dan biodiversitas di Aceh dan juga merupakan koridor satwa kunci gajah sumatera dan harimau sumatera,” kata Om Sol,
Om Sol juga memperkirakan, jumlah ini akan terus bertambah – bahkan intensitas konflik satwa ini akan lebih sering terjadi, karena tingginya deforestasi. Jika proyek transisi energi dengan mengembangkan HTE terealisasi di konsesi PT ANI, akan memperparah gangguan di ekosistem tersebut dan berpotensi terjadi krisis ekologi masa yang akan datang.
“Belum ada HTE saja konflik satwanya tinggi begitu juga laju deforestasinya, yang dikhawatirkan dengan jalannya program HTE di Aceh, konflik satwanya akan lebih sering terjadi dan trennya terus meningkat,” jelasnya.
Om Sol menjelaskan, pemberian izin konsesi kepada PT ANI selama ini dianggap tidak memberikan manfaat apa-apa bagi masyarakat di kawasan lahan PT ANI, terutama pada sektor ekonomi, malah memberi konflik berkepanjangan khususnya masalah tapal batas.
HTE Memperpanjang Deforestasi di Aceh
Dalam kondisi hutan Aceh yang sedang menghadapi tantangan serius, muncul berbagai solusi yang diklaim sebagai transisi energi untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil menjadi beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan. Namun, sayangnya, solusi ini sering kali digunakan sebagai alasan untuk terus merambah hutan dan mengeksploitasi sumber daya alam.
Di Aceh, transformasi ini malah bakal mengorbankan hutan sebagai upaya mengejar energi hijau, yang ironisnya, tidak benar-benar memberikan solusi jangka panjang. Sebaliknya, ini menjadi solusi palsu yang memperburuk krisis ekologi, menambah konflik agraria, dan mengikis keberlanjutan kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan.
Haqqul yakin, Pemerintah Aceh pasang target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 33,9% pada 2025 dan 43,3% pada tahun 2050. Angka ini lebih tinggi dibandingkan target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang hanya menetapkan bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.
Dengan target ambisius bauran energi Pemerintah Aceh sebagaimana tercantum dalam Qanun Rencana Umum Energi (RUE) Aceh Nomor 4 Tahun 2019 melebihi rencana pemerintah pusat. Target ini justru bakal mengantarkan Aceh masuk ke jurang deforestasi. Akan memperparah kerusakan hutan, baik secara terencana maupun tidak terencana sebagaimana yang direncanakan oleh KLHK.
“Aceh itu lebih tinggi target bauran EBT dibandingkan nasional, sementara pelaksanaannya justru memperkuat energi kotor, seperti pembangunan PLTU 3 dan 4 Aceh,” tegas Om Sol.
Menurut analisis Forest Watch Indonesia (FWI), eksklusifitas proyek energi dari sektor kehutanan terbilang istimewa. Berdasarkan analisis terhadap Permen LHK No.7 Tahun 2021, KLHK memberikan “karpet merah” pengadaan tanah untuk proyek energi yang berasal dari penurunan fungsi dan perubahan fungsi kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, serta dari pemanfaatan hutan
Secara terang-terangan KLHK hendak melepas 6,91 juta hektar kawasan hutan, 78,39 persen di antaranya lahan sawit yang berpotensi menjadi sumber bioenergi. Selain itu, terdapat izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 0,44 juta hektare untuk HTI di sektor energi.
Kementerian ATR/BPN diminta menyediakan 4 juta hektar lahan secara bertahap dari 2016 hingga 2025 untuk kebun energi guna mendukung program B30-B50 bioenergi non-listrik. Ini berpotensi meningkatkan ekspansi sawit dan pemanfaatan biomassa kayu sebagai bagian dari strategi meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT). Namun, langkah ini dapat memperburuk deforestasi dan memperparah catatan kehilangan hutan.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), Perusahaan Listrik Negara (PLN) berkomitmen mengimplementasikan bauran pembakaran biomassa (cofiring) hingga 10 persen di 52 PLTU di Indonesia, tak terkecuali di Provinsi Aceh pada PLTU 1 dan 2 Nagan Raya serta PLTU 3 dan 4 Nagan Raya yang sudah siap beroperasi.
“Inilah yang kemudian diklaim sebagai energi bersih,” kata Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga.
Pemerintah melalui KLHK telah menargetkan pembangunan HTE melalui 31 perusahaan HTI seluas 1,29 juta hektar untuk memenuhi kebutuhan biomassa melalui skema multi usaha. Menurut Anggi, ini berpeluang menjadi upaya melanggengkan penguasaan hutan dan lahan semata.
Dalam skema penurunan emisi, Aceh menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang masuk dalam daerah transisi energi dengan target pengembangan HTE mencapai 46.158 hektar. Guna mencapai net sink di tahun 2030, KLHK menyebutkan terdapat hutan alam seluas 123.441 hektar di Aceh dalam status deforestasi terencana dan tidak terencana. Dari jumlah tersebut 84.160 ribu hektar deforestasi terencana dan 37.281 ribu hektar deforestasi tidak terencana
Untuk memenuhi target co-firing 10 persen menggantikan bahan bakar fosil dengan biomassa wood pellet (pelet kayu) di Aceh, KLHK mengalokasikan 10 ribu hektar lahan di Aceh untuk dijadikan HTE. Untuk 2024 ini, PT ANI berkewajiban menanam tanaman energi seluas 200 hektar untuk memenuhi kebutuhan wood pellet.
Ada enam jenis produk HTE sebagai sumber energi terbarukan yang dijadikan wood pellet sebagai pengganti (co-firing) dengan batubara yaitu Akasia, Gamal, Turi, Kaliandra Merah, Eukaliptus Pelita dan Lamtoro.
Jenis tanaman tersebut digunakan untuk kebutuhan co-firing PLTU dengan campuran biomassa dan batu bara sebagai upaya peralihan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan sebagai upaya penurunan emisi dengan kata lain energi hijau.
Upaya ini dilakukan KLHK guna memenuhi target peningkatan capaian penggunaan energi terbarukan sebanyak 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050 dengan memanfaatkan biomassa sebagai langkah pengurangan emisi.
Selain membantah PT ANI serobot tanah warga, mereka juga membantah mengambil peluang bisnis usaha pelet kayu untuk kebutuhan biomassa. Justru mereka mengambil skema penjualan karbon dengan menanami tanaman jenis medang dan meranti untuk jangka 30 tahun.
Kata Muammad Syafwan, upaya tersebut dapat memulihkan kondisi lahan (hutan) di konsesi yang sudah terbengkalai juga rusak selama ini. “PT Aceh Nusa tidak main ke wood pellet karena harga belinya sangat rendah. Pasarnya itu di Indonesia masih untuk PLTU dan PLN saja, itupun kecil sekali hanya 10 persen yang dibakar dengan batubara,” jelasnya.
***
Di sisi lain mandat bauran energi nasional sebagai upaya pengurangan emisi di sektor energi dan sub sektor ketenagalistrikan memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap tata kelola hutan dan lahan di Aceh.
Target bauran energi nasional sebanyak 23 persen di tahun 2025 juga harus diturunkan dalam target Pemerintahan Aceh. Sayangnya dalam dokumen Rencana Umum Energi Aceh sesuai Qanun Nomor 4 tahun 2019 belum mencerminkan keunikan dan kekhasan kemandirian energi Aceh.
Ketika lahan konsesi yang dikelola PT.ANI tersebut menjadi HTE, tingkat deforestasi akan lebih tinggi terjadi. Karena mandat skema transisi energi diberikan kepada pemilik konsesi HTI yang merupakan penyumbang deforestasi.
“Semestinya Pemerintah Aceh dapat menahan terjadinya laju deforestasi sebesar 90 persen. dengan menggunakan kebijakan otonomi khusus sesuai yang diatur dalam UU 11/2006, sebagai upaya mitigasi kerusakan sumber daya alam dalam rangka memenuhi target pengurangan emisi dari sektor Forestry and Other Land Uses (FoLU) dan energi,” ungkap Anggi.
KLHK menargetkan pembangunan HTE seluas 1,3 juta hektar di seluruh Indonesia untuk menyuplai kebutuhan biomassa kayu sebagai pengganti energi batubara (bioenergi). Dengan kebutuhan biomassa kayu mencapai 8 sampai 14 juta ton wood pellet per tahun.
Dalam dokumen Rencana Operasional FoLU Net Sink 2030 yang selaras dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) untuk memenuhi target net sink 2030 dibutuhkan pembangunan hutan tanaman termasuk HTE baru hingga 6 juta hektar. Kekurangan 4 juta hektar akan dipenuhi melalui pembangunan hutan tanaman (termasuk HTE) dengan pendekatan multi usaha kehutanan, kemitraan kehutanan, dan kerjasama Perhutanan Sosial.
Indonesia memiliki target penurunan emisi yang meningkat menjadi 31,89 persen tanpa syarat Businness as Usual (BAU) dan menjadi 43,20 persen bantuan Internasional pada tahun 2030. NDC yang ditingkatkan ini adalah transisi menuju NDC kedua Indonesia yang akan diselaraskan dengan Long Term Low Carbon and Climate Resilience Strategy (LTS-LCCR) 2050 dengan visi untuk mencapai zero emissions pada 2060 atau lebih cepat.
Dalam dokumen RUPTL, Perusahaan Listrik Negara (PLN) berkomitmen untuk memanfaatkan biomassa kayu untuk dibakar bersamaan batu bara (co-firing) hingga porsi 10 persen di 52 PLTU di Indonesia. Inilah yang kemudian diklaim sebagai energi bersih.
Dari 31 perusahaan (kecuali BUMN) yang berkomitmen berbisnis HTE, total alokasi untuk penanaman tanaman energi adalah 188.772 hektare. Masih jauh dari target 2,3 juta hektar, hanya untuk memenuhi kebutuhan biomassa 52 PLTU co-firing. Target total kapasitas PLTU yang di implementasi co-firing 18,895 GW.
Berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) sampai dengan 2040, biomassa akan menjadi penyumbang energi terbarukan terbesar, hanya ada di bawah energi berbasis fosil, tapi di atas energi terbarukan lainnya.
Implementasi saat ini sudah 43 PLTU yang memakai 1 juta ton biomassa. Sampai dengan 2040, biomassa akan menjadi penyumbang energi terbarukan terbesar, hanya ada di bawah energi berbasis fosil, tapi di atas energi terbarukan lainnya.
Transisi energi dengan co-firing berpotensi menyebabkan deforestasi. Untuk menuju energi bersih, seharusnya fokus pada perlindungan dan restorasi hutan, serta pemenuhan kebutuhan energi tanpa merusak lingkungan. Pemberdayaan masyarakat lokal, pembangunan berkelanjutan, dan penghentian perambahan ilegal adalah langkah penting untuk melindungi masa depan hutan Aceh. [acl]
Reporter: Fitri Jualiana, Haris AlQausar