Usaha Cincau yang Bertahan Dihantam Corona

Pagebluk Covid-19 telah berdampak serius terhadap usaha cincau milik Yuk Fa. Produksinya menurun tajam hingga 70 persen, karena permintaan terus menurun sejak 2020.

Enam tangki stainless berjejer di atas tungku api bersumber dari gas, hanya dua yang terisi untuk memasak batang dan daun cincau (Mesona chinensis) yang berwarna kehitaman dalam  tangki setinggi bahu orang dewasa.

Meski peluh membasahi dahi dan bajunya akibat hawa panas mencapai 36 derajat. Dua pria tak berjarak jauh dari tangki itu, tampak sibuk mengaduk-aduk rebusan air kehitaman sebagai bahan dasar membuat cincau hingga mendidih. 

Setiap muncul buih di permukaan, kedua pria tadi langsung membuangnya ke dalam ember yang terletak di samping. Bukan sekali saja, berkali-kali harus menahan hawa panas untuk menyingkirkan buih tersebut.

Sedangkan tiga pria lainnya ada yang membersihkan kotak kaleng sebagai wadah tempat  cincau ditampung. Ada juga mempersiapkan adonan cincau sebelum dimasukkan dalam mesin pengaduk berkapasitas besar.

Setelah mendidih, pekerja langsung memisahkan ampas daun cincau dengan air hasil rebusan. Lalu dimasukkan ke dalam kukusan lainnya untuk dimasak kembali sampai mendidih. Lagi-lagi pekerja harus membersihkan kembali sisa-sisa ampas daun cincau. Harum khas cincau seperti rempah dedaunan semerbak di ruangan itu dari asap yang keluar dari tangki stainless itu.

Drum stainless steal dibersihkan sesegera mungkin untuk menghindari korosi. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

Pembuatan cincau tak sampai di situ. Pekerja harus mempersiapkan tepung kanji untuk dicampurkan dengan air cincau yang direbus mendidih tadi dalam mesin pengaduk sekitar 30 menit.

Setelah itu dimasukkan ke dalam kaleng kecil berukuran 8×8 centimeter, diendapkan hingga mengeras seperti agar-agar dengan warna kehitaman. Setelah itu cincau tersebut siap dipasarkan.

Yuk Fa (61), pemilik Cincau di Gampong Laksana, Banda Aceh tidak hanya berpangku tangan memperhatikan para pekerjanya. Sesekali dia memberikan arahan dalam proses pembuatan cincau.

Bagi Yuk Fa, kualitas, kebersihan dan kepuasan pelanggan menjadi hal penting baginya. Sehingga ia selalu memperhatikan setiap proses pembuatan sudah sesuai dengan prosedur agar bisa menghasilkan cincau yang baik.

“Bagi saya kualitas itu penting. Makanya itu setiap selesai dipakai alatnya langsung dicuci, biar gak berkerak berpengaruh kualitas cincau,” kata Yuk Fa kepada digdata.id, Senin (18/04/2022).

Cincau yang sudah selesai dimasak kemudian dicampur dengan mesin pengaduk berkapasitas besar. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

Bertahan di Masa Sulit

Cincau menjadi makanan favorit untuk berbuka puasa selama ramadan di Aceh. Bentuknya kenyal merupakan gel serupa agar-agar dihasilkan melalui ekstrak daun dari tanaman yang dikenal dengan nama janggelan (Mesona palustris BL).

Cincau hitam adalah spesies tanaman penghasil cincau yang termasuk dalam genus Platostoma dari keluarga Lamiaceae. Spesies ini tumbuh secara luas di wilayah Asia Timur seperti Tiongkok tenggara dan Taiwan. Habitatnya umumnya mencakup daerah jurang, daerah berumput, daerah kering, dan dan daerah berpasir.

Cincau tak hanya menyegarkan, ternyata memberi beragam manfaat bagi kesehatan, khususnya bagi orang yang menjalankan ibadah puasa. Sehingga tak heran banyak diburu orang menjelang berbuka puasa.

Namun di balik kesuksesannya membangun bisnis turun temurun warisan leluhurnya yang sudah ia geluti selama 20 tahun. Pagebluk Covid-19 menjadi pukulan berat baginya. Kendati yang dirasakan Yuk Fa juga ikut berdampak seluruh industri maupun usaha lainnya di Indonesia.

Cincau yang sudah selesai dimasak kemudian dicampur dengan mesin pengaduk berkapasitas besar. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

Yuk Fa mengaku, selama pagebluk 70 persen kapasitas produksi dikurangi, karena permintaan kurang, ditambah lagi daya beli masyarakat menurun selama virus corona menyerang Indonesia. Hingga sekarang, industri rumahan ini hanya menggunakan dua tangki stainless dari enam yang tersedia.

Berdasarkan data dari laporan Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 Terhadap Pelaku Usaha, pemberlakukan physical distancing dan PSBB telah berimbas pada operasional perusahaan baik Usaha Menengah Besar (UMB) maupun Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Ada sejumlah perusahaan yang berhenti beroperasi akibat pagebluk Covid-19. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), sedikitnya 8,76 persen perusahaan berhenti beroperasi. Sedangkan 5,45 persen beroperasi dengan penerapan Work From Home (WFH) untuk sebagian pegawai. Ada juga perusahaan yang menerapkan seluruh pegawainya bekerja di rumah, yaitu  2,05 persen.

Ada strategi lain yang diambil perusahaan untuk bertahan di tengah pagebluk Covid-19 dengan mengurangi kapasitas jam kerja, mesin dan tenaga kerja sebanyak 24,31 persen. Hanya 0,49 persen yang beroperasi melebihi kapasitas seperti sebelum pagebluk.

Cincau yang sudah selesai dimasak kemudian dicampur dengan mesin pengaduk berkapasitas besar. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

Artinya secara umum ada 6 dari setiap 10 perusahaan yang masih beroperasi seperti biasa, atau setara dengan 58,95 persen beroperasi seperti sebelum pagebluk.

Selain itu ada 35,56 persen perusahaan memilih mengurangi jumlah pegawai yang bekerja, untuk bertahan selama pagebluk Covid-19.

Hanya 2,15 persen perusahaan yang memilih untuk menambah jumlah pegawai selama pagebluk. Sedangkan sisanya 62,29 persen perusahaan memilih tidak mengurangi dan menambah jumlah pegawai yang bekerja, mereka tetap mempertahankan seperti yang sudah ada.

Dengan kondisi seperti itu, tentunya berdampak serius terjadi penurunan pendapatan, yaitu  mencapai 82,85 persen perusahaan. Sedangkan tetap tanpa perubahan 14,60 persen dan terjadi peningkatan hanya 2,55 persen. 

Secara umum 8 dari setiap 10 perusahaan cenderung mengalami penurunan pendapatan selama pagebluk Covid-19 di Indonesia. Lihat grafik di bawah ini:

Bila ditinjau sektor usaha yang paling terdampak selama pagebluk, ternyata bidang akomodasi, makanan dan minuman, yaitu mencapai 92,47 persen. Selama badai Covid-19 menyerang Nusantara, masyarakat diminta untuk tetap berada di rumah guna memutuskan mata rantai penyebaran virus corona, ini menjadi penyebab sektor tersebut cukup terdampak.

Konsekuensinya sektor makanan dan minuman menjadi paling utama terdampak, termasuk usaha cincau milik Yuk Fa yang bergerak di bidang minuman. Karena masyarakat lebih memilih berada di rumah, sehingga berkurang orang berada di ruang publik. 

Sedangkan sektor lainnya adalah jasa mencapai 90,90 persen dan transportasi serta pergudangan 90,34 persen.

Secara umum 8 dari setiap 10 perusahaan baik UMKM maupun UMB cenderung mengalami penurunan permintaan, karena pelanggan juga terdampak Covid-19. 

Yaitu 80,24 persen Usaha Menengah Besar (UMB) penurunan pendapatan karena klien mereka ikut terdampak. Sedangkan untuk Usaha Mikro Kecil. (UMK) ada 78,35 persen mengalami penurunan omzet.

Pengalaman ini juga yang dialami oleh Yuk Fa, usahanya yang masuk UMKM juga merasakan langsung dampak pagebluk. Dia mengaku sejak 2020 lalu, pendapatannya menurun drastis hingga 70 persen, karena permintaan dari masyarakat kurang akibat daya beli menurun.

Data dari BPS menunjukkan, penurunan daya beli masyarakat itu sejalan dengan laju inflasi saat ini yang rendah bahkan terkontraksi 0,1 persen pada Juli 2020, kontraksi alias deflasi 0,05 persen pada Agustus dan September 2020. 

Saat memasuki deflasi atau harga tidak mengalami kenaikan karena sepi permintaan. Begitu juga pertumbuhan ekonomi menurun, bahkan mengalami kontraksi 5,32 persen pada kuartal II 2020 dan diproyeksikan kembali kontraksi meski membaik mencapai 2 persen pada kuartal III 2020.

Cincau yang sudah selesai dicampur dengan mesin kemudian di dinginkan ke dalam kotak. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

Cobaan menerpa usahanya tak sampai di situ. Kata Yuk Fa, kenaikan harga barang dalam sebulan terakhir ini semakin memperburuk kondisi. Selain bahan baku ikut mahal, permintaan juga terus menurun.

Kendati demikian, Yuk Fa mengaku tidak buru-buru menaikkan harga jualnya. Selama bulan ramadhan masih tetap mempertahankan harga lama, yaitu Rp 20 ribu per kotaknya. Meskipun dia harus menyiasati dengan cara sedikit mengurangi ketebalan cincau, untuk mengantisipasi menaikkan harga jual.

“Sengaja saya tidak naikkan harga selama bulan ramadhan, biar dengan harga lama dulu, karena saat puasa banyak yang membutuhkan, kondisi ekonomi masyarakat pun masih kurang baik, dengan naiknya harga barang,” imbuhnya.

Meskipun demikian, Yuk Fa mengaku tetap bisa terus bertahan dengan harga lama. Ia mengaku setelah lebaran Idul Fitri nanti akan menaikkan harga menjadi Rp 25 ribu per kotak. Kenaikan harga ini mengingat bahan baku daun cincau yang didatangkan dari luar Aceh ikut naik harganya, termasuk biaya transportasi.

Cairan cincau dicampur dengan tepung kanji untuk proses pengentalan. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

“Namun harganya akan segera naik menjadi Rp 25.000/kotak pada bulan Mei setelah lebaran nanti,” kata Yuk Fa.

Meskipun kondisi perekonomian masyarakat yang belum stabil, sebut Yuk Fa, bahan baku mahal dan daya beli masyarakat rendah. Pihaknya tidak pernah merendahkan kualitas cincau yang diproduksinya. 

Kualitas harus tetap dijaga dan itu menjadi hal terpenting. Sehingga tidak heran banyak langganan dari berbagai daerah datang membeli untuk dijual kembali. “Kualitas sangat kami jaga, meskipun banyak permintaan, kami produksi sesuai dengan permintaan saja,” jelasnya.

 Dia menyebut bahan baku daun cincau harus didatangkan dari pulau Jawa. Yuk Fa memilih daun cincau berkualitas tinggi. Selain itu, kebersihan juga menjadi modal penting untuk mendapatkan kepercayaan konsumen, sehingga mampu bertahan di tengah badai pagebluk Covid-19 melanda global.[acl]

Cincau yang sudah selesai dimasak kemudian dicampur dengan mesin pengaduk berkapasitas besar. Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.