Home Headline Warga Pameu, Menolak Tambang demi Masa Depan
HeadlineJurnalisme Data

Warga Pameu, Menolak Tambang demi Masa Depan

Share
Puluhan warga empat gampong Mukim Pameu mendeklarasi tolak perusahaan tambang beroperasi di Pameu, Sabtu (3/5/2025). Foto by WALHI Aceh
Share

Matahari belum tinggi ketika rombongan mobil berpelat luar daerah melintasi jalan menuju jantung Mukim Pameu, Kecamatan Rusip Antara. Hari itu, Selasa, 22 Oktober 2024, menjadi saksi ratusan warga dari empat kampung di Mukim Pameu bersatu, berdiri di halaman balai desa, bukan untuk menyambut tamu, melainkan untuk menolak mereka.

Di Mukim Pameu, air adalah kehidupan, hutan adalah rumah. Kini keduanya terancam oleh rencana tambang emas. Warga melawan, bukan demi emas, tapi demi masa depan yang bersih dan lestari. Air bukan sekadar aliran, tapi denyut kehidupan, pembasuh sawah, penopang kebun kopi, dan penghidup hari-hari warga yang menggantungkan nasib pada keseimbangan alam.

Tapi kini, ketenangan itu terusik. Datanglah perusahaan tambang membawa rencana menggali emas, di tanah yang bagi warga lebih berharga dari apapun, tanah air dan warisan leluhur. Di Pameu, emas bukanlah harapan, tetapi ancaman yang datang bersama bayang-bayang pencemaran, deforestasi, dan hilangnya rumah bagi manusia dan satwa.

Seharusnya kedatangan perwakilan perusahaan bersama Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Rusip Antara akhir Oktober 2024 menjadi awal dari sebuah proses konsultasi, sosialisasi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dirancang perusahaan tambang untuk meyakinkan masyarakat. Namun rencana itu gagal, warga sudah lebih dulu bersiap dengan keputusan mereka.

Di tangan warga terbentang spanduk bertuliskan pesan-pesan penolakan, “Stop Tambang Emas, Kami Atas Nama Masyarakat Kemukiman Pameu Kecamatan Rusip Antara Kabupaten Aceh Tengah Menolak Tambang Emas dan Perak,,,, HARGA MATI!”. Suara mereka tak meninggi, tapi sikap mereka jelas, damai, tapi tak akan mundur.

Perwakilan dari PT Pegasus Mineral Nusantara (PMN) yang datang untuk melakukan sosialisasi rencana AMDAL menghadapi tembok kokoh berupa solidaritas warga. Tidak ada kekerasan, tak ada keributan, hanya sedikit nada riuh sikap protes warga agar tambang tidak ada di tanah mereka.

Tapi niat sosialisasi itu terhenti sebelum dimulai. Harapan mendapatkan persetujuan dari masyarakat berujung buntu, pihak perusahaan kembali dengan tangan hampa. Mereka terpaksa menghidupkan mobil – lalu tancap gas dari Mukim Pameu meninggalkan ratusan warga yang sedang murka.

“Sejak awal kami sudah nyatakan menolak ada tambang di tempat kami,” kata seorang tokoh perempuan Mukim Pameu, Rospinem, Sabtu (3/5/2025) kepada digdata.id.

Warga menilai bahwa rencana tambang emas di wilayah seluas hampir seribu hektar itu berpotensi membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat. Pameu dikenal sebagai wilayah subur dengan banyak aliran sungai yang menjadi sumber kehidupan warga.

Kehadiran tambang, apalagi dengan potensi limbah berbahaya dan pengrusakan kawasan resapan air, dipandang sebagai ancaman langsung terhadap ruang hidup mereka.

Bagi masyarakat Pameu, alam bukan sekadar lanskap indah, juga nadi kehidupan, sumber pangan, air, dan obat-obatan juga rumah bagi cerita-cerita leluhur, makam para pendahulu, serta jejak sejarah panjang yang tak bisa dibeli dengan royalti tambang.

“Apapun yang namanya tambang, kami tidak terima, karena kami sadar bisa merusak sawah dan mencemari air bersih,” ungkap Kak Ros, sapaan akrab Rospinem.

Pameu bukan kampung biasa. Terletak di antara pegunungan dan hutan lebat, kawasan ini dikelilingi 28 aliran sungai yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat. Setiap tetes air dari mata air di hutan adalah kehidupan, untuk minum, mengairi sawah, mencuci, bahkan untuk menyembuhkan.

Ketika PT Pegasus Mineral Nusantara mengumumkan rencana menambang emas di hampir seribu hektar wilayah Pameu, warga merasa tanah mereka seperti ditarik dari bawah kaki. Ketakutan mereka bukan tanpa dasar. Dari pengalaman daerah lain, mereka tahu, tambang bisa membawa air raksa, sianida, debu, dan konflik.

Mereka juga tahu, tidak semua kerusakan bisa diperbaiki. Sekali sungai tercemar, butuh waktu ratusan tahun untuk pulih, itupun jika bisa. Sekali hutan gundul, banjir dan longsor akan menjadi tamu tetap. Mereka menyebutnya sebagai “harga terlalu mahal” untuk emas yang tidak mereka minta.

“Kami khawatir tambang emas ini akan merusak lingkungan hidup yang ada di Pameu, menghancurkan kebun, dan membahayakan masa depan generasi penerus nanti,” ucap Kak Ros.

Puluhan warga dari empat gampong di Mukim Pameu menggelar musyawarah masuknya perusahaan tambang, Sabtu 3 Mei 2025. Foto by WALHI Aceh

***

Bersatu Menyatukan Langkah

Suasana Balai Kampung Merandeh Paya tampak berbeda dari biasanya pada Sabtu pagi, 3 Mei 2025. Puluhan warga dari empat kampung di Mukim Pameu kembali berkumpul, bukan untuk urusan adat atau panen raya, tapi untuk satu suara, menolak tambang emas. Hadir juga perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh sejak awal sudah bersama warga.

Di ruangan sederhana berdinding papan itu, tak terdengar keraguan. Satu per satu warga menyampaikan alasan mengapa mereka tak menginginkan kehadiran PT PMN di tanah mereka. Perusahaan itu disebut tengah bersiap membuka tambang emas dengan konsesi kerja mencakup empat kampung di Mukim Pameu, daerah yang selama ini menjadi jantung pertanian masyarakat Pameu.

Tapi, pertemuan hari itu terasa lebih penting dari sekadar rapat kampung biasa. Puluhan warga dari empat kampung hadir untuk satu tujuan, menegaskan kembali bahwa tanah mereka bukan tempat untuk tambang.

Apa lagi langkah awal perusahaan yang telah mengambil sampel di sejumlah titik di kawasan tersebut, dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap asas partisipatif dan prinsip kehati-hatian dalam tata kelola sumber daya alam.

Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Aktivitas survei tambang disebut-sebut sudah berjalan. Sejumlah titik telah diambil sampelnya untuk menguji kandungan emas di dalam tanah. Bagi warga, itu sinyal awal bahaya.

“Sudah diambil sampel sekarang di beberapa titik,” ungkap Kak Ros dalam pertemuan itu.

Bagi warga lahan pertanian di Pameu bukan sekadar ladang. Ia adalah warisan, sumber nafkah, dan penjaga keseimbangan. Air dari hulu mengalir ke sawah dan kolam ikan.

Wilayah Pameu merupakan bentang alam yang memiliki karakteristik ekohidrologis sensitif. Terdapat puluhan mata air dan jalur sungai yang mengalir langsung ke lahan-lahan pertanian serta pemukiman warga.

Kegiatan ekstraktif, terutama tambang emas, membawa risiko tinggi terhadap pencemaran logam berat seperti merkuri dan sianida, yang berpotensi mengkontaminasi sistem air tanah dan permukaan.

Secara ekologis, kawasan ini juga merupakan penyangga hutan tropis yang kaya keanekaragaman hayati dan berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Dampak jangka panjang dari deforestasi dan fragmentasi habitat akibat tambang akan sangat merugikan, tidak hanya secara lokal tetapi juga dalam konteks penyelamatan kawasan Ulu Masen.

Rencana masuknya perusahaan tambang emas mengancam bukan hanya kelestarian hutan, tapi juga keberlangsungan hidup 2.232 penduduk yang selama ini menggantungkan hidup pada alam yang masih perawan.

Di antara hamparan hutan lebat seluas hampir 48 ribu hektar, kehidupan masyarakat Mukim Pameu menyatu dengan alam. Sebagian besar warga menggantungkan hidup dari hasil hutan bukan kayu, bertani kopi, coklat, nilam, durian dan sejumlah potensi perkebunan lainnya di lereng-lereng perbukitan.

Bagi mereka, hutan bukan sekadar lanskap hijau, melainkan ruang hidup yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Namun, keseimbangan itu kini terancam. Berdasarkan kajian singkat yang dilakukan WALHI Aceh, jika perusahaan tambang emas yang saat ini sedang dalam proses perizinan mulai beroperasi, seluruh warga Mukim Pameu diperkirakan akan terdampak langsung. Tak sedikit dari mereka yang kemungkinan harus meninggalkan kampung halaman akibat potensi relokasi besar-besaran.

“Tambang itu sudah masuk hingga ke perkebunan dan sawah kami,” ungkap Alif, seorang pemuda Pameu, Sabtu (3/5/2025) kepada digdata.id.

WALHI Aceh, dalam analisis spasialnya, menyebut bahwa sebagian besar wilayah Mukim Pameu merupakan kawasan hutan lindung, mencapai 42.889 hektar. Selain itu, terdapat 11 hektar hutan produksi, serta 4.914 hektar wilayah yang termasuk dalam Area Penggunaan Lain (APL). Uniknya, seluruh area ini berada tepat di hutan Ulu Masen yang kaya keanekaragaman hayati dunia.

Jika eksplorasi tambang dilakukan, risiko kerusakan lingkungan tak bisa dihindari. WALHI Aceh memprediksi dampaknya akan sangat besar, bukan hanya pada hutan, tapi juga pada sistem hidrologi dan keanekaragaman hayati.

Data dari portal terbuka acehdata.digdata.id menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, Mukim Pameu justru berhasil menjaga hutan dengan baik. Deforestasi di wilayah tersebut menunjukkan tren menurun yang signifikan.

Pada tahun 2019, kehilangan tutupan hutan mencapai 748 hektar, namun angka ini turun drastis menjadi hanya 151 hektar pada 2023, penurunan lebih dari 4 persen. Fakta ini menjadi bukti bahwa masyarakat lokal telah menjadi penjaga hutan yang efektif.

“Kalau perusahaan itu beroperasi di sana, ancaman lainnya adalah akan terjadi berbagai bencana, terutama bencana hidrologi dan berpotensi akan terjadi konflik satwa,” kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, Senin (22/10/2024) melalui siaran pers.

Masyarakat Kemukiman Pameu selama ini bergantung pada sektor pertanian, perkebunan, dan hasil alam lainnya, sungai sebagai sumber penghidupan warga harus bebas dari pencemaran, serta hutan dan segala keragaman hayatinya harus dilindungi dari kerusakan.

Hal itulah yang menjadi motovasi masyarakat untuk menolak keras perusahaan tambang tersebut. Warga menilai keberadaan Sumber Daya Alam (SDM) yang tersedia saat ini sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dikutip dari pemberitaan dari mongabay.id, Leuser Coffee melakukan survei terhadap kopi arabika di Mukim Pameu pada awal tahun 2018. Survei tersebut menunjukkan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan untuk mendukung produksi kopi berkualitas tinggi.

Kopi Gayo, yang berasal dari daerah dataran tinggi Aceh seperti Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues, telah menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Cita rasa khasnya diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan, situs kuliner Taste Atlas menobatkan kopi arabika Gayo sebagai kopi terbaik di Asia. Lebih jauh lagi, kopi ini juga masuk dalam daftar 13 kopi terbaik dunia.

Namun, di balik kebanggaan tersebut, ada ancaman nyata terhadap keberlangsungan kopi Gayo. Kerusakan lingkungan, termasuk hutan, akan berdampak langsung pada kualitas dan produksi kopi. Jika hutan dan lingkungan rusak, akan sangat berpengaruh pada kopi.

Salah satu ancaman terbesar yang dihadapi saat ini adalah rencana pembukaan tambang emas di Pameu. Jika tambang tersebut benar-benar terwujud, sekitar 10 persen produksi kopi arabika Gayo akan hilang. Hal ini tentu menjadi keprihatinan besar, mengingat pentingnya kopi Gayo sebagai komoditas unggulan daerah.

Hasil survei tersebut menyebutkan ketergantungan kopi pada hutan sangat berkaitan erat. Semakin bagus kondisi hutan, semakin baik kualitas kopi. Pohon kopi sangat bergantung pada suhu, dan ketika suhu meningkat akibat kerusakan hutan, kualitas kopi pun akan menurun. Hasil ini menyoroti betapa eratnya hubungan antara kelestarian hutan dan keberlanjutan produksi kopi Gayo yang berkualitas tinggi.

Dengan demikian, menjaga kelestarian lingkungan tidak hanya penting untuk ekosistem, tetapi juga untuk masa depan kopi Gayo yang telah menjadi kebanggaan Aceh dan Indonesia di mata dunia. Terlebih lagi, masyarakat Kemukiman Pameu 80 persen penduduknya sangat ketergantungan dengan hasil alam dan kondisi iklim dan ekosistem hutan yang baik, agar produktifas komoditas pertanian dan perkebunan mereka bisa lebih produktif.

Ada 10 komoditas perkebunan yang terdapat Kecamatan Rusip Antara, khususnya di Mukim Pameu yang menjadikan sebagai sumber pendapatan utama warga setempat. Jenis tanaman yang paling luas adalah kebun kopi arabika seluas 4.019 hektar lebih, kakao 102 hektar, kopi arabika 63 hektar, kemiri 46 hektar dan pinag 24,5 hektar.

Selain itu juga terdapat komoditas lahan perkebunan lainnya di Mukim Pameu yang menjadi penopang perekonomian masyarakat. Yaitu aren seluas 6 hektar, Kelapa Dalam 6 hektar, tembakau 11 hektar, Cassiavera 1 hektar lebih dan serewangi seluas 15 hektar.

Keberadaan perusahaan tambang tersebut, tidak hanya mengganggu sektor perekonomian serta berpotensi terciptanya masyarakat miskin baru, karena lahan, rumahnya harus digusur, sehingga harus membangun penghidupan baru. Ternyata juga berdampak serius terhadap beberapa sungai yang juga berdampak pada hilirnya.

Berdasarkan pengakuan warga setempat ada 28 sungai kecil dan besar yang memiliki SDA yang melimpah, seperti ikan dan potensi lainnya. Termasuk air tersebut untuk kebutuhan perkebunan dan persawahan warga.

Keberadaan sungai itu juga dijadikan warga menjadi sumber kebutuhan keluarga, seperti kebutuhan mencuci pakaian dan lainnya, mandi hingga ada yang dijadikan untuk kebutuhan air minum warga, mengingat kondisi air sungai di sana masih sangat baik dan layak untuk dikonsumsi.

Sungai yang ada di Pemukiman Pameu, Kecamatan Rusip Antara masuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Wayla yang tersebar hingga ke Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya dan Aceh Tengah. Sudah tentu bila hulunya di Mukim Pameu mengalami pencemaran, maka dampaknya akan terjadi hingga ke hilir yang dilintasi DAS Krueng Wayla.

Dari data tingkat kerusakan terlihat jelas bahwa DAS Krueng Wayla setiap tahunnya mengalami deforestasi. Sejak 2019 hingga 2023 sudah kehilangan tutupan hutan di DAS tersebut seluas 4.106 hektar. Kondisi sekarang seja kondisi DAS tersebut sudah mengkhawatirkan, tentunya diperkirakan akan semakin parah kerusakannya bila perusahaan tambang tersebut beroperasi di Mukim Pameu.

 

Sebaran Sungai di Kecamatan Rusip Antara

No

Nama SungaiBatas Administrasi Kampung
1Weh Bale1.    Merandeh Paya, Tanjung, Paya Tampu, Kuala Rawa
2Weh Rusip1.    Rusip, Pantan Tengah, Pilar, Atu Singkih, Pantan Bener
3Arul Sane1.    Laut Jaya

Dampak serius lainnya berpotensi akan meningkatnya eskalasi konflik satwa dengan manusia. Ini mengingat terdapat 3 koridor satwa kunci, yaitu Harimau Sumatera, Gajah Sumatera dan Badak Sumatera. Bila kondisi hutan di koridor tersebut dipastikan konflik akan terus terjadi masa yang akan datang.

Koridor Satwa di Kecamatan Rusip Antara

NoKoridor SatwaLuas (ha)
1Harimau66.900
2Gajah30.528,74
3Badak42.667,17

Kata Om Sol, lokasi tambang yang diperkirakan luas mencapai 996,8 hektar memiliki dampak negatif terhadap penghidupan masyarakat serta lingkungan hidup. Terutama akan mengganggu sumber perekonomian warga, seperti akan rusak lahan pertanian dan perkebunan.

Dalam Mukim Pameu berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, kata Om Sol, terdapat 28 sungai yang cukup banyak tersimpan kekayaan alam dan biodiversitas yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat serta berperan menjaga kesimbangan alam.

“Kalau perusahaan itu beroperasi di sana, ancaman lainnya adalah akan terjadi berbagai bencana, terutama bencana hidrologi dan berpotensi akan terjadi konflik satwa,” tegasnya.

Kata Om Sol, Mukim Pameu merupakan daerah yang sudah diduduki oleh warga sudah beratus tahun. Hal ini dibuktikan ada sejumlah makam tua, situs sejarah dan berbagai kearifan lokal lainnya. Bila perusahaan tersebut beroperasi, dipastikan makam dan situs budaya yang lama dipertahankan oleh warga bakal hilang.

“Semua dampak negatif itu nanti tidak hanya warga setempat yang dirasakan, tetapi juga puluhan ribu warga lainnya di hilir nantinya,” jelasnya.

WALHI Aceh meminta kepada seluruh pihak, baik pemerintah, perusahaan maupun lainnya untuk menghargai sikap kritis warga yang menolak keberadaan tambang tersebut. Karena warga khawatir keberadaan perusahaan tersebut akan merusak lingkungan hidup, hilang hak – hak asasi, konflik sosial, dan hilang sumber – sumber penghidupan masyarakat, tidak hanya masyarakat dalam Kemukiman Pameu, juga akan berdampak terdampak masyarakat lainnya.

“Jadi kami (WALHI Aceh) meminta siapapun untuk menghargai sikap warga yang menolak perusahaan tambang itu, bagi warga juga harus konsisten,” tegasnya.

Sejak warga mengetahui ada perusahaan tambang emas hendak beroperasi di daerahnya, masyarakat Mukim Pameu menolak keras. Hal ini dibuktikan saat tim Studi AMDAL dari perusahaan melakukan sosialisasi, ratusan warga mengepung balai kampung sebagai bentuk protes dan menolak adanya perusahaan tambang.

Masyarakat Mukim Pameu membacakan sembilan alasan penolakan aktivitas pertambangan tersebut, yaitu:

  1. Perekonomian masyarakat Kemukiman Pameu, Kecamatan Rusip Antara, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh selama ini bergantung pada sektor pertanian, perkebunan dan hasil alam lainnya. Sehingga dipandang perlu untuk diselamatkan lahan pertanian dan perkebunan dari investasi ektraktif.
  2. Menyelamatkan lahan pemukiman penduduk yang dihuni oleh Laki-laki 1.183 jiwa, perempuan 1.089 jiwa dengan total 2.272 jiwa
  3. Menyelamatkan sungai sebagai sumber penghidupan warga, terdapat 28 sungai di Mukim Pameu
  4. Menyelamatkan hutan dan biodiversity
  5. Mencegah terjadinya konflik satwa dengan manusia
  6. Mencegah terjadinya krisis iklim
  7. Mencegah terjadinya segala bentuk bencana
  8. Mencegah terjadi konflik sosial antar masyarakat
  9. Menjaga nilai-nilai budaya, situs sejarah dan kearifan lokal lainnya

Warga Mukim Pameu diakhir pertemuan juga menyampaikan, semua ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perlawanan panjang. Bagi warga Pameu, menolak tambang adalah bagian dari merawat kehidupan. Mereka sadar, keputusan hari ini akan menentukan wajah kampung mereka esok.[acl]

Share
Related Articles
BeritaHeadlineNews

Yuk, Peduli Thalasemia

Ratusan penyandang Thalasemia di Aceh berkumpul memperingati hari Tahalsemia sedunia. Selain bertemu...

BeritaHeadlineNewsUncategorized

Gempa Abdya Timbulkan Kerusakan pada Rumah Warga dan Jalan

Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), melaporkan, tiga kepala keluarga (KK) terdampak akibat...

BeritaHeadlineNews

Gempa M6,2 Guncang Abdya

Gempa bumi mengguncang wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya, Minggu (11/5/2025) pukul 15.57...

Pihak keamanan melakukan negosiasi dengan warga Seunebok Dalam terkait penyegelan lahan sawit PT ASN oleh Warga/ Foto : Digdata.id
BeritaHeadlineJurnalisme Data

Dari Seuneubok Pusaka, Suara dari Tanah Mereka

Matahari mulai merangkak naik saat suara langkah ratusan warga menggema di antara...