Oleh : dr. Iziddin Fadhil. M.K.M., AIFO-K
Praktisi Kesehatan Wakil Sekretaris 1 IDI Wilayah Aceh
Pengurus Indonesia Health Observer
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1) menyatakan “bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pencapaian amanat konstitusi tersebut harus didukung dengan pembangunan seluruh bidang kehidupan yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara. Salah satu bidang yang berpengaruh dalam pembangunan nasional adalah bidang kesehatan. Karena bidang kesehatan adalah cerminan kemakmuran masyarakat dan menjadi salah satu indikator kesejahteraan rakyat.
Ketika kita berbicara produk hukum, setiap negara memiliki sistem, norma, dan prinsip hukum yang berbeda-beda sesuai dengan wilayah negara tersebut. Umumnya sistem hukum ini juga dipengaruhi oleh adat, agama, budaya serta hingga warisan kolonial yang sempat menjajah negara tersebut. Omnibus Law adalah satu konsep hukum yang baru di Indonesia yang diperkenalkan dan diimplementasikan oleh Presiden joko Widodo sebagai satu instrumen upaya menyederhanakan alur birokrasi dengan tujuan meningkatkan nilai laju investasi di Indonesia.
Secara Epistimologi Omnibus Law berasal dari bahasa latin yang berarti “For Everything” yang bertujuan untuk menyederhanakan semua produk hukum yang saling berkaitan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Konsep Omnibus law telah banyak digunakan di negara-negara Anglo Saxon yang menganut sistem hukum Common Law. Sistem hukum Common Law ini berasal dari Inggris dan banyak diterapkan di negara-negara yang menggunakan berbahasa inggris sebagai bahasa nasionalnya, seperti Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Irlandia, Wales, Australia dan di Asia Tenggara konsep ini diterapkan juga oleh Negara tetangga kita, Fillipina. Irlandia merupakan salah satu negara yang mencapai rekor dalam penerapan Omnibus Law. Hal ini karena Irlandia mampu menghapus 3.225 Undang- Undang melalui penerapan konsep hukum Omnibus Law.
Indonesia sendiri menganut sistem hukum campuran (Hukum Sipil, Hukum Agama dan Hukum Adat). Campuran sistem hukum ini mempunyai kontribusi terhadap pengembangan hukum di Indonesia yang umumnya dianut dari sistem hukum Eropa. yang merupakan peninggalan Kolonial. Keseluruhan hukum tersebut kemudian dimuat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Penerapan sistem Omnibus Law sepertinya kurang tepat untuk negara yang menerapkan sistem Civil Law (Hukum Sipil) seperti Indonesia, karena hal ini dikhawatirkan justru akan mengakibatkan sistem hukum dan perundangundangan yang berbeda dan potensial terjadi tumpang tindih sistem hukum. Pemerintah berencana menerapkan sistem Omnibus Law dibidang kesehatan. Pemerintah telah menyusun dan mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan. RUU ini menuai banyak penolakan dari seluruh praktisi kesehatan dan organisasi profesi kesehatan di Indonesia.
Penggabungan jenis profesi didalam satu produk Undang-Undang dianggap tidak mengakomodir profesionalisme sesuai spesifikasi profesi, padahal seperti yang kita ketahui setiap profesi kesehatan telah memiliki peraturan perundang-undangan sendiri yang sudah berjalan baik, bahkan ada yang baru saja disahkan dan juga sedang diperjuangkan. Seperti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Keperawatan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Kebidanan yang barus saja disahkan oleh DPR, bahkan ada RUU Kefarmasian yang juga sedang diperjuangkan melalui Prolegnas Tahun 2023, dan ini harus dihentikan dengan adanya RUU Omnibus Law Kesehatan.
Negara Indonesia merupakan negara hukum yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali meskipun dengan penuh tantangan dan ancaman. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan kebijakan melalui produk legislasi. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah dalam proses merumuskan undang-undang, sesuai penerapan sistem Civil Law, seharusnya meminta keterlibatan partisipasi masyarakat, begitupun pada saat pelaksanaan dan pengawasan undang-undang tersebut. Dengan keterlibatan masyarakat, maka tujuan pembentukan undang-undang untuk mewujudkan kesejahteraan umum akan tercapai. Namun pada proses penyusunan RUU Omnibus Law kesehatan ini, pemerintah seperti enggan melibatkan dan meminta pendapat masyarakat serta organisasi profesi untuk terlibat dan memberi masukan ide serta pikiran.
Hal ini dapat dilihat dari 454 pasal didalam RUU Omnibus Law Kesehatan ini, bisa dikatakan melemahkan atau memarginalkan fungsi dari organisasi profesi dan mengabaikan keselamatan masyarakat dan bahkan terkesan berpihak kepada asing.
Ada apa dan untuk kepentingan siapa pembentukan RUU Omnibus Law Kesehatan ini dibuat?
Omnibus Law Kesehatan Bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Didalam RUU Omnibus Law, tenaga Medis atau Dokter didefinisikan sebagai Tenaga Kesehatan. Sedangkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015 menyebutkan bahwa Profesi Dokter dan Dokter Gigi dianggap mempraktikkan ilmu kedokteran secara harfiah dibandingkan dengan profesi-profesi perawatan kesehatan terkait. Oleh karenanya profesi Dokter dan Dokter Gigi disebut tenaga Medis, karena mempunyai kekhasan berbeda dengan tenaga kesehatan pada umumnya sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
Omnibus Law Kesehatan tidak Memperhatikan Keselamatan Rakyat
Tujuan negara Indonesia tertuang secara jelas di dalam Undang-undang Dasar 1945, tepatnya pada alenia ke 4, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Namun perlindungan yang tercantum didalam RUU Omnibus Law Kesehatan tidak mencerminkan perlindungan sebagaimana dimaksud didalam Undang-undang Dasar 1945. Didalam Pasal 84, 85 UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan jo Pasal 75, 76 UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran disebutkan, Setiap Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktek (SIP) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Namun sanksi yang ditetapkan didalam RUU Omnibus Law kesehatan naik 3 kali lipat. Dalam pasal 440 jo 441 RUU Omnibus law Kesehatan disebutkan sanksi terhadap tenaga kesehatan, dimana berbunyi “setiap Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki STR dan SIP dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Demikian juga didalam pasal Pasal 444 “Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan Tenaga Kesehatan yang tidak mempunyai SIP dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.
Namun tuntutan ini tidak berlaku bagi praktik Pelayanan Kesehatan Tradisional yang tidak memiliki kompetensi dan keahlian yang juga memberikan pelayanan kesehatan. Pasal 435 RUU Omnibus Law Kesehatan menyebutkan “Setiap orang yang tanpa ijin melakukan praktik Pelayanan Kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana disebutkan dipasal 162 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).”
Praktik pelayanan kesehatan tradisional yang tidak memiliki kompetensi dan menyebabkan kematian hanya didenda pidana maksimal penjara 1 (satu) tahun dan denda 100.000.000 juta rupiah. Apakah ini cerminan keberpihakan kepada masyarakat? apakah ini cerminan perlindungan kepada masyarakat sebagaimana pembukaan UU Dasar 1945.
Omnibus Law Kesehatan tidak Memihak pada Profesi Dokter dan Tenaga Kesehatan Indonesia.
Tenaga Dokter dan Dokter Gigi serta Tenaga Kesehatan warga negara asing, terkesan sangat difasilitasi melalui RUU Omnibus Law kesehatan ini. Hal ini tercermin didalam RUU Omnibus Law Kesehatan pada pasal 221 disebutkan “Tenaga Kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik di Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi dengan ketentuan (a). terdapat permintaan dari pengguna Tenaga Kesehatan warga negara asing; (b) untuk pelayanan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan; (c) untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.”
Sementara dalam UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, pada pasal 53 ayat (2) berbunyi “Pendayagunaan Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan (a). Alih teknologi dan ilmu pengetahuan; dan (b) ketersediaan Tenaga Kesehatan setempat”. Keberpihakan RUU Omnibus Law Kesehatan kepada Tenaga Kesehatan warga negara asing sangat jelas tergambarkan dan terlihat mengabaikan peran Tenaga Kesehatan lokal warga negara Republik Indonesia.
Ini adalah sebahagian kecil dari begitu banyak pasal didalam RUU Omnibus Law Kesehatan yang sangat potensi merugikan bagi rakyat dan Negara Republik Indonesia. Perlu keseriusan, waktu yang cukup tanpa tergesa-gesa, merdeka pikiran dan berpandangan dalam memberi saran, hilangkan kepentingan kelompok dan golongan agar produk legislasi yang dilahirkan benar-benar berpihak kepada rakyat dan negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Salah satu unsur Negara Hukum adalah setiap tindakan pemerintah atau pemerintahan harus berdasarkan hukum dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Negara diselenggarakan tidak atas kemauan semata sang penguasa, tetapi negara diperintah berdasarkan hukum yang sudah dibuat dan disediakan sebelumnya serta penguasa tunduk pada hukum tersebut. Tujuan lahirnya produk hukum dalam bentuk Undang-Undang sebagai aturan negara adalah (1) Memastikan adanya Kepastian Hukum bagi seluruh rakyat sebagai warga negara; (2) Memastikan hadirnya perlindungan dan jaminan atas terpenuhinya hak-hak rakyat sebagai warga negara; (3) Memastikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat sebagai warga negara; (4) Mengatur seluruh aspek sendi kehidupan berbangsa dan bernegara; (5) Terciptanya ketertiban dan kenyamanan serta kedamaian ditengah rakyat sebagai warga negara.
Atas dasar argumentasi ini, kami meminta kepada Pemerintah selaku inisiator pembentukan RUU Omnibus Law Kesehatan dan DPR selaku lembaga tinggi negara yang membahas dan mengesahkan RUU Omnibus Law kesehatan untuk menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan ini. Kita semua sepakat, sistem kesehatan negara kita harus diperbaiki dan disempurnakan, namun didalam perjalanan menuju perbaikan libatkanlah semua pihak dalam penyusunan produk hukum yang akan diterapkan. Mari bermusyawarah untuk satu mufakat demi kebaikan Bangsa dan Negara kita, Indonesia.