Kartini dan Khatijah dua sosok wanita tangguh didunia konservasi di Aceh, yang jauh dari sorotan media. Padahal selama ini, keberadaan mereka di Stasiun Riset Ketambe Aceh Tenggara yang merupakan stasiun riset tertua di dunia dan Stasiun Riset Soraya Subulussalam, sangat membantu kerja-kerja konservasi di wilayah tersebut. Kartini dan Khatijah merupakan juru masak di dua stasiun riset orang hutan tersebut. Tanpa mereka para tamu dan petugas di sana akan kelaparan.
***
Makan…makan…ayok makan…, itulah teriakan khas perempuan 42 tahun tersebut setiap masuk waktu makan. Teriakan tersebut tidak hanya bagi para ranger yang ada di Stasion Riset Soraya tetapi juga berlaku bagi setiap tamu yang datang dan menginap di tempat tersebut tanpa terkecuali.
Tubuh yang tambun, tidak membuat geraknya melamban. Pukul 03.00 pagi, dapur yang menjadi tempatnya berkreasi sudah mulai bersuara, benturan wajan dan centong serta derasnya air keran di westafel menjadi nyanyian tersendiri jelang subuh di Soraya.
Pukul 07.00 Wib sarapan sudah tersaji diatas meja makan, dan ia pun mulai mengeluarkan suara khasnya mengajak para penghuni Stasiun Soraya untuk sarapan sebelum beraktivitas.
Kartini merupakan warga Ketambe, Aceh Tenggara, Propinsi Aceh. Ia mulai bekerja sebagai jurumasak di stasion Soraya sejak 2017, pasca dibuka kembali, setelah sebelumnya sempat ditutup karena konflik yang terjadi di Aceh.
Seminggu sekali Kartini harus turun gunung, untuk belanja kebutuhan dapur dengan menempuh perjalanan selama 2 jam dari Stasiun Riset Soraya ke Desa Gelombang dengan menggunakan bot kayu (Robin) dan harus mendaki dengan kemiringan hampir 45 derajat.
Aktivitas tersebut sudah ia lakoni sejak 2017 lalu hingga saat ini, berawal dari ajakan Muhammad Isa, Kepala pelatihan dan penelitian di FKL saat itu untuk membantu mengajarkan juru masak di Soraya dan menyiapkan makanan bagi peserta pelatihan dan pembekalan Ranger selama 2 minggu dengan jumlah peserta 120 orang yang di bagi dalam dua kelompok.

“ Dan berkelanjutan hingga saat ini. Awalnya ada juru masak disini tapi gak sanggup tinggal, karena sepi, gak ada signal jalurnya menanjak dan jauh lagi dari kampung. 2017 saya masuk kesini dan saat itu keluarga tidak setuju saya kerja di sini, karena jauh dari kampung” Kisah Kartini.
Kartini juga mengatakan, sebelum bekerja di Stasiun Riset Soraya, ia juga pernah bekerja di stasiun Riset dan Restorasi Ketambe di Aceh Tenggara sebelum tahun 2010, kemudian ia keluar dan kerja di rumah saja sambil bantu-bantu kakaknya di resort cinta alam yang ada di seberang stasiun riset ketambe.
Namun selama bekerja di Ketambe dan Soraya ia tidak pernah ikut masuk ke hutan bersama para ranger, tamu maupun mahasiswa peneliti yang ada di camp. Aktivitasnya adalah menyediakan makanan bagi para tamu dan ranger yang ada di Soraya sedangkan untuk waktu masaknya ia menyesuaikan dengan kebutuhan para tamu dan penghuni camp. Begitu juga halnya dengan aktifitas belanja setiap minggunya.
“ Setiap Belanja saya harus turun meski dibantu oleh anggota yang lain, kalau saya tidak turun takutnya mereka gak bisa belanja karena gak tau mau beli apa. Dan kalau turun dari Soraya, itu kesempatan untuk bisa berkomunikasi dengan keluarga, karena di Soraya tidak ada signal,” katanya.
Selain untuk membantu orangtua menopang perekonomian keluarga, pekerjaan ini juga merupakan panggilan jiwa Kartini. Sejak kecil, Kartini suka memasak dan terbiasa dengan dunia konservasi.
“ Disini sudah seperti keluarga besar, satu sama lain saling menghargai, saya merasa nyaman, dihargai dan dilindungi oleh mereka seperti kakak sendiri dan susah mengucapkan rasa terimakasih yang seperti apa kepada mereka, hanya Tuhanlah yang tahu bagaimana membalasnya,” ungkap Kartini.
Hal yang sama juga dilakoni Khatijah, Seorang perempuan usia 52 tahun asal Aceh selatan. Dunia konservasi bukan hal baru baginya, sejak kecil ia sudah dikenalkan sang ayah dengan hutan dan satwa yang hidup di hutan, ia senang diajak sang ayah untuk masuk hutan dan berkebun, kenang Khatijah saat ditanya alasan mau bekerja di dunia konservasi tersebut. .
Selain ayahnya, suaminya juga punya andil dalam pekerjaannya sebagai jurumasak di Stasiun Riset Ketambe ini. Sebelum tahun 2010 suaminya bekerja di Stasiun Ketambe sebagai tukang masak dan juga pembawa sampan, dan saat itu camp membutuhkan jurumasak karena ada tamu yang datang dan tinggal di Ketambe untuk melakukan penelitian dan diajaklah ia bergabung menjadi juru masak. 2011 ia mengundurkan diri dari jurumasak karena ingin fokus mengurus anaknya yang masih kecil. Tapi Pada 2019 ia kembali diminta bergabung kembali sebagai jurumasak di Stasiun Ketambe, sampai sekarang.
Saat itu, Khatijah bersedia memberi bantuan selama beberapa hari di stasiun ketambe karena saat itu Forum Konservasi Lauser( FKL) bersama Balai Besar Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) dan Dinas Kehutanan Aceh kesulitan mencari juru masak yang bisa menyediakan makan bagi tamu yang datang untuk melakukan riset di tempat tersebut. Terutama tamu-tamu asing.

Pengelola Stasiun juga sering menawarkan pekerjaan ini kepada orang lain namun selalt ditolak karena tidak bersedia hidup sepi dalam hutan yang jauh dari hiruk pikuk kota. Jikapun ada yang bersedia ujung-ujungnya tidak mendapat restu dari orangtua.
“ Mana ada yang mau hidup didalam hutan apa lagi perempuan dan masih gadis lagi, pasti tidak dikasih orang tuanya,” ucap Khatijah.
Setiap Selasa dan Jumat, Khatijah harus turun ke perkampungan untuk berbelanja kebutuhan dapur dan makanan di Stasiun Riset Ketambe, sesuai jumlah tamu yang datang ke lokasi tersebut.
Banyak suka duka yang dirasakan Khatiah dan tak mungkin dilupakan. Diantaranya banyak bertemu dengan orang pintar yang melakukan penelitian bagi ilmu pengetahuan, setidaknya dia mengaku juga bisa mendapat banyak ilmu saat berkomunikasi dengan para tamu.
“ Ada juga pengalaman unik yang susah dilupakan, saat kami kembali ke camp usai libur lebaran, saya bersama suami dan anak, saat itu usai belanja dan kami menyebrang dengan perahu, sata itu arus sungai lumayan deras dan perahu kami terbalik, beberapa barang hanyut, kami berenang ketepi dan terpaksa kembali ke rumah untuk ganti baju dan menyelamatkan barang yang masih bisa dipakai, lalu kembali ke camp,” Cerita Khatijah sambil tertawa lebar.
Tak ubahnya seperti Kartini, Khatijah juga menjadi tulang punggung perekonomian keluarganya sehingga pada akhirnya mereka harus kembali bekerja sebagai juru masak di tempat tersebut meski sebelumnya sempat menolak. Dan sampai saat ini mereka masih bertahan melawan sepi dan menikmati pekerjaan mereka di alam.
Seiring waktu hingga saat ini tenaga mereka masih sangat dibutuhkan demi kelangsungan Stasiun Riset Ketambe dan Stasiun Riset Soraya. Mereka saat ini menjadi pekerja kontrak dengan masa kerja selama 23 hari dalam sebulan oleh pihak pengelola stasiun.
“ Suami Sudah Tidak bekerja lagi, anak masih ada satu yang jadi tanggungan karena belum nikah, kalau saya tidak kerja juga mau kasih makan apa mereka, jadi harus ada yang dikorbankan untuk bisa bertahan hidup, dan Alhamdulillah nya suami dan anak mengijinkan saya kerja disini”. Tutur Khatijah.
Perjuangan menjadi juru dapur tidak boleh dianggap sepele dan dipandang sebelah mata, apalagi dapur yang dikelolanya berada didalam hutan, pasti banyak tantangan dan resikonya lebih dari sekedar menyajikan makanana sederhana di atas piring.
Sejak sebelum fajar mereka harus berjibaku menyuguhkan makanan sebagai bekal para konservasionis atau para tamu peneliti sebelum masuk menjelajahi hutan. prinsipnya makanan harus tersedia sebelum perut lapar.
Dari dapur stasiun peneliti ini mereka juga ikut menjaga hutan, karena mereka lah yang bersedia menyiapkan makanan disaat oranglain menolak pekerjaan tersebut.

Pekerjaan ini juga bukan tanpa resiko, seperti Kartini yang pernah mendapati dapurnya di obrak-abrik hewan liar saat dia sedang seorangdiri di camp. Begitu juga dengan Khatijah dirinya seakan berubah menjadi perempuan garang saat menghadapi orang usil mengganggu ekosistem hutan. Ia akan menghentikan perbuatan-perbuatan yang sekiranya dapat merusak alam.
Kerja keras dan loyalitas Kartini dan Kahtijah dalam menyediakan makanan bagi para tamu dan pekerja konservasi patut diberi apresiasi. Peran para juru dapur ini tentunya tidak kalah penting dengan Konservasionis yang menjaga hutan. Oleh karenanya nama mereka sudah sepantasnya tercatat dalam jejeran perempuan pejuang konservasi. (Yan)