Puluhan ribu buruh ‘mengepung’ Jakarta pada peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day untuk berdemo di Istana Negara dan Gelora Bung Karno, Rabu (1/5/2024).
Ada dua tuntutan utama yang disuarakan pada peringatan May Day 2024, yaitu pencabutan Omnivus Law UU Cipta Kerja dan OutSourcing dengan upah murah (HOSTUM). Buruh menilai aturan ini kedua aturan ini belum berpihak kepada kaum pekerja, justru semakin mencekik keburuhan buruh.
Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagaan Kerjaan (Kemenaker), selama 4 tahun terakhir rata-rata kenaikan upah selalu di bawah inflasi. Sehingga kebijakan upah murah mengakibatkan daya beli buruh turun sebesar 30-40 persen.
Hal ini dapat dilihat seperti kenaikan upah minimum Provinsi Aceh hanya 1,38 persen pada 2024. Kenaikan ini masih di bawah nilai inflasi 2024 sebesar 2,8 persen dan di bawah angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen secara nasional.
Meskipun pada 2024 kenaikan upah minimun provinsi ada yang diatas angka inflasi. Seperti DKI Jakarta naik upah minimum 3,38 persen, Papua 4,13 persen serta beberapa daerah lainnya.
Sementara provinsi yang paling tinggi upah minimum pada 2024 berada di DKI Jakarta sebesar Rp 5,06 juta, lalu Papua Rp 4,02 juta. Sedangkan Aceh termasuk dalam 10 besar tertinggi upah minimum sebesar Rp 3,46 juta.
Sedangkan bila dihitung rata-rata nasional upah minimum di Nusantara ini sebesar Rp 3,11 juta. Jumlah rata-rata ini ternyata masih di bawah nominal upah layak di Indonesia sebesar Rp 3,82 juga. Termasuk provinsi Aceh masih di bawah standar layak mendapatkan upah minimumnya pada 2024.
Justru di beberapa provinsi lain, seperti Jawa Tengah misalnya, upah minimum hanya 2,03 juta, Jawa Barat Rp 2,05 juta serta termasuk DI. Yogyakarta upah minimum hanya Rp 2,12 juta.
Berdasarkan upah tersebut masih jauh dari kelayakan upah sebagaimana ditetapkan upah layak di Indonesia di tengah kondisi perekonomian bangsa yang carut-marut. Harga pangan dan bahan kebutuhan lainnya terus meningkat, tentunya berdampak serius terhadap kesejahteraan buruh dan masyarakat pada umumnya.
Belum lagi tenaga kerja yang mendapat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membuat kaum pekerja semakin terpuruk. Hingga Maret 2024 jumlah yang ter-PHK sebanyak 23.421 orang di seluruh Indonesia.
DKI Jakarta menempati peringkat tertinggi mengalami PHK dengan jumlah 8.876 orang, termasuk Aceh berada pada peringkat 10 secara nasional dengan jumlahnya sebanyak 133 orang.
Jumlah tersebut tidak termasuk tenaga kerja lepas atau yang tidak ada ikatan kontrak. Diperkirakan juga bisa lebih banyak, terutama paska pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu.[acl]