Home Berita KEL Kian Terancam, Mengundang Bencana Ekologi (1)
BeritaHeadlineJurnalisme DataKawasan Ekosistem Leuser

KEL Kian Terancam, Mengundang Bencana Ekologi (1)

Share
Share

Lebih dari setengah hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) telah terdegradasi akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Kerusakan ini mengganggu fungsinya sebagai benteng terakhir ekologi di Aceh, meningkatkan risiko perubahan iklim, dan mengancam keberlanjutan “paru-paru dunia.” Kondisi tersebut menempatkan Aceh dalam situasi darurat ekologis, yang diperburuk oleh proyek cadangan pangan dan energi yang membutuhkan lahan seluas 20 juta hektar, semakin memperumit pengelolaan ruang di bumi Iskandar Muda.

“KEL adalah benteng ekologi Aceh, yang melindungi lebih dari 50 persen wilayah daratan Aceh, menyediakan jasa lingkungan vital seperti penyediaan air bersih, mitigasi bencana, dan pengaturan iklim lokal,” kata Pakar Tata Ruang Universitas Syiah Kuala (USK), Ir. Zainuddin, S.T., M.Sc pada Muzakarah Kebijakan Ruang Aceh Berkeadilan Ekologis, Selasa (24/12/2024) yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh.

Zainuddin menyebutkan, keberadaan KEL sekarang sedang menghadapi banyak tantangan. Perambahan hutan belum berhenti, tumpah tindih kawasan budidaya hingga pembangunan infrastruktur yang tidak terencana yang mengancam fungsi ekosistemnya, serta perambahan menyasar hingga ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

KEL dikenal sebagai salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati dunia, terus mengalami ancaman serius akibat perambahan, alih fungsi lahan hingga Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI). “Memperkuat perlindungan terhadap KEL dan satwa liar melalui kerangka hukum yang jelas dan tegas sangat penting untuk mencegah aktivitas yang merusak lingkungan,” jelasnya.

KEL mencakup area seluas 2,6 juta hektar, dengan lebih dari 85 persen berada di Provinsi Aceh dan sisanya di Sumatera Utara. Hutan tropis ini menjadi habitat penting bagi spesies langka seperti harimau, badak, gajah, dan orangutan Sumatra. Namun, keberlangsungan kawasan ini semakin terancam oleh tekanan aktivitas manusia, termasuk pembalakan liar, alih fungsi lahan, dan pembangunan infrastruktur.

Proyek pembangunan Jalan Ladia Galaska (akronim dari Lautan India (Meulaboh)-Gayo Alas (Takengon-Blangkejeren) – Selat Malaka (Peureulak) yang memicu pro dan kontra kala itu. Proyek membelah KEL dengan alasan membuka keterisolasian wilayah pedalaman Aceh. Kondisi ini terjadi perdebatan, mengingat pembukaan jalan tersebut dapat membuka akses terjadi perambahan hutan.

WALHI Aceh pernah menggugat pembangunan jalan Ladia Galaska karena membelah KEL, karena dinilai dapat merusak ekologis dan mengakibatkan longsor. Kendati dalam putusan bernomor 730 PK/Pdt/2011, Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) proyek pembangunan jalan Ladia Galaska yang dilaksanakan Pemerintah Aceh sejak 2002-2007.

Pembangunan jalan lainnya yang pernah WALHI Aceh sorot,  jalan tembus dari Jambur Latong, Kutacane, Aceh Tenggara sampai perbatasan Sumatera Utara, lagi-lagi pembangunan infrastruktur itu dapat memicu ilegal loging hingga mengganggu habitat satwa.

Pembangunan jalan tembus sepanjang 18,52 km dari jalan Nasional Aceh Tenggara ke perbatasan Langkat Sumut melintasi Hutan Lindung sepanjang 7,75 km. Pembangunan jalan dalam kawasan hutan memiliki dampak jangka panjang terhadap kelangsungan lingkungan hidup.

Dengan terbukanya akses ke dalam kawasan hutan, maka akan terjadi kejahatan lingkungan seperti illegal logging, perburuan satwa, dan perambahan kawasan hutan pasti akan terjadi. Kemudian, akibat praktik ilegal tersebut berdampak terhadap terjadi bencana ekologi, terlebih Aceh Tenggara memiliki riwayat bencana banjir bandang yang cukup parah.

“Kawasan hutan lindung Serbo Langit juga merupakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai zona penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Bidang III Stabat Sumatera Utara,” kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, Jumat (17/03/2023) lalu.

Bahkan sebelum jalan tembus itu dikerjakan, kawasan hutan lindung Serbo Langit sudah marak terjadi perambahan dan illegal logging sejak 2018 – 2020. Ini mengakibatkan terjadinya banjir bandang yang berdampak putusnya jembatan dan merusak lahan pertanian di Kecamatan Deleng Pokhkison, Lawe Bulan, Lawe Sumukh.

Kemudian pada 2019 dan 2020 dalam kawasan hutan lindung Serbo Langit telah dibuka jalan dengan sepanjang 9 km. Akibatnya menjadikan kawasan hutan lindung Serbo Langit menjadi terbuka yang kemudian semakin menyuburkan kegiatan perambahan hutan tanpa ada pengawasan oleh pihak terkait.

Menurut data dari acehdata.digdata.id hingga November 2024, sisa hutan KEL di Aceh tercatat seluas 1,7 juta hektar dari 2,2 juta hektar, meningkat 317 hektar atau 6,54 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Ancaman ini tidak bisa dianggap remeh, perambahan yang terus terjadi memerlukan respon yang cepat dan terpadu dari semua pemangku kepentingan. Dengan komitmen bersama, KEL dapat tetap menjadi warisan alam yang lestari untuk generasi mendatang. Mengingat data terbaru menunjukkan hutan di KEL telah hilang setiap tahun akibat aktivitas ilegal.

KEL bukan hanya penting untuk keseimbangan ekologis serta paru-paru dunia, tapi kawasan ini menjadi sumber air bersih bagi 4-5 juta jiwa lebih yang tersebar di 13 kabupaten di Serambi Mekkah. Warga menggantungkan hidup mereka pada aliran sungai dan mata air yang berasal dari KEL. Membiarkan KEL rusak, sama saja telah mengundang berbagai ancaman krisis ekologi sehingga bisa berdampak terjadi krisis kemanusian.

Pada periode 2015 hingga November 2024, KEL kehilangan tutupan hutan seluas 68.959 hektar, dengan rata-rata deforestasi 6.896 hektar per tahun. Dari total deforestasi yang terjadi di Aceh selama 2018-2023, lebih dari 45 persen atau sekitar 32.688 hektare terjadi di dalam KEL.

Jika laju deforestasi tidak dihentikan, analisis regresi linear statistik memperkirakan bahwa luas deforestasi pada tahun 2025 akan bertambah sebesar 4.653 hektar dibandingkan data deforestasi dari 2018 hingga 2024.

Dengan proyeksi deforestasi sebesar 4.653 hektar pada 2025, diperkirakan dalam 10 tahun berikutnya, tepatnya pada 2034, total luas deforestasi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) akan mencapai 33.250 hektar akumulasi dari tahun 2025 hingga 2034. Secara keseluruhan, jika dihitung sejak 2015 hingga 2034, total deforestasi diperkirakan mencapai 102.209,29 hektar.

Tak heran bencana alam di Aceh mayoritas terjadi di kabupaten yang berada dalam KEL. Data dari BPBA yang dikumpulkan digdata.id menunjukkan, dari 273 kejadian bencana, 63 persennya terjadi di daerah yang berada dalam KEL. Ini menunjukkan bahwa lebih separuh kejadian bencana alam dalam kawasan benteng ekologi Aceh.

Baca Juga:

Bencana Hidrologi Ancam KEL

Mafia Kayu ‘Sepanyol’ di Hutan Tamiang

Kabupaten Aceh Timur daerah yang paling tinggi terjadi deforestasi dalam KEL, yaitu 22,5 persennya berada di daerah tersebut, lalu disusul Kabupaten Aceh Selatan 19,8 persen yang juga daerah tersebut merupakan wilayah yang paling luas terdapat Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil tingkat kerusakan hutannya cukup parah akhir-akhir ini.

Padahal kawasan ini berperan sebagai penyerap karbon yang membantu mengurangi dampak perubahan iklim, dan pelindung alami dari bencana seperti banjir dan tanah longsor. Bila laju deforestasi tak dapat dihentikan, bencana terus mengancam tentu daya serapan korban nantinya bakal berkurang yang berpengaruh terjadinya bencana ekologi.

Selain itu, keberadaan KEL mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal melalui hasil hutan non-kayu dan ekowisata. Namun manfaat tersebut terancam hilang akibat perambahan, baik untuk perkebunan sawit, tambang maupun praktek ilegal lainnya.

Ancaman nyata lainnya yang mengancam benteng ekologi Aceh terjadi perambahan hutan yang dilakukan oleh PT Sawit Panen Terus (SPT) melakukan land clearing di Desa Batu Napal, Desa Namo Buaya dan Desa Singgersing, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam. Padahal berdasarkan pantauan WALHI Aceh, perusahaan tersebut belum memiliki izin apapun saat melakukan pembersihan lahan.

Berdasarkan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha Nomor: 30052410211175002 milik PT. SPT yang WALHI Aceh peroleh, luasnya mencapai 12.750.331,45 M2 atau setara dengan 1.275,3 hektar yang dikeluarkan pada 30 Mei 2024. Sementara aktivitas land clearing sudah berlangsung sekitar satu tahun lebih, padahal belum ada dokumen izin apapun.

Dari peta angkasa WALHI Aceh pantau, kondisinya semakin parah dan masif terjadi bukaan tutupan hutan memasuki 2024, yaitu sejak Januari hingga April. Luas yang sudah terbuka sudah mencapai lebih kurang 1.706 hektar lebih. Celakanya, praktek ilegal yang dilakukan oleh PT SPT dalam melakukan pembersihan lahan telah merambah hingga dalam KEL seluas 682 hektar lebih.

Dari sisi keanekaragaman hayati, KEL menjadi rumah bagi 850 jenis tanaman, 105 jenis mamalia, dan 382 jenis burung. Begitu juga tempat hidup bersama 4 satwa kunci yang dilindungi, yaitu harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Orangutan dan Badak. 

Menurut Zainuddin, keberlanjutan ekologi menjadi kunci pembangunan jangka panjang yang ramah lingkungan. KEL berperan sebagai penyangga ekologis dan mendukung kesejahteraan masyarakat melalui pelestarian sumber daya alam. Langkah ini membutuhkan komitmen Aceh dalam mengharmoniskan pembangunan dan pelestarian lingkungan, menjawab tantangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan.

Strateginya, kata Zainuddin, penataan ruang Aceh yang berkeadilan ekologis menekankan perlindungan KEL melalui pendekatan berbasis konsensus, integrasi fungsi ekologis ke dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), dan pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan berbasis komunitas serta pengembangan ekowisata berkelanjutan.

Kendati Zainuddin tak menampik, ada banyak tantangan utama yang dihadapi KEL, tumpang tindih kawasan budidaya, konflik antara kebutuhan pembangunan dan perlindungan habitat satwa perlu segera diatasi.

Persoalan lainnya, perambahan dan illegal logging masih terus terjadi hingga sekarang juga menjadi persoalan utama dihadapi KEL. Aktivitas ilegal itu dapat mengurangi luas kawasan konservasi yang berdampak terhadap krisis ekologi.

Dia juga menyebutkan pembangunan infrastruktur jadi tantangan utama. Seperti pembangunan jalan dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang melintasi kawasan hutan, memecah habitat satwa dapat semakin terjadi sengkarut ruang yang dapat mengganggu ekosistem di KEL.

“Termasuk kurangnya kesadaran masyarakat, minimnya pemahaman tentang pentingnya perlindungan ekosistem,” kata Zainuddin.

Perburuan, konflik manusia-satwa, deforestasi akibat adanya perambahan, bencana banjir hingga PETI masih menjadi ancaman. Ini menjadi peringatan serius bagi semua pihak, terutama pemerintah yang memiliki otoritas membuat kebijakan untuk menjaga kesimbangan alam di KEL yang merupakan benteng terakhir ekologi di Aceh. 

Ancaman 20 Juta Hektar

Kebijakan Presiden Prabowo Subianto swasembada pangan dan energi dengan alokasikan lahan 20 juta hektar seluruh Indonesia juga mengancam kawasan hutan lindung di Aceh, tak terkecuali KEL yang menjadi benteng ekologi di Aceh. Kondisi ini akan berpotensi terjadi kiamat ekologis, tidak hanya seluruh Indonesia, terkhusus juga Aceh yang sekarang tingkat deforestasi tak dapat dihentikan.

Pernyataan Prabowo pada 23 Oktober 2024 lalu “Kita harus swasembada pangan, itu prioritas dasar karena situasi global, perang besar, bisa pecah setiap saat. Kita harus jamin kemampuan kita memberi makanan rakyat kita sendiri. Swasembada energi, mutlak”. Menindaklanjuti rencana tersebut, pemerintah mengalokasikan lahan di seluruh Indonesia seluas 20 juta hektar yang ikut merambah hingga dalam kawasan hutan.

Berdasarkan data dari dokumen Hutan Cadangan Pangan dan Energi yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan – diterbitkan 5 Desember 2024 lalu. Alokasi untuk lahan tersebut berasal dari lahan yang belum berizin, termasuk dalam kawasan hutan seluas 15,53 juta dan lahan sudah berizin 5,07 juta hektar dengan total 20,6 juta hektar.

“Narasi pemerintah untuk memastikan swasembada pangan dan energi hanya sebagai tempelan untuk melegitimasi penyerahan lahan secara besar-besaran kepada korporasi, dan untuk memastikan bisnis pangan dan energi bisa terus membesar serta meluas,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, Kamis (2/1/2025).

Masih berdasarkan dokumen tersebut disebutkan total kawasan hutan belum berizin 56,62 juta hektar, hutan produksi 67,73 hektar dan hutan konservasi 22,09 hektar. Dari jumlah tersebut total kawasan hutan yang belum berizin dan berpotensi untuk hutan cadangan pangan dan energi seluas 15,53 juta hektar. Artinya akan ada penambahan angka deforestasi yang akan datang seluas tersebut.

Uli menambahkan, proyek ini bentuk legalisasi deforestasi yang memicu kiamat ekologis. Sebab, pembukaan 20 juta hektar hutan akan melepaskan emisi dalam skala yang sangat besar dan pada akhirnya menyebabkan bencana ekologis, kekeringan, mendidih global, gagal panen, dan zoonosis. 

Masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan di mana proyek ini beroperasi akan tergusur, sedangkan masyarakat yang hidup di pesisir akan menjadi pengungsi iklim.

“Lingkungan dan keselamatan rakyat Indonesia akan dipertaruhkan,” ungkap Uli. 

Dampak lainnya adalah kerusakan biodiversitas, konflik agraria, yang tentunya diikuti dengan kekerasan dan kriminalisasi akibat pendekatan keamanan dalam memastikan jalannya rencana dan program ini.

“Pembukaan 20 juta hektar ini juga akan semakin memperparah persoalan kebakaran hutan lahan, jika hutan-hutan tersebut juga merupakan kawasan gambut,” tegasnya.

Katanya, saat ini saja sudah seluas 33 juta hektar hutan dibebani oleh izin di sektor kehutanan. Bukan hanya itu, 4,5 juta hektar konsesi tambang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, dan 7,3 juta hektar hutan sudah dilepaskan, di mana 70% nya untuk perkebunan sawit. 

Penguasaan hutan-hutan oleh korporasi ini telah melahirkan banyak persoalan dan krisis, yang sulit untuk dipulihkan. Alih-alih melakukan penegakan hukum dan menagih pertanggungjawaban korporasi, justru pemerintah terus tunduk pada kepentingan korporasi dengan melegalisasi pengrusakan hutan.

Uli menambahkan, selama pangan dan energi masih diletakkan dalam kerangka bisnis, tidak akan pernah ada keadilan bagi rakyat dan lingkungan. Yang ada hanya menambah persoalan dan mempertajam krisis sosial ekologis. Pangan dan energi adalah hak, dan tugas negara adalah memastikan hak tersebut terpenuhi.

Pemenuhan ini akan terwujud, jika pemerintah menjadikan rakyat sebagai aktor utama dalam produksi dan konsumsi pangan dan energi. Pengakuan dan perlindungan hak rakyat atas wilayahnya menjadi hal yang terpenting. Sumber dan pengelolaan pangan dan energi juga harus berasal dan sesuai dengan karakteristik wilayah tempat di mana pangan dan energi dihasilkan.[acl]

Share
Related Articles
BeritaHeadline

Aceh Masuk 10 Besar Provinsi dengan Deforestasi Tertinggi di 2024

Deforestasi di Indonesia meningkat 2 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Aceh...

BeritaHeadlineJurnalisme Data

Keruk Emas di Benteng Ekologi (3)

Peta angkasa menunjukkan, Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) merambah Kawasan Ekosistem Leuser...

Sebanyak 77 imigran etnis Rohingya menggunakan sebuah kapal motor kayu kembali diketahui terdampar di Pantai Leuge, Kecamatan Pereulak, Kabupaten Aceh Timur, Rabu (29/01/2025)
BeritaHeadlineNews

Imigran Etnis Rohingya Kembali Terdampar di Aceh Timur

Sebanyak 77 imigran etnis Rohingya menggunakan sebuah kapal motor kayu kembali diketahui...

Pertunjukkan Barongsai memeriahkan Tahun Baru Imlek 2025 di Banda Aceh.
BeritaHeadlineNews

Barongsai Imlek, Sedot Perhatian Warga Banda Aceh

Atraksi barongsai digelar dalam rangka memeriahkan tahun baru Imlek 2576 Kongzili di...